Catatan: Tulisan ini adalah lanjutan dari penggalan goresan Hasyim KS, almarhum, tentang “heritage” “Koetaradja” yang masih tersisa dari tangan jahil pembangunan.
————-
Sebuah bangunan tua, berbentuk bulat, seperti mercusuar berlantai dua, dan dibangun semasa masih berkecamuknya perang Aceh masih utuh di pangkal jalan menuju Setui. Bangunan ini, kini dipakai oleh KOMDA PSSI Aceh,
Bangunan separoh beton yang cukup tebal dibagian bawah sebagai perisai kalau ada penyerbuan lasykar Aceh dan diatasnya bahan dari kayu yang tahan cuaca, terletak di persimpangan Jln. T. Umar dengan jalan ke arah Neusu dan Meuligoe, tidak jauh dari Simpang Jam. Tepatnya dekat bekas galon minyak Saleh Rahmani.
Inilah gedung pelayanan telepon satu-satunya yang beroperasi semenjak tahun 1903 milik Kumpeni Militer Belanda khusus untuk untuk keperluan perang Aceh. Sedangkan kantor pelayanan telepon untuk umum, dibangun tahun 1931 di lokasi Kantor Telepon sekarang dengan gedung dan peralatan moderen. Sayangnya gedung yang aslinya bukan diawetkan tapi dirubuhkan tanpa meninggalkan bekas sebagai bukti sejarah perteleponan di negeri ini.
Bangunan bulat sentral telepon Kumpeni di dekat Simpang Jam, pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, difungsikan juga untuk keperluan perang. Sampai menjelang tahun 1960 setelah Indonesia merdeka, bangunan kuno ini masih dipakai sebagai Kantor Telepon Militer Kodam I/Iskandarmuda yang disebut Wiserbot (WB) Taruna.
Sampai tahun 2000 sekarang ini berturut-turut telah dipakai sebagai Kantor KONI, Kantor Surat Kabar Atjeh Post dan terakhir sebagai Kantor PSSI. Banyak yang mengharapkan agar bangunan ini jangan sampai dibongkar pula.
Gereja Katholik
Gereja Katholik Hati Kudus ini diresmikan pemakaiannya tanggal 26 September 1926 oleh Pastor pertama, Pastor Kepala Augustinus Huijbregets. Bangunan terletak di ujung jembatan Pantee Pirak arah Simpang Lima dengan gaya Neo Clasik Modern. Bangunan panjang 30 M, tinggi ruangan dalam 12 M, lebar 14 M, sementara tinggi menara 22 M.
Dapat menampung 300 anggota jemaat. Interior gereja ini dengan jendela yang diberi kaca berwarna jenis staned glass dengan lantai keramik warna warni yang disusun dalam bentuk mozaik, sehingga dinilai sebagai gereja yang berlantai indah di Indonesia.
Dari catatan yang ada, baik kaca, lantai keramik maupun lonceng gereja, semuanya di datangkan dari Negeri Belanda. Dalam kompleks gereja ini diperlengkapi bangunan-bangunan untuk pendidikan agama dan sekarang ini memiliki sekolah semenjak TK sampai SMU.
Jauh sebelum tahun 1926, di tempat yang sama telah ada bangunan darurat untuk gereja yang dipimpin oleh seorang Pastor yang didatangkan dari Negeri Belanda. Dalam catatan sejarah keberadaan Kumpeni Belanda di Aceh, Pastor yang bernama Verbrak ini telah mengabdi selama 30 tahun dalam suasana perang Aceh dan ikut sebagai Imam Tentara ke berbagai lokasi medan tempur.
Ketika tulisan ini diturunkan (tahun 2000, -red), Gereja Katholik berlambang ayam jantan ini dipimpin oleh Pastor Ferdinando Severi berkebangsaan Italia. Ferdinando adalah petinggi Gereja Katholik Banda Aceh yang ke 17 semenjak Pastor Augustinus Huijbregts tahun 1926 tersebut.
Metro Market
Gedung tua lainnya dan barangkali tidak banyak yang mengetahui riwayatnya yang telah mencapai 100 tahun ini, adalah yang sekarang dijadikan sebagai market mini Metro terletak di ujung Jalan Diponegoro. Yang mencemaskan adalah akan nasib gedung ini karena terbetik khabar yang kalangan Balai Kota akan merestui untuk dibongkar dan menggantikan dengan bangunan moderen untuk sebuah super market.
Gedung ini bentuknya memang sudah kuno dan ada yang merasa sudah menjadi limbah di tengah bangunan-bangunan moderen tanpa mau tahu akan usianya yang telah 100 tahun dan telah banyak jasanya dalam perkembangan negri ini.
Semasa perang kemedekaan 1945-1949 gedung milik percetakan Belanda ini dialihkan menjadi Percetakan Negara RI sampai tahun 1960-an, sebelum dibangun gedung baru Percetakan Negara RI di sampingnya.
Percetakan tersebut dengan peralatan yang kuno jika dibandingkan dengan sekarangi ini telah mencatat sebuah sejarah ketika Pemerintahan Darurat RI antara 1945-1949. Disinilah dicetak uang negara yang bernama ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).
Gedung tua yang sekarang sebagai supermaket mini tersebut, pertama dibangun tahun 1900 berbentuk rumah biasa sebagai cabang percetakan swasta Belanda “Deli Courant” yang berpusat di Medan. Kemudian dikembangkan dengan membangunnya lebih besar lagi seperti yang ada sekarang.
Percetakan yang tentunya mempergunakan peralatan kuno diberi nama “Atjeh Drukrij” yang oleh lidah orang Aceh disebut seenaknya sebagai Aceh Dokree. Percetakan ini menerbitakan sebuah surat kabar bernama “Atjeh Newsblad”. Karena menyusun leternya satu-satu dengan tangan (handzet) maka koran Belanda ini terbit 1 kali dalam 2 minggu. Ketika pendudukan Jepang (1942-1945) percetakan ini menerbitkan surat kabar bernama “Atjeh Shinbun”.
Setelah Jepang angkat kaki, pemuda-pemuda Indonesia ketika itu anatara lain A. Hasjmy, Amelz, Matu Mona, Twk. Hasyim SH, Talsya dll menerbitkan surat kabar “Semangat Merdeka”. Di masa pemerintahan darurat itulah dicetak digedung tua ini uang negara sebagai tanda pembayaran yang syah, sebagai membuktikan bahwa negara Indonesia itu memang resmi ada.
Akan tetapi ada beberapa bangunan di Banda Aceh yang berusia di bawah 70 tahun, milik masyarakat, tapi memilik nilai sejarah ketika perang kemerdekaan 1945-1949. Sayang bangunan-bangunan tersebut karena milik pribadi, bukti- bukti sejarah tersebut hanya tinggal dalam catatan-catatan lama. Sedangkan bangunannya telah dibongkar.
Misalnya “Hotel Central” terletak di Jln. Mohd. Jam. Di sana sekarang telah berdiri sederetan bangunan Ruko. Di aula hotel kecil milik seorang Tionghoa ini sering para tokoh-tokoh pejuang Aceh mengadakan rapat-rapat untuk mengatur pemerintahan darurat di Aceh.
Begitu juga gedung “Sabang Coy”, bersebelahan dengan bekas gedung PMABS di ujung Jln. Diponegoro. Tempat ini pernah dijadikan markas para pemuda pejuang perang kemerdekaan untuk mengatur strategi untuk mara ke Foront Medan Area. Sekarang ini telah berdiri di sana sederetan bangunan Ruko.
Kemudian ada sebuah bangunan lain yang kini ternyata tersendat dalam pengembangan dan pemugarannya yaitu “Atjeh Hotel”. Walau bangunan ini adalah milik swasta, tapi punya nilai sejarah dalam membangun Republik Indonesia. Hotel bergaya Belanda dengan aula dan bar yang luas seperti kebanyak gaya tempo doeloe pernah dijadikan ruangan terhormat menyambut kedatang Presiden Soekarno tahun 1947.
Dari ruangan ini lahir ide kaum saudagar Aceh untuk menghadiahkan sebuah pesawat terbang untuk membantu perjuangan Indonesia mempertahankan Proklamasi 1945. Konon pesawat jenis Dakota buatan Daouglas AS itu adalah cikal bakal armada angkutan udara Indonesia “Garuda” sekarang ini.