IBOH di matahari terik Desember. Awan hujan baru saja berlalu. Bentangan laut menarikan riak kecil dari ombak yang patah-patah. Angin timur yang lembut menggoda para “dive” dan “snorkel” amatiran menceburkan diri dan berkecipak dengan siri karet hingga ke tubir laut.
Iboh dihari cerah itu menjalarkan birahinya hingga ke ubun-ubun untuk di renangi dan selami. Pilinan terumbu karangnya yang hancur dan tercerai berai pada waktu gempa dan tsunami di delapan tahun lalu mulai tumbuh dan membentuk hutan bawah laut. Ikan-ikan, ketika kami datang, sudah punya rumah karang untuk berbiak.
Adalah sebuah nama yang bisa dilekatkan dengan restorasi terumbu karang Iboh. Dodent. Ya Dodent, lelaki bernama hakikah Mahyudin, yang beberapa tahun lalu sudah berangkat ke “arash,” dengan semangat luar biasa menernakkan terumbu karang. Di Iboh, lelaki yang memilih hidup “miskin” sampai ke ujung hayatnya itu, beternak, menanam dan memelihara anakan terumbu karang dengan uangnya sendiri setelah cerai berai dihancurkan “humbalang” laut, tsunami di Desember 2004. itu
Tidak banyak orang yang tahu tentang upaya Dodent, anak Pidie otodidak untuk kemudian di gelar di habitatnya sebagai “professor” kecil, seusai belajar mengawetkan terumbu karang sejak dari Phuket, Maladewa hingga ke Pasifik dan mahir menghafal nama coral dan fishing beserta kehidupannya.
Bahkan ketika kami “ziarah” dan menyebut namanya bersemangat seorang birokrat secara lugu mengatakan, tidak tahu kegiatannya ini karena tak ada sisa proposal di tumpukan meja amtenaar itu.. Juga tak ada jejak glamour untuk mengenangnya secara berlebihan akibat minimnya ekspose wartawan tentang karyanya, sebab dia tak pandai bikin “press release.” Yang ia tahu adalah membesarkan tanaman bawah laut dengan “species” yang kayanya minta ampun ragamnya hingga menghasilkan pesona dalam decak kagum para petualang penyelam profesional yang sanggup berhari-hari berkelana di Rubiah maupun Iboih.
“Species” terumbu karang, rumput laut dan ikan warna warni yang tak terhitung banyaknya dan kalau dikeroyok potensinya akan menghasilkan banjir dollar dan euro atau yen bagi anak Weh yang kini “tersedak” dalam mimpi mobil “matic” asal Singapura yang menjadi cendawan di bawah garasi langit Sabang sampai Balohan.
Untuk itu, ketika sebuah tulisan panjang muncul di sebuah “web” sangat prestise dan mengalpakan Rubiah dan Iboih di djajaran sepuluh taman laut terindah yang pantas disambangi di tanah air, seperti Bunaken, Raja Ampat, Pulau Komodo, Laut Banda, Karimun Jawa hingga Wakatobi, komunitas Gapang, Rubiah dan Iboih mendampratnya di laman “facebook” serta berkicau dengan nyaring di twitter. Tulisan, itu mereka umpat sebagai informasi “spam.” Sampah.
Seorang “account” manajer pada perusahaan perminyakan asal Manado yang hilir mudik menenteng peralatan selamnya dari Bunaken, Bintan, Pulau Komodo maupun Iboih-Rubiah setiap cuti tahunannya, saking jengkelnya pada “website” yang tidak mencantumkan sudut Weh tersebut, mengirim pesan “chatting” kepada kami, dengan nada marah meledakkan dalam kalimat,” busyet, ini penipuan terhadap anugerah dan jangan pernah kita maafkan.”
Marahnya “account” manajer itu bisa tepat, bisa juga meleset. Laman situs “website” prestise itu belum tentu salah seratus persen. Otoritas Sabang, sebenarnya, yang seharusnya memikul tanggungjawab kesalahan ini. Kalau tak percaya, coba tanyakan apa yang monumental yang telah dikerjakan birokrat mereka, selain membuat “seremonial” menyambut turis dari kapal pelesir lewat kalungan bunga dan berpidato di dermaga untuk konsumsi berita dan kemudiannya mengumpulkan kuitansi kosong yang belum berisi angka rupiah yang sudah digelontorkan guna ditebus dari kas pemerintah kota atau BPKS. Entahlah.
Entahlah juga, ketika Gapang, Rubiah dan Iboih tak pernah menginginkan kalungan bunga seremonial. Lokasi ini hanya menginginkan rupiah lebih banyak untuk menduniakannya lewat fasilitas infrastruktur kelas satu. Infrastruktur jalan beraspal mulus yang bebas tanjakan meliuk untuk menghubungi antar resort wisata, motel dan home stay standar Bahama, lapangan terbang klas “number one,” penerbangan internasional dan regular terjadwal, juga, jangan pernah abaikan, “human person safety,” hingga kuliner jajanan “mak nyuuusss” ala Bondan Winarno beraroma salad, “win,” maupun “ beu gurih” sekelas “Kak Ros.”
Apa ada? Jawabannya bisa langsung, tidak. Sabang hanya memiliki infrastruktur “picisan” untuk turis klas “kumuh.” Turis yang menyimpan roti masam di tas punggungnya dan hanya bangga di sebut “backpacker” dengan jajanan sebesar limapuluhan dollar sehari serta menginap di hotel klas “melati” berbau pengap. Turis pelit yang ingin menikmati kemewahan “surga” taman laut Iboih-Rubiah dan bersungut menawar harga souvenir.
Padahal, dengan “kemewahan” berkah alam Iboih-Rubiah, Sabang seharusnya sudah pantas menerima turis sekelas George Soros yang lembaran dollarnya tak mencantumkan lagi nomor seri.Soros, pialang keuangan dunia yang pernah mendegradasikan poundsterling hingga pasar financial London kacau balau dan manuver pasar sahamnya membangkrutkan ekonomi Asia di tahun 1998 , ketika datang ke Sabang dalam hitungan jam, beberapa bulan lalu, setelah mengalihkan kunjungannya dari Kalimantan, hanya bisa menggelontorkan decak kagum atas keindahan Weh terutama Gapang, Rubiah dan Iboih.
Kekaguman sekejap tanpa disertai bocoran dollarnya karena jualan “kemewahan” sebagai mainan kesenangan tak ada di “swalayan” Gapang, Iboih dan Rubiah. “Swalayan” klas Soros berupa resort bertarif seribu dollar dan diantri berbulan-bulan. Atau pun menu beraturan ala rijstafel yang diikuti jadwal “breakfeast, dinner” maupun “launch.”
Untuk itu janganlah terlalu bangga dengan turis kelas teri dari bule bermodal cekak yang hilir mudik dengan celana komprang, kaus singlet dengan rambut kusut dan badan lusuh yang menghitung pengeluaran dollar secara ketengan untuk membayar ongkos kapal cepat.
Turis mancanegara yang dicatatkan oleh birokrat yang jumlah kunjungannya dipajang sebagai hiasan dinding dalam bentuk grafis beserta angka statistik pertumbuhannya di kantor dinas wisata. Padahal belanja mereka masih jauh di bawah turis lokal bergaya hidup pejabat yang membelanjakan rupiah dengan memborong puluhan kotak bakpai, yang katanya, tak bisa ditandingi bakpai Yogya.
Sabang dengan landskap Gapang, Iboih dan Rubiah, seharusnya sudah masuk peta jalan industri wisata yang menggerak ekonomi massal masyarakatnya kesatu arah, mendatangkan pecahan besar dollar, poundsterling, euro, gulden maupun rupiah. Jalan industri wisata yang direcoki dengan ambisi “cet langet” bernama “buffer stock,” perdagangan bebas, pelabuhan bebas bahkan industri penyulingan minyak, yang dibanyak kawasan sudah dicampakkan karena bising dan mencemari udara.
Sabang membutuh sikap “gentlement” untuk melakukan re-orientasi pembangunannya dengan kembali ke “khittah”nya sebagai pulau “vulkanik” yang membentuk karang atoll dan menjadikan sendimen batuan berlapis-lapis dengan hunjaman ke dasar laut untuk tumbuhnya coral terumbu karang.
Suka atau tidak, kita harus berani mengatakan, Sabang telah salah jalan memilih prioritas pembangunannya dengan membiarkan Dodent “sendirian” memungut sampah di Iboih, memijah karang dari duit koceknya atau mencetak brosur serta membuat “website” untuk “menjual” komoditi terumbu karang.
Padahal ketika Sabang sudah menjadi pembicaraan ramai di lingkungan “donya” elite penikmat selam, Langkawi masih pasir kerontang hutan liar pandan laut. Wakatobi, Raja Ampat, Komodo dan Selat Lembeh masih belum mengisi laman “dive.” Sedangkan kepulauan Bunaken baru mencatatkan diri sebagai anak bawang di lingkungan penikmat selam.
Entahlah!!
Dan entah juga ketika sebuah “fiesta” bernama Regata, pesta perahu layer yacht, dengan mengambil jalur Phuket, Langkawi dan berujung di Sabang di umbar banyak orang tersenyum getir. Senyum getir pesimisme. Senyum dari sebuah tontonan penebusan dosa yang para elite yang bersorak bahwa Sabang telah kembali ke “khit’ah”nya.