Tak banyak orang yang tersisa untuk bisa mengingat sebuah gedung tua, dengan usia lebih dari seratus tahun, di belokan persimpangan Jalan Cut Meutiah dengan Jalan Diponegoro, persisnya di samping Gedung Percetakan Negara.
Gedung tua, yang kini beralih fungsi menjadi “Metro Market” sejak satu decade terakhir. Gedung tua dengan konstruksi kayu, khas gedung-gedung dan perumahan di masa itu, disangga oleh tiang beton besar sebagai landasan lantainya.
Belum ada sentuhan ekstrim yang mengubah bentuk gedung tua ini, seperti yang dialami oleh BTU, Sabang Coy atau pun Stasion Atjeh Spoor, yang kini telah raib ditelan ambisi “penguasa” untuk menjadi rente atas nama “proyek” izin mendirikan bangunan. Semuanya kini sudah berubah menjadi pertokoan yang sumpek.
Satu-satunya yang masih utuh dan sangat terpelihara untuk dipadankan dengan “metro market” adalah Bank Indonesia, yang dulunya bernama “Java Bank,” dan kini sedang mendekati usia “berlian,” seratus tahun.
Memang ada kecemasan kita dengan kondisi “metro market” di hari-hari usia tuanya. Kondisinya mulai “lapuk” dan nasibnya masih menjadi “debat” setelah terdengar kabar “Balai Kota” telah memberi “sinyal” untuk dibongkar dan menggantikan dengan bangunan moderen untuk sebuah super market.
Bagai “Balai Kota,” tempat proyek “izin mendirikan bangunan” menjadi obyek, gedung “metro market,” ini memang sedang menghadapi ujian “iman.”
Selain dengan alasan sudah kuno dan dianggap “limbah” di tengah bangunan-bangunan moderen ia juga bisa dijadikan pemasukan untuk “pad” atawa pendapatan asli daerah, tanpa mau peduli dengan usianya yang telah 100 tahun dan telah banyak jasanya dalam perkembangan negeri ini.
Semasa perang kemedekaan 1945-1949 gedung milik percetakan Belanda ini dialihkan menjadi Percetakan Negara RI sampai tahun 1960-an, sebelum PNRI membangun gedung baru di sampingnya.
Percetakan tersebut dengan peralatan yang kuno jika dibandingkan dengan sekarangi ini telah mencatat sebuah sejarah ketika Pemerintahan Darurat RI antara 1945-1949 mempercayakan pencetakan uang negara yang bernama ORI, Oeang Repoeblik Indonesia.
Gedung tua ini, yang sekarang berubah menjadi supermaket mini, pertama kali dibangun tahun 1900 berbentuk rumah biasa sebagai cabang percetakan swasta Belanda “Deli Courant” yang berpusat di Medan.
Karena Atjeh saat itu butuh percetakan yang “modern, di zamannya, dari rumah kecil itu dibangun gedung yang representatif, seperti kondisinya sekarang. Usai pembangunannya, percetakan ini diberi nama “Atjeh Drukrij” yang oleh lidah orang Aceh disebut seenaknya sebagai Aceh Dokree.
Percetakan ini menerbitakan sebuah surat kabar bernama “Atjeh Newsblad”. Karena menyusun leternya satu-satu dengan tangan atau dalam istilah cetak dinamai dengan “handset” maka koran Belanda ini terbit satu kali dalam dua minggu.
Ketika pendudukan Jepang (1942-1945) percetakan ini menerbitkan surat kabar bernama “Atjeh Shinbun,” yang kemudian setelah Jepang angkat kaki, kumpulan pemuda ueroik ketika itu, diantaranya Ali Hasjmy, Amelz, Matu Mona, Twk. Hasyim SH, Talsya menerbitkan surat kabar “Semangat Merdeka”.
Di masa pemerintahan darurat itulah “Semangat Merdeka,” menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gedung tua, yang kemudiannya dipercaya mencetak uang negara sebagai tanda pembayaran yang syah, dan sebagai bukti bahwa negara Indonesia itu memang resmi ada.
Terlepas dari telah hilangnya situs “heritage” Banda Aceh, seperti Hotel Atjeh, Hotel Central, Stasion Kota dan Stasion Kereta Api Negara, keberadaan “metro market” haruslah diprioritaskan sebagai bangunan yang dilindungi.
Kita, hendaknya jangan kehilangan jejak sejarah lagi setelah Hotel Atjeh, yang merupakan pusat pertemuan ketika Soekarno mengunpulkan saudagar Atjeh untuk menyumbangkan uangnya membeli pesawat DC-8, Dacota, yang menjadi cikal bakal Garuda Indonesia.
Kita juga sudah kehilangan “Hotel Central” terletak di Jln. Mohd. Jam. Di sana sekarang telah berdiri sederetan bangunan Ruko. Padahal dii aula hotel kecil milik seorang Tionghoa ini sering para tokoh-tokoh pejuang Aceh mengadakan rapat-rapat untuk mengatur pemerintahan darurat di Aceh.
Begitu juga gedung “Sabang Coy”, bersebelahan dengan bekas gedung PMABS di ujung Jln. Diponegoro. Tempat ini pernah dijadikan markas para pemuda pejuang perang kemerdekaan untuk mengatur strategi untuk mara ke Front Medan Area, dan sekarang ini telah berdiri di sana sederetan bangunan ruko..
Kemudian ada sebuah bangunan lain yang kini ternyata tersendat dalam pengembangan dan pemugarannya yaitu “Atjeh Hotel”. Walau bangunan ini adalah milik swasta, tapi punya nilai sejarah.
Hotel, yang dulunya, bergaya Belanda dengan aula dan bar yang luas seperti kebanyak bangunan “tempo doeloe” pernah dijadikan ruangan terhormat menyambut kedatang Presiden Soekarno tahun 1947.
Dari ruangan ini lahir ide kaum saudagar Aceh untuk menghadiahkan sebuah pesawat terbang untuk membantu perjuangan Indonesia mempertahankan Proklamasi 1945. Konon pesawat jenis Dakota buatan Daouglas AS itu adalah cikal bakal armada angkutan udara Indonesia “Garuda” sekarang ini.