close
Nuga Travel

Rute Ziarah Itu, Bernama Camino de Santiago

Camino de Santiago. Sebagian orang kenal dengan nama ini dari buku karangan Paulo Coelho berjudul “The Pilgrimage”. Saya sendiri belum pernah baca bukunya. Tapi Camino de Santiago diperkenalkan oleh Adam (suami saya) lewat film yang berjudul The Way (2010), diperankan oleh Emilio Eztevez dan ayahnya, Martin Sheen.

Film itu sendiri bercerita tentang seseorang yang terlalu sibuk dengan rutinitas hingga suatu hari anaknya dinyatakan hilang dan meninggal saat menjalani Camino de Santiago. Inti ceritanya adalah sang ayah menjalani sendiri Camino de Santiago yang tidak terselesaikan oleh anaknya dan perjalanan tersebut membawa perubahan yang besar yang positif dalam hidupnya.

Kembali lagi ke pertanyaan awal. Apa itu Camino de Santiago? Camino dalam bahasa Spanyol artinya jalan kaki. Sedangkan Santiago adalah nama sebuah kota di Spanyol. Nama lengkap Camino de Santiago adalah Camino de Santiago de Compostela, di mana Santiago de Compostela adalah nama katedral yang ada di kota Santiago tersebut. Secara singkat, Camino de Santiago artinya “jalan kaki menuju Santiago”.

Untuk apa jalan kaki ke Santiago? Menurut sejarah kekristenan, seorang tokoh Kristen terkenal bernama Yakobus meninggal dan jasadnya dibawa oleh para pengikutnya dari Yerusalem menuju Santiago dengan berjalan kaki. Sejak itu rute tersebut menjadi ramai oleh para peziarah yang ingin mengunjungi makam Yakobus di Santiago de Compostela.

Sesuai dengan namanya, rute ini juga dikenal dengan istilah “The Way of James”. Rutenya bukan cuma satu namun tersebar dari segala penjuru dunia. Ada yang dari Portugis, Perancis, dan berbagai titik di Spanyol.

Seiring dengan semakin terkenalnya rute Camino de Santiago, kini orang-orang yang menjalani rute tersebut bukan hanya peziarah saja namun orang-orang dari berbagai latar belakang agama dan budaya.

Tidak ada aturan bahwa rute tersebut hanya untuk orang Kristen maupun harus dilakukan dengan alasan keagamaan. Banyak orang yang melakukan rute tersebut hanya untuk alasan kesehatan, mencari waktu untuk kontemplasi, mencari inspirasi, dan beribu alasan lainnya.

Kami sendiri memutuskan untuk menantang diri menjalani Camino de Santiago di bulan Juli 2013. Tidak ada alasan keagamaan. Motivasinya penuh hanya karena ide ini kedengarannya menarik. Jalan kaki setiap hari hingga mencapai Santiago.

Rute yang kami pilih namanya Camino Frances atau dikenal juga dengan The French Way. Dimulai dari St. Jean pied de Port, kota kecil di perbatasan Perancis-Spanyol, melewati pegunungan Pyrenees masuk ke Spanyol hingga sampai di Santiago de Compostela. Berapa jaraknya? Ada beberapa versi karena di tengah-tengah banyak alternatif jalan, namun untuk lebih mudahnya sebut saja 780 km.

Sebelum memulai kami menjalani latihan fisik dulu. Jalan kaki mulai dari 2 km per hari, 5 km per hari, 10 km per hari sampai mencoba jalan kaki 18 km dalam satu hari. Yang penting bukan masalah kecepatan, tapi endurance. Kami menargetkan untuk menjalani 780 km dengan rata-rata berjalan kaki 25 km per hari. Kalau lancar, bisa selesai dalam 33-35 hari.

Masalah lain adalah backpack. Dalam perjalanan ini kami bertekad membawa sendiri barang bawaan kami setiap harinya. Sesuai dengan panduan yang beredar, berat beban yang dibawa idealnya sekitar 10 persen dari berat badan. Saya mencatut sedikit, total berat backpack saya 6 kg (seharusnya 5 kg) sedangkan Adam bawa 7 kg sudah termasuk laptop dan kamera DSLR.

Hari yang dinantikan pun tiba. Saya paling takut dengan hari pertama ini karena rute hari pertama katanya paling mematikan. Naik dari ketinggian 200 mdpl sampai 1.400 mdpl yakni puncak pegunungan Pyrenees kemudian turun lagi ke ketinggian 1.000 mdpl.

Total jarak hari pertama adalah 27 km. Baru 2 km jalanan langsung menanjak curam. Saya ngos-ngosan di trotoar jalan beraspal. Untungnya kami segera memasuki daerah pertanian dengan pemandangan indah yang menghibur mata dan jiwa.

Berangkat jam 7 pagi, rute menanjak terus sampai jam 3 sore. Akhirnya kami tiba di Albergue (penginapan khusus pejalan camino) di desa kecil bernama Roncevaux jam 5 sore.

Albergue ini konsepnya unik. Bentuknya seperti dorm namun besar. Kapasitasnya bisa menampung 300 orang. Ada 3 lantai dimana masing-masing lantainya bisa menampung 100 orang. Ruang-ruang kecil semi terbuka berisi 2 bunk beds untuk menampung 4 orang disekat dengan tembok-tembok. Deretan toilet, kamar mandi dan washtafel berjejer di masing-masing ruangan terpisah untuk wanita dan pria.

Selesai menyegarkan badan dengan mandi, kami menuju ke makan malam bersama yang sudah dipesan begitu segera kami tiba karena hanya ada 2 pilihan restoran di desa itu.

Acara makan malam seperti acara resepsi dengan meja-meja bundar. Kita tidak tahu akan ditempatkan dengan siapa kecuali memang sudah mengelompokan diri sebanyak 10 orang. Kami duduk dengan sepasang kakak beradik berumur 60-an dari Amerika Serikat dan sepasang suami-istri dari Perancis yang kurang fasih berbicara bahasa Inggris.

Hal yang menyenangkan dari percakapan di meja makan adalah bertukar cerita yang sama namun berbeda. Sama karena semua orang menjalani rute yang sama, berbeda karena masing-masing orang punya pendapat sendiri mengenai perjalanannya. Ada yang bilang mudah, ada yang bilang setengah mati menanjak. Ada yang bilang lututnya sakit saat rute menurun tajam. Kalau biasanya pertukaran cerita di hostel-hostel dengan backpacker lain kadang kita tidak terbayang pengalamannya, kali ini semua orang mengerti apa yang dibicarakan. Seru!

Ritual seperti itu berulang terus setiap harinya. Rutin tapi tidak membosankan. Orang-orang yang kami lihat di sepanjang jalan kami kenali, namun belum tentu kenal secara pribadi. Senyuman dan sapaan saling ditukar saat kami melihat pejalan lain. “Buen Camino!” (yang artinya have a good walk) diteriakkan bukan hanya antar sesama pejalan namun juga dari penduduk lokal yang rumahnya kami lewati.

Ada juga pengendara mobil yang dengan sengaja membuka kaca mobil untuk memberi semangat dengan berteriak “Buen Camino!”. Tubuh yang sudah lelah pun kembali terpompa untuk maju terus hingga mencapai tujuan.

Dengan menggunakan 1 hari istirahat di hari ke 13, kami akhirnya tiba di Santiago de Compostela di hari ke-34. Total 33 hari berjalan kaki menempuh jarak 780 km. Di depan katedral Santiago de Compostela para pejalan saling berpelukan, menangis terharu dan saling memberikan selamat.

Semua orang menjadi pemenang. Semua orang mendapatkan sertifikat berbahasa Latin atas pencapaiannya itu. Perubahan apa yang akan terjadi jika kita menjalani Camino ini? Tidak akan ada yang tahu hingga kita menjalaninya sendiri. Tubuh dan karakter ditempa secara otomatis oleh perjalanan ini. Mungkin terdengar berat, tapi kuncinya adalah step by step. Jangan memikirkan kapan sampai ke Santiago, tapi fokus pada setiap langkah yang dijalani.

Saat saya menulis pengalaman ini saya merasa terpanggil untuk mengulangi pengalaman seru ini. Banyak orang yang sudah mengulangi rute ini, bahkan ada yang sudah sampai 6 kali. Just think positive and enjoy the walk. Pasti pengalaman Camino de Santiago ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan seumur hidup. Buen Camino!