Sebuah pesan pendek datang sepagi itu, Selasa, 18 Februari 2014, ke “hand phone” Bu Risma. “The dream mayor,” walikota impian itu tersedak setelah tahun pengirimnya. Ia membaca kalimat dengan dua puluh rangkaian kata itu dengan “takzim”
Menyimaknya, dan kemudian mengangguk untuk kemudian menyeka matanya yang mulai ber”embun,” dan menatap dengan pandangan kosong ke arah pintu masuk ruang kerjanya.
Bu Risma tak ingin menyebut nama pengirimnya. Ia hanya menukaskan sebaris pendek kalimat tentang permintaan sang pengirimnya,”Bu Risma, please jangan mundur.”
Ya, Bu Risma, please jangan mundur.
Dan itu pula yang sekarang ramai-ramai disuarakan oleh komunitas publik, entah siapa dia, entah dari mana datangnya agar Bu Risma, Walikota Surabaya, yang seabrek prestasi itu jangan mundur.
Usai hadir di “talk show” Mata Najwa, program Metro TV, simpati yang datang untuk Bu Risma bak air bah. Tidak hanya dari jeritan “kesakitan” anak-anak Dolly, gelandangan, yatim piatu dan warga miskin tertindas Surabaya. Suara simpati itu datang dari pengamat, akademisi, praktisi dan komunitas pencinta kepemimpinan yang “clean.”
Bu Risma memang mewakili komunitas itu. Terguncang oleh tekanan politik ia seperti tak tahan menghadapinya. Ia ditekan oleh politik “belah bambu” PDI-Perjuangan, yang memaksakan kehendak kepentingannya dengan Tri Rismaharini karena beranggapan merekalah yang “menaikkan” sang wanita perkasa itu ke pucuk kepemimpinan di Surabaya.
Walaupun berkilah ke kanan dan kekiri dengan menuding atasannya sebagai penakan, nyatanya persoalan kepentingan internal PDI-P lah yang kemudian terkuak sebagai “pengganggu” Rismaharini.
Itulah kerisauannya yang paling besar. Kerisauan seorang pemimpin yang bersahaja tentang tuntutan politik “balas budi.” Risma tak punya apa-apa dan tak mau bersinggungan dengan kepentingan temporar itu. Ia ingin totalitas menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan politik dan pribadinya.
Dalam wawancara program Mata Najwa yang tayang di Metro TV pada Rabu lalu, Najwa Shihab, pemandu acara, mengorek seputar isu pengunduran diri Risma sebagai Wali Kota Surabaya.
Meski tak menjawab lugas, Risma menunjukkan kesan melalui ekspresi wajahnya bahwa ia menghadapi tekanan terkait tanggung jawabnya sebagai wali kota.
Risma sempat menangis saat bertutur tentang kisah anak-anak yang menjadi pekerja seks komersial di kawasan Dolly, Surabaya. Sambil terisak, Risma tak kuasa menjawab pertanyaan Najwa tentang apa yang terjadi dengan remaja perempuan yang ia jumpai di sana.
“Saya tidak tega,” katanya terbata.
Air matanya menetes. Risma kembali tak menjawab secara lugas ketika Najwa kembali melontarkan pertanyaan mengapa Risma punya keinginan mundur sebagai wali kota. Ia hanya terdiam. Wajahnya terlihat murung. Ia bahkan tak berani berjanji untuk mengurungkan niatnya mundur.
Tentang penghargaan yang ia dan Surabaya terima, Tri Rismaharini menganggap berbagai penghargaan yang diterimanya adalah ujian atau cobaan dari Tuhan.
Risma berpendapat cobaan dari Tuhan itu ada dua jenis. Yang pertama adalah cobaan yang benar-benar membuat manusia menjadi drop secara fisik dan mental. Yang kedua, cobaan berupa penghargaan atau pujian.
“Karena itu, jika kerja kami di Pemkot dapat penghargaan, maka setelah itu langsung saya tambah volume dan intensitas pekerjaan itu,” kata Risma.
Dia tidak ingin setelah mendapat penghargaan atau pujian justru anak buahnya menjadi terlalu percaya diri dan berubah menjadi kendor semangatnya. “Pokoknya setelah dapat penghargaan, kami akan semakin kerja keras, tanya anak buah saya kalau tidak percaya,” ujar Risma.