– Ditulis oleh Wartawan “nuga.co.” di Medan Arminsyah
Sepagi itu kereta meluncur menembus kabut. Ini untuk pertama kali “mencoba” kereta bandara yang di operasikan PT Railink menuju Bandara Internasional Kualanamu.
Ada sensasi pekik klakson ketika kami mendapat tempat duduk di stasion kota, “Merdeka Walk.” “Bukan main,” bisik sobat saya asal Aceh, Darmansyah, wartawan senior, yang sehari sebelumnya sepakat untuk mencari pengalaman naik kereta bandara pertama di Indonesia ini.
Bunyi klakson angin itu memang memekik gembur dan mencuri perhatian kami. Saya menyenggol rusuk sanga teman yang melengos ke antrean penunpang di pintu masuk.
“Wah sensasi amat,” ulang sang rekan sesama Aceh yang dulu kami sama-sama “makan” wajib sekali sehari di Banda Aceh. Sebuah perjalanan hidup di awak tujuh puluhan, yang sering kami ulang-ulang untuk mengingat sebuah masa lalu, betapa pedihnya kehidupan saat itu.
Jarak Stasion kota dengan bandara Kuala Namu Cuma 30 kilometer. Tapi sensasi perjalanan ke Deli Serdang itu adalah sebuah “mistis” ketika kami menembus kepungan toko dan rumah-rumah sejak dari Jalan Stasion Kereta Api hingga ke ujung Jalan Sisingamngaraja. Kepungan rumah yang terus berlanjut hingga memasuki kawasan Lubuk Pakam yang menerobos kebun sawit.
Memang butuh waktu tiga puluh menit untuk tiba di bandara dengan menaiki kereta yang baru didatangkan dari Korea Selatan itu.
Dan perjalanan kami di sepagi itu tepat waktu ketika tiba di stasion Kuala Namu. Selanjutnya, ratusan orang lalu lalang. Sebagian bergegas menuju pintu bandara untuk check in, sisanya membeli tiket kereta api menuju Medan.
Inilah satu-satunya bandara di Indonesia yang sudah memiliki jaringan kereta api untuk membantu mobilitas penumpang.
Dari udara, Bandara Internasional Kualanamu tampak seperti sebuah kota yang dikelilingi perkebunan kelapa sawit. Memang, mulanya lahan untuk bandara ini merupakan perkebunan kelapa sawit milik PT Perkebunan Nusantara II di Kualanamu, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang. Di sekitar bandara masih terlihat sisa-sisa kebun kelapa sawit itu.
Ketika masih berupa perkebunan, jalan menuju areal bandara ini hanya jalan desa berupa tanah dan sempit. Pada malam hari, suasananya sepi. Apalagi ketika musim hujan.
Penjambretan, pencurian, dan perampokan pun kerap terjadi di Jalan Simpang Kayu Besar dan Jalan Batang Kuis yang merupakan akses menuju perkebunan kelapa sawit ini.
Jalan akses menuju bandara yang dulu becek dan gelap serta disebut sebagai tempat jin buang anak kini beraspal dan terang benderang.
Rencananya akan dibangun jalan empat jalur total selebar 12 meter. Bahkan, masih bisa nambah lebarnya.
Melongok ke dalam bandara seolah sulit membayangkan bahwa di kanan-kiri para penumpang yang duduk di ruang tunggu dulunya berdiri tegak pohon kelapa sawit. Semua itu kini terganti dengan lantai berlapis karpet, dinding kaca, serta puluhan petugas nan rapi dan wangi.
Mengelilingi bandara ini mengingatkan saya pada Bandara Internasional Kuala Lumpur di Malaysia. Interior dan tata ruangan kedua bandara ini mirip.
Jejak kelapa sawit itu tidak sepenuhnya hilang. Arsitek Wiratman merancang bangunan utama terminal ini dengan desain mirip pohon kelapa sawit. Dinding bangunan yang didominasi kaca, memungkinkan cahaya matahari mudah masuk sehingga menghemat energi listrik untuk penerangan.
Kualanamu secara singkat dapat diartikan tempat pertemuan sungai dan laut. Di dekat bandara ini terdapat anak-anak sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Terminal Bandara Internasional Kualanamu hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari bibir Selat Malaka.
Bandara Internasional Kualanamu sebenarnya jawaban atas ketidaklayakan Bandara Internasional Polonia yang ada di tengah Kota Medan. Bandara yang telah melebihi jumlah penumpang pada pertengahan tahun 2013 yang mencapai 6 juta per tahun.
Bandara Kualanamu, persisinya berjarak 39 kilometer dari Kota Medan ini, dirancang dengan konsep aerotropolis, yakni bandara yang tidak hanya melayani penerbangan, tetapi juga menjadikannya kawasan bisnis dan rekreasi. ”Ini untuk menghemat waktu bagi para pelaku bisnis.
Di bandara ini tersedia lahan untuk pusat logistik, bisnis, makanan, dan hotel bintang lima. Juga tersedia lahan untuk apartemen, mal, masjid, dan pusat olahraga.
Bahkan, pengelola akan mendirikan taman bermain atau Theme Park.. Convention hall, stasiun pengisian bahan bakar untuk umum, dan kargo juga berada di kawasan ini.
Para pendatang tidak perlu harus keluar dari Kualanamu jika hanya sekadar ingin ”membunuh waktu” menunggu penerbangan.
Sejauh ini yang sudah rampung pembangunannya baru terminal bandara. Adapun stasiun kereta api masih dalam tahap penyelesaian, tetapi sudah beroperasi sejak 25 Juli tahun lalu seiring dengan pembukaan penerbangan perdana.
Kini, para pekerja terus mengerjakan bagian-bagian di lahan kosong yang diproyeksikan untuk fasilitas dan infrastruktur pendukung Kualanamu sebagai aerotropolis tersebut. Di sayap kiri terminal, persis di depan stasiun kereta api, pekerja menanami rumput hijau.
Bandara Internasional Kualanamu menjadi pertanda penting bagi peradaban baru di Sumatera Utara. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan memprediksi bahwa dalam dua tahun ke depan jumlah penumpang yang datang dan pergi via bandara ini akan meningkat secara signifikan dari 20.000 orang per hari saat ini.
Untuk itu, dia meminta pembangunan jalan menuju bandara segera dirampungkan.
Pesatnya pembangunan bandara berimbas pada harga tanah di sekitar bandara. Enam tahun lalu, harga tanah di Kualanamu, Kecamatan Beringin, masih sebesar Rp 5.000 per meter. Sekarang ini harga tanah mencapai Rp 9 juta per meter.
Dampak lainnya, warga yang tinggal di sepanjang jalan akses menuju bandara ramai-ramai membuka usaha. Di sepanjang Jalan Simpang Kayu Besar, puluhan toko dan warung berderet. Bagi warga, keberadaan bandara membuka peluang rezeki baru.
Semoga warga sekitar Kualanamu juga dapat menjadi subyek kemajuan daerahnya, bukan melulu menjadi penonton….