TERIK siang, hari-hari awal Januari itu, memanggang ubun-ubun kami. Uap laut yang dihirup panasnya matahari itu, berjelaga, berkabut, dan sesekali menari kesurupan digelitik angin nakal bahkan, terkadang, berlarian membelah ruang kosong hingga ke ujung perkampungan. Jelaga uap air yang menyertai angin nakal itu menyapa ramah sembari membasuh kisi-kisi sisa tanah daratan itu dan di ujung perjalanannya membentur tumit bukit, seraya meninggalkan jejak garam di ujung lidah.
Hari itu, ketika kami bersilaturahmi, sisa kampung pesisir itu sedang menyepi. Sendiri. Dan sunyi.
Tak ada “jaloue,” perahu bercadik, seperti biasanya teronggok di hamparan pantai dan sauhnya dililitkan di pohon kelapa. Juga, tak tahu lagi kami dimana letaknya tapak batang beringin rindang yang bersebelahan dengan “bak” ketapang, yang dulunya, tempat bis umum dan mobil pribadi berteduh.
Jangan pernah bertanya kepada sisa penduduk kampung dimana letak ujung jari teluk berpasir putih dengan bangku-bangku lapuknya tempat pelancong mencari inspirasi untuk mengukir sebait puisi. Mereka pasti menggeleng dan berujar ringkas,” hana teupeu.” Tidak tahu.
Tidak tahu juga, sebaris kalimat pendek yang diucapkan Zaidan, lelaki empat puluhan, yang selamat di hari bencana itu karena ia sedang di “bukit” memetik jeruk manis, ketika ditanyakan dimana tumpuk rumah milik “indatu”nya yang bertiang kayu. Petak rumah tua milik garis turunannya, tempat mereka beranak pinak dan membangun garis turunan.
Bahkan, telah raib balai mini pendaratan ikan, tempat rezeki nelayan di tumpuk, dan sisanya dijinjing pulang untuk di “taguen” sebagai kuah lemak. Entah kemana pula perginya mushala kecil, sebuah rumah ritual untuk shalat subuh anak negeri bertuah itu, yang dulu, bangunannya oleng karena tanah tiang pancang sebelah kanannya terkulai di makan abrasi..
Tak ada petunjuk dimana “meunasah itu berlabuh, padahal disanalah doa anak laut itu menembus ke “langit” ke tujuh dan melarikan sisa gumam zikirnya bersama kayuh “jaloe” guna mengejar fajar di terumbu karang tempat kakap merah berumah dan memijah telur untuk beranak pinak, nun di tepian samudera sana.
Di hari itu pula kami kebingungan menelisik dimana lokasi barisan kedai beratap “kalarai,” anyaman daun kelapa, yang ber”palanta, teras depan, dulunya, tempat ikan asin bergelantungan dan menebarkan bau menyengat hingga pembeli bersin berlelehan air hidung.
Jangan cari lagi, ingat seorang kawan, ketika kami membisikkan ingin menemukan tapak warung nasi,yang ketika itu, sangat “meugampong.” Warung nasi berlantai papan di atas tiang penyangga yang menunggingkan pantatnya ke tubir laut, tempat pendatang menikmati makan siangnya.
Kedai nasi dengan menu sederhana, “asam keueng,” asam pedas, berkuah air dengan bumbu “asam sunti,” ditambah panggang ikan “rambeu” dan gulai pakis berkuah santan jalang.
Ooo…alahhhh…, nikmatnya.
“Kenikmatan,” dalam tanda dua petik, di kampung pesisir itu, di hari kami bersilaturahmi, hanya tinggal kenangan seusai tsunami memunahkannya. Punah bersama seluruh isinya dan kini ia sudah pergi ”jauh,” untuk tak pernah kembali lagi,. kepelukan laut.
Patek, kampung pantai itu dengan seribu kenangan yang hinggap di memori otak kecil anak-anak selatan, memang telah punah.
Ia telah dijemput maut setelah tanah daratannya diwakafkan untuk dikunyah gigi gergasi berhumbalang jelaga air hitam dan kini desa kenangan itu telah berkubur di rahim laut.
Kampung itu telah mengakhiri ziarah hidupnya di hari kelabu, 26 Desember 2004, tujuh tahun lalu. Ia menerima takdirnya dengan “tawakal” untuk ber”jirat” bersama anak “aso lhok”nya, anak negeri asalnya, nnuuunnn….. jauh disannnaa…, di ujung tubir karang, dan tak pernah diberi “nisan” sebagai pertanda bahwa ia telah berpulang.
Ya Patek, telah berangkat ke “arash” bersama kehendak Yang Punya Nya. Patek telah lama mati.
Tapi siapa yang bisa membunuh kenangannya terhadap kampung eksotik yang permai, bagaikan potongan “sorga” yang dicampakkan ketepian bumi itu
Tak percaya?
Tanyakanlah kepada anak-anak yang besar di Lembah Geureute tentang “gampong” bertuah itu, dan kemudian catatlah isi celoteh mereka bahwa Patek adalah tanah dengan karunia. Mereka pasti akan menghamburkan memorinya untuk mengejar penggal kisah negeri itu.
Kisah yang di”hikayat” dengan volume suara besar dan terkadang “menggurui,” untuk di-iyakan pembenarannya Penggal kisah, yang kalau pun mereka mati, akan ikut “berangkat” bersamanya ke liang lahat.
Patek, seperti kata Basri Emka, anak “selatan” yang pernah jadi bupati di Calang, dan memorinya masih utuh menyebut setiap sudut kampung yang raib itu, memang mengusik kenangan. “Negeri itu penuh misteri. Semisteri namanya,” kata pensiunan pejabat Pemda Provinsi Aceh itu..
Patek memang misteri. Misteri dari sebaris kata aneh. Kata yang tak biasa di banyak telinga dan tak pantas untuk ditabalkan menjadi nama kebesaran sebuah negeri di sebuah kenduri ”hakikah.” Tapi itulah nama sebuah kampung pelintasan yang enteng untuk diucapkan dan akrab masuk kependengaran setelah menjalin persahabatnnya dengannya.
Nama Patek datang dari sebaris sukukata sederhana, seperti lazimnya banyak nama “gampong” di Aceh yang sering mencengkokkan lidah “buya tamong,” orang pendatang. Berasal dari dua kata “pat” dan “ek.” Sukukata eksentrik, yang dibunyikan secara “elegan” lewat mimik ekspresif, dalam dialek dan tatabahasa Aceh. Ringkas dan patah-patah, mungkin,tak mudah untuk dimengerti di telinga pendatang.
Sukukata bersambung dalam artian harfiah, “dimana” dan “naik.” Dimana tempat untuk naik. Tempat naik dari pantai landainya ke sejumput daratan untuk kemudian merambat ke bukit terjal di punggung kampung.
Tentu bukan rangkaian sukukata “tempat untuk naik” itu yang menjadikan desa itu sangat ke sohor. Patek bukan hanya rangkaian sepotong nama aneh. Ia sejatinya, adalah sebuah destinasi indah yang terbentuk dari irisan karang atol di pinggiran samudera, di hamparan laut tak bertepi.
Kampung di sebuah sudut pantai, bagian barat Aceh Kampung di sebuah teluk, yang di selangkangnya dipenuhi terumbu karang, dan di ujung tubirnya di huni dua pulau karang” hasil sendimen tumbukan lempeng “tuf marina” yang dihuni hutan “mengkudu” dan pohon kelapa kerontang di tebing batunya.
Tanjung gunung di sisi kirinya, yang memeluk lekuk pinggang kampungya, hingga membentuk sebuah destinasi teluk. Tanjung yang menusuk hingga ujung laut tempat ombak menarik di tebing bukitnya Sedangkan di sebelah kanannya terhampar pasir putih memanjang, yang ombaknya berdentam-dentum, dan sepanjang bibir pantainya dipenuhi pohon ketapang, cemara dan pandan laut hingga bersambung berkilometer jauhnya keperbatasan desa jirannya, Kuala Ligan.
Di teluknya, yang berair tenang, tak pernah sepi dari riak berjingkrak. Jingkrak beriringan dari hempasan gelombang di tubir karang dan berayun membentuk bukit air yang tak pernah putus-putusnya. Ayunan gelombang yang menyerakkan jejak buih sepanjang laut dangkalnya dan berakhir menjilat bibir pantai.
Tak seorang pun, bukan hanya anak-anak asal Lembah Geureute, yang bisa menghapus kenangannya bersama “gampong,” kampung, pantai itu. Siapa pun di antara mereka, apakah anak pesisir atau bukan, tak bisa menahan diri mencari bagian paling berkesan dimemorinya untuk mengingat Patek.
Ingat ikan panggang “rambeu” dengan gulai “paku,” pakis, bersantan “jalangnya,” yang encer. Pasti ada “taste” berbeda bagi setiap penikmat. “Taste” yang membentur saraf perasa di ujung lidah untuk kemudian memjalarkan sensasi ingatan di otak kecil untuk kemudian dipahatkan secara permanen di memori sepanjang hidup. Kuliner khas yang menerbitkan selera dan membuat keringat mengucur, yang tak pernah ditampik kebenarannya. Juga secara serempak diamini sebagai milik “kita.” Milik semua orang.
Juga milik Alfian Hafid, seorang karyawan Pemda Aceh, yang ketika kami bercerita tentang Patek Lama, ia tak bisa menahan kerinduannya untuk menyegerakan kenangannya tentang barisan kedai kayu di tapak kaki pantai dan berkisah tentang gulai paku serta kenikmatan sajian panggang rambeu yang hanya dibasuh air asin dengan anyirnya yang masih melekat. Ia juga bisa hafal bagaimana membungkus ikan asin kakap merah agar tak menebarkan bau sepanjang perjalanan sebagai oleh-oleh..
Kenikmatan kuliner di warung tubir karang yang berlantai papan lapuk dan sompelannya menyembulkan paku karatan dan ketika diinjak akan akan berjungkat-jungkit sembari menyanyikan suara ”kraak-kruuuk,” dan membuat pengunjung harus menjaga keseimbangan. Gamang.
Itulah sepenggal warung kampung berkuliner sederhana milik Patek yang menyuguhkan pesona teluk dangkalnya yang terus menerus dibasuh uap laut. Teluk yang memeluk dua pulau batu karang berpohon kelapa di tebing curamnya dan tak akan pernah bosan menebar sapa.
Patek, di km 101 dari Banda Aceh, ketika itu, tidak hanya “kemewahan” kuliner ikan segarnya. Kampung pantai itu juga dikenang dengan ikan asin kakap merah yang digelantungkan di balai-balai kedai reot ber”palanta” kayu dimakan rayap. Ikan asin beraroma menusuk dan dibungkus dengan plastik untuk membunuh baunya di mobil ber AC.
Kini, Patek Lama, hanya bisa didendangkan dengan hikayat atau “haba dang deriah” yang lirih. Dendang kenangan bahwa telah raib sebuah negeri makmur berpagar bukit dan berhamparan laut serta meninggalkan sejumput tanah bekas tapak “gampong” yang banyak anak-anak di Lembah Geureteu tidak pernah tahu dimana lokasi persisnya.
Dan Patek baru, atau pun Lho Kruet baru serta Kuala Unga baru yang dipindahkan ke “ujong blang” tidak lagi menggetarkan hati sisa anak “aso lhok.” Tidak ada lagi tautan kosmis yang menyebabkan mereka transendental. Mereka memulai hidup baru dengan datar sembari mengenang penggalan-penggalan kisah tentang ayah, ibu, adik ataupun garis turunannya yang hilang tak bertepi. Garis turunan yang hanya bisa mereka banggakan dengan lafadzh jalan takdir.
Bagi mereka tak ada lagi rumah panggung berdinding papan “meudang jeumpa” ataupun tiang balok “seumantok” sebagai penyangga rumah milik “indatu.” Bahkan ketika kami pamit dan mengucapkan tabik salam keselamatan mereka hanya menjawab dengan suara garau menahan ledakan duka yang terpendam selama hampir tujuh tahun.
Tak ada getar yang bisa mencabik lembaran kenangan pilu mereka. Tak ada juga pesan langit untuk mengembalikan kegembiraan anak pantai barat ketika melepas kepergian kami. Hanya pandangan sendu yang menjalar diwajah mereka ketika kami beranjak dari rumah “kotak sabun” hadiah sebuah NGO di utara donya itu.