close
Nuga Travel

Penayong Bangkrutnya

KONICA MINOLTA DIGITAL CAMERA

Penayong, kini, kejayaan telah mengelupas. Pecinan di timur Banda Aceh itu telah campur aduk. Tak ada lagi toko Pelangi milik Aken di ujung jalan Yani, yang barang jualannya, di awal tahun enam puluhan, menjadi incaran orang berduit.

Toko itu tahun ’66 diamuk massa dan sekarang tempat jualan ponsel. Anaknya bisa surprise membangun usaha Sirup Kurnia,semula di kampung Mulia, kemudian hijrah ke Medan.

Selain itu tak ada lagi ucapan menggelitik lidah Kwangtung yang meliukkan ucapan“cing cai lha,” untuk melunakkan sikap ngotot pembeli menawar harga. Lidah para kek atau hokian itu sudah lama kelu karena digoyang rasa takut seusai kacau PKI yang dilanjutkan dengan pengusiran sebagian di antara mereka.

Ba Cai mengakui pula lidah lidah “kek”nya berkarat usai peristiwa memilukan itu. “Nama saya saja sudah ganti dengan Susanto. Entah darimana nama itu saya peroleh. Pokoknya Susanto,” ujarnya terbahak. Entah kenapa, katanya, waktu itu komunitas cina terbelah antara Peking dan Formosa. Antara Kuomintang dan Baperki.

Ia mengakui bangkrutnya komunitas Cina di Penayong ditandai dengan robohnya balai perkumpulan OSMA dan SCS di depan bioskop Tungpang, barisan toko Mei Baru, sekarang. Dua bangunan itu simbol keselarasan hubungan kekeluargaan para cina di Banda Aceh.

“Dulu kalau ada perhelatan semua cina kumpul di sana. Tak peduli dia kek, khongfu atau hokkian. Tempat itu magnet bermain kami” kata Ba Cai mengenang.

Tidak hanya Ba Cai yang kelu amuk ‘66. Ang Cian alias si Agam, 72 tahun, yang jagoan tenis meja, hanya bisa tercenung bila mengingat perkumpulan OSMA, tempat ia menimba permainan “ping pong” itu rubuh.

“Kami seperti tercampak ke masa nenek moyang kami. Tercampak ke zaman koeli Kwangtung,” ingat anak tukang kayu suku khongfu yang lahir di kebun Blower itu.

Bersamaan dengan bangkrutnya simbol komunitasnya, para lelaki “kek,” yang dulunya bercelana pendek dan berkaos singlet, tak bisa tersenyum dengan gigi masnya. “Masa itu kehidupan kami kacaubalau. Masing-masing mencari selamat,” urai Ba Cai sedikit haru.

Bagi Ba Cai masa sulit itu, dicatatnya, telah mendegradasikan pameo “cina kaya” di Banda Aceh. Sejak itu, sampai sekarang, seperti dikatakan Ba Cai, orang Cina di Banda Aceh seperti kehilangan identitas. Kehilangan semangat Kwangtung. “Cukup makan sajalah,” katanya dengan tawa berderai.

Tak ada lagi pabrik penyamakan kulit milik Ciong Lie Cieng di Setui yang ekspornya sampai ke Italia. Juga tak ada lagi anemer Wong Ho yang punya empat mobil touring di garasi rumahnya.

Pejabat mana pula tak kenal anemer A Pang, kalau mengamprah duit “berceceran” ke kantong banyak orang. Jangan lupa dengan Cong Nam pemilik pabrik padi di Studi Fond, Kuta Alam sekarang, kayanya minta ampun.

Juga tak ada lagi perusahaan AKAM (Ada Kerja Ada Makan) milik milik keluarga Tek Chu alias Frans Sidi, cina yang punya bioskop Gajah, di belakang swalayan Pantee Pirak sekarang, dan menodai kenangan banyak warga Banda Aceh dengan me”ruislag” bangunan bersejarah milik tentara, seperti asrama Dipo maupun BTU.

Juga tak ada lagi es lilin buatan Penayong yang oleh si A Lex, anak Goheng, pengusaha tekstil di Pasar Ikan Lama di Medan, mengakui enaknya tak punya tandingan di bawah langit “donya.”

Pecinan di timur Banda Aceh itu memang tak lagi semarak dengan cina kaya yang biasanya menghabiskan pagi minggunya di pojok belakang pasar sayur dan ber”cing cai” ria macam suara penumpang kapal pecah.

“Sekarang, kalau sudah sedikit kaya mereka pasti menyingkir dari Aceh. Macam perusahaan sirup Kurnia itu,” kata si Agam berusaha jujur mencontohkan usaha sirup di kampung Mulia yang hengkang ke Medan.

Homogenitas cina Penayong memang telah digerus zaman. Toko dua lantai bertiang besar dengan jendela susun sirih di bagian atasnya memang masih tersisa di antara jepitan bangunan baru dengan gaya modern.

Generasi ke empat mereka tidak lagi mengais lewat semangat koeli. Mereka sadar zaman koeli telah berakhir. Semangat Kwang Tung dan liarnya ombak cina selatan yang menguburkan semangat petualangan puaknya di zaman susah dulu adalah cerita usang.

Bahkan sebagai warisan cerita para penganut fanatik fengsui itu telah punah.
Mereka tak tahu pasar ekslusif milik komunitasnya, pasar sayur sekarang, yang di topang tiang kayu dengan los memanjang.

Dan mereka juga tak tahu bagaimana membuat perapian dengan asap dupa yang menjilat foto leluhur sebagai tanda kesetiaan warisan kepercayaan “kong hu cu”. Yang mereka tahu, para hongsu dan kek muda itu, adalah mengais rezeki harus dengan kesungguhan dan tak perlu lewat komunikasi dengan arwah.

Sebagian dari turunan “kek” dan “hongsui” ini memamng melanjutkan tradisi kumpul bareng di halaman belakang pasar sayur bantuan NGO Asing itu dengan meluangkan waktu bertukar informasi di pagi hari. Ada si Jiwa, si A Kek ataupun si Awen menghirup kopi pagi sambil bercuap-cuap sekenanya. Masih terdengar suara gaduh aksen mandarin di sebuah warung kopi di sana.

Juga masih nampak A Ciau, 87 tahun, melangkah oleng menyibak kerumunan pengunjung dengan tongkat kayunya di lorong campur baur itu. Dia hanya tertawa ketika ditanya umurnya.

Sembari menyorongkan telinganya untuk memastikan pertanyaan, A Ciau hanya bergumam dengan aksen kek yang kelat. “Saya sudah tua dan banyak tidak ingat lagi,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang compang camping. Tak tersisa lagi keperkasaan kungfu dan kemampuan sebagai “guard” basket yang disandangnya ketika usia muda.

A Ciau, kini tinggal dengan anaknya di Gang Mabuk, Jalan Jambi, mencoba menegakkan badannya dan menatap lurus ke arah seliweran perempuan cina dengan busana ketat dan pupur menor, sembari memonyongkan mulut dan berujar,”mereka anak sekarang yang tak pernah tahu falsafah kek, hongfu atau hokian.

Generasi yang sudah lupa bagaimana para kakek moyangnya bertarung untuk bisa hidup sejak di kapalkan dari Kwangtung sana hingga ke Penayong ini. Kalau saya sudah tutup buku.”

A Ciu tak salah. Generasinya, bermodal celana komprang dan baju warna hitam, telah terkubur. Penayong tidak lagi menjadi milik cina. Tak sedikit pertokoan milik mereka beralih tangan, berubah bentuk dan kehilangan identitas sejarah “Kami sudah miskin,” ujar A Ciau bergumam, tanpa ingin menjelaskan arti miskin itu dengan nada risau.

Kerisauan yang juga dikemukakan Reza Pahlevi, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Banda Aceh, yang kini menjadi Kadis Pariwisata dan kebudayaan di Provinsi..

Kerisauan menguapnya identitas sejarah kota ketika bangunan tua dilahap kerakusan modernisasi. Kerakusan mencampakkan masa silam untuk kepentingan sesaat. Keuntungan.

Ia menunjuk pada bangunan pecinan Penayong yang dilabrak toko gaya minimalis sehingga tergradasi. Dan orang dengan entengnya melupakan sebuah sudut komunitas sejarah. “Saya telah mengajukan usulan untuk merenovasi Penayong tanpa mengubah bangunan yang tersisa. Kita memerlukan Penayong sebagai kawasan wisata kota,” ujarnya penuh percaya diri.

Tags : slide