GEDUNG “Serbaguna” Batu Phat, di sebuah pagi, dua puluh enam tahun lalu. Di sana sedang berlangsung hajat besar tentang “Prospek Zona Industri dan Pertanian sebagai Solusi Pembangunan Aceh.” Di sana, hari itu, datang banyak ahli dari latar belakang ilmu yang beragam. Ada ekonom “regional development.” Ada ekonom pertanian dan ada pula ekonom perencanaan. Mereka berdebat lewat proposal kertas kerja, yang kalau di tumpuk bisa memenuhi setengah bagasi mobil..
Kami, salah seorang yang hadir sebagai pecundang, di sana menyaksikan, Saleh Hafid, Mubyarto, Sadli dan Andi Hakim berdebat dengan Dorojatun Kuncoro Yakti dan timnya dari Indoconsut tentang pembenahan kesenjangan pembangunan di kawasan, yang kala itu tenar, dengan nama “zona industri.” Mereka memperdebat angka pertumbuhan, prospek industri dan tidak menyinggung tentang kabut kemiskinan yang buram di belakang gedung tempat mereka diskusi.
Itulah rangkaian seminar dari banyak panel diskusi, kala itu, dan dengarlah orasi ekonom tentang kertas kerjanya, serta simak dengan takzim presentasi mereka. Penuh lawak bak sandiwara “geulanggang labu” menyebut pendapatan per kepala penduduk di zona industri berada di atas rata-rata angka nasional. Angka yang menguap ditengah kantuk peserta dan menjadi catatan di”blocknote” wartawan untuk kemudian dituliskan dalam bentuk “talking news” sebagai “headline” dan dibaca dengan “mumang” oleh buruh “pok seumpom” di pasar gambee.
Padahal, kalau boleh mengejek, para panelis dengan predikat ilmuan itu hanya bisa membentangkan angka semu hasil rekayasa sitematis untuk bisa mendapat bayaran dari duit taktis recehan proyek atas nama proposal penelitian dan seminar yang rumusannya menjadi kertas kiloan pembungkus kacang asin dikios-kios lapuk.
Mereka tidak pernah beranjak untuk menginvestigasi bagaimana laporan keuangan dan arus kas ditukangi dengan teknik akuntasi canggih. “Kalau anda menyusuri laporan keuangan dan cash flow mereka sampai ke Texas sana, pasti anda akan tercatat sebagai seorang pemberontak,” kata seorang kawan mantan pejabat di PT Arun, terbahak, menceritakan bagaimana rumit dan canggihnya perjalanan prosedur administrasi keuangan mereka.
Kawan itu banyak benarnya. Seorang pengamat perminyakan pernah berbisik dengan kami di Jakarta, tentang cabang duit gas Aceh. “Bercabang ke mana-mana dan menghasilkan banyak orang kaya. Mulai dari pemilik kontrak karya hingga pejabat Pertamina. Dan jangan lupa berapa “cost recovery” yang harus dibayarkan tanpa ada audit silang ke kontraktornya,” ujarnya serius.
Entahlah. Terlalu rumit untuk mencari titik kebenaran ceritanya. Tapi, inilah contoh pahit dari pembangunan berskala besar dengan nama keren proyek vital (provit) yang membelitkan selempang kemiskinan bagi anak Paloh Lada, Batuphat maupun Ujong Pacu. Kemiskinan yang sering dijadikan obyek sedekah atas nama “community development” berupa pembagian sarung dan sajadah sebagai obat penenang mendekati lebaran.
Hari-hari ini wacana pembangunan Aceh lebih berjelaga. Tak ada solusi dari panel yang sering berpindah tempat dengan peserta yang lebih tak jelas asal muasalnya. Kalau pun ada berkas yang dihasilkan dari panel, ia dicampakkan oleh kepentingan yang lebih majemuk. Lihatlah debat tentang anggaran di gedung DPR Aceh yang penuh dengan sumbu kepentingan personal dan kelompok sehingga carut marut serta meregangkan waktu.
Lihatlah postur pembangunan yang terkooptasi oleh anggaran pusat. Lihat pula bagaimana mereka menyembunyikan angka dan kata-kata demi kepentingan yang entah untuk siapa. Mereka berdebat dengan dana aspirasi yang menguntung mereka sendiri. Mereka terjebak dengan “glamour” jargon kepentingan rakyat yang entah rakyat mana sehingga APBA-nya sendiri mangkrak lebih dari tiga bulan.
Mereka tahu cara mengorup uang dengan teknik kalimat yang berujung pada rakyat. Tapi mereka tidak pernah mau tahu bagaiamana teknik itu memberangus hak anak-anak Ujong Pacu untuk mendapatkan bagian ulayatnya, “ma’mue beusaree.”
Inilah ironi pembangunan Aceh yang pernah ditulis dengan sangat detil dan akurat oleh “Prisma,” sebuah jurnal ekonomi sosial yang diterbitkan oleh LPES (Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial), dalam “special report”nya, waktu itu, zona industri : “development booming.” Zona Industri: Ledakan Pembangunan.
Laporan dengan pengantarnya disarikan dari hasil penelitian “indoconsult” tentang pembangunan yang mengisolasi anak-anak Ujong Pacu dan menjadikan mereka sebagai penonton di luar pagar kawat berduri serta didekati secara “security approach.” Sebuah pendekatan keamanan , yang menurut laporan jurnal “Prisma,” telah menghidupkan apatisme dan memantik perlawanan diam.
Laporan berdurasi 30 halaman itu, ketika kami baca kembali, pekan lalu, sebagai bahan kepustakaan penulisan ini, ternyata masih relevan untuk masa kini, setelah lima dari enam train kilang PT Arun berhenti mengaum, pabrik pupuk PT. AAF dijajakan sebagai besi tua dan pabrik pupuk PT.PIM tertatih-tatih menghitung hari kematian. Dan ketika kami menyusuri perkampungan sekitar pabrik tak terlihat perubahan nyata setelah tiga dekade “booming” kawasan yang menyandang label gagah “zona industri.”
Kini, yang terlihat, ketika kami singgah makan siang di Pasar Batu Phat, Januari lalu, hanya antusiasme penduduk menata kehidupan normal lewat romantisme pasca perang Romantisme traumatis yang dikompensasikan dengan mengaktualkan keakuan dijalan raya secara sesuka hati dan terjengkang tanpa ingin tahu bagaimana negeri ini menuju kemakmuran. Aktualitas persona setelah negeri ini diayak perang dan masyarakat merayakan sebagai hari raya centang prenang.
Hari raya ketika kucuran duit membengkak-kan anggaran pemerintah lokal atasnama pembagian uang migas dan uang otsus, diujung “fiesta” LNG, dan dibelanjakan tanpa menghitung asas manfaat. Asas yang mendatang keuntungan berlipat.
Duit yang dibelanjakannya untuk “khauri kleng” yang seusai makan piring kotornya berceceran tanpa ada yang mau membasuh. “Peeng” yang juga dibelanjakan untuk pesta “bancakan.” Pesta tender bernota secarik kerta kumuh pembungkus “ji sam soe” dan dilakukan secara berjamaah.
Atau pun duit sisa anggaran yang ditransfer lewat “kliring”antar bank untuk di bukukan dalam deposito berjangka sebagai upaya menangguk laba dari persenan riba yang kemudiannya di “faraidh” hingga mengantarkan bupati dan wakilnya menjadi pesakitan. Coba buka catatan APBD kabupaten yang penuh “stabile” mengorat-oret pos anggaran belanja untuk kamar berpendingin di kantor-kantor pemerintahan yang dibangun lebih besar dari istana raja arab dengan arsitek minimalis, dan menyepakatinya pula dengan DPR Kabupaten untuk untuk membeli mobil dinas “double cabin.”
Untuk itu semua jangan pernah lupa menatap ke kaki bukit Ujong Pacu yang bernama komplek PT.Arun dengan rumah petak bersusun, jalan hotmix melingkar, mess bak hotel bintang empat dan kolam renang berair bening. Masih ada lapangan “golf 16 hole,” dan kalau malam sorot lampu mercury berpuluh ribu watt seakan-akan tak menyisakan sejengkalpun tanah gelap. Lihat juga di pintu masuknya di pinggir jalan dua jalur, dengan security berlapis, di tambah plang besi naik turun yang mengisyaratkan boleh tidaknya tamu melewatinya. Itulah sebuah “pulau” dengan lemak fasilitas.
“Pulau,” ketika kami shalat Idul Adha, di awal Oktober lalu, di stadion sepakbolanya, yang biasanya melimpah jamaah, hanya terisi seperempat lapangan. Ini pertanda komplek “eksklusif” itu sedang mengalami degradasi menjadi “estate” berhantu.
Dan ketika kami klarifikasi kepada seorang kawan yang masih tersisa sebagai “supervisor” tentang kondisi komplek “mewah” itu, ia mengiyakan tentang kecentangprenangannya. “Hanya sepuluh persen lagi karyawan yang tersisa,” katanya dengan nada datar. Sebuah nada pesimis di akhir eksistensi sebuah masyarakat yang pernah menyandung status sosial prestisues, karyawan “PT Arun.”
Itulah ujung kisah sebuah pulau berfasilitas “mewah” di tengah wilayah “miskin” bernama Batu Phat berisi kelompok karyawan yang dulunya ter”mehek-mehek” menyandang status manejer, supervisor maupun para section head. . (***)