TENTU saja di Medan, bukan hanya Garuda Plaza sebagai satu-satunya tempat “raseuki,” Aceh “meuhambo,” bertebaran. Kota yang dikenal dengan “gudang” preman dan memiliki “joke” yang sangat khas dalam sebutan “sumut” itu, “semua urusan dengan uang tunai” memiliki banyak “meunasah” lainnya di sepanjang Jalan Sisingamangaraja, hingga ke Jalan Puri atau Jalan Amaliun, sebagai pelepas penat para “syedara.”
Tempat pelepas penat dari “raseuki” yang didapat di tanah bertuah, yang kemudiannya ditangkap secara bijak oleh roda ekonomi. Sebutlah misalnya, Bank Aceh, yangt membuka kantor cabang utama, persis di seberang Garuda Plaza, guna memudahkan orang-orang “aso lhok” menyolokkan kartu ke lobang ATM dengan menarik isi rekeningnya.
Garuda Plaza, plus “meunasah” seputar Jalan Sisingamangaraja hanyalah satu barisan dari banyak “enclaf” pendatang Aceh menggelontorkan “eumpang peeng,” tas duit. Yang lainnya, gelontoran duit “syedara, bisa dicatatkan, di Pasar Ikan Lama, Pasar Petisah, Medan Mall, Plaza Thamrin, selain Sun Plaza dan Carrefou di komplek Medan Fair. Bertakziah ke sana, pasti terdengar sapaan akrab “pajan jinoe” atau pun “peu haba” di sudut gang atau ketika kepergok sama-sama menawar barang.
Hingga kini, tak ada penelitian secara spesifik untuk menghitung besaran angka “raseuki gampong” dihamburkan ke Medan. Dulunya, ketika BRR masih eksis, ada hitungan kasar yang diuraikan secara acak oleh sebuah koran terbitan Medan, hasil wawancara serabutan dengan seorang pengamat ekonomi Unsyiah, yang mengatakan, sekitar delapan puluh persen anggaran lembaga itu menjadi “cashflow” di provinsi tetangga. Angka yang tak pernah ada klarifikasi finalnya. Sehingga memunculkan pendapat lainnya yang lebih ekstrim, yang mematok angka rupiah BRR yang “terbang” ke luar Aceh bisa mencapai sembilan puluh persen lebih. “Urut saja, sejak dari kebutuhan semen, besi hingga sayur dan telor ayam, bahkan ongkos buruh pun mengalir ke sana,” kata sang pengamat.
Waktu itu, katanya, duit BRR, baik dana APBN maupun lembaga donor yang digelontorkan ke Aceh tidak kurang dari Rp 60 triliun. Ia juga mencatat duit yang tersisa di Aceh hanya untuk membayar harga tanah uruk, pasir, “fee pajak nanggroue,” ongkos penginapan dan untuk bayar makan “beu gurih” pagi. Lainnya? “Batu bata saja didatangkan dari Medan dan Batam.” Entahlah.
Berangkat dari kenyataan itu, yang pasti, orientasi ekonomi Aceh, sampai hari esok, “magnet”nya masih berada di Medan. Tidak hanya “hambo” belanja konsumtif tapi juga barang modal serta ekspor impor di”atur” di Medan. Seluruh aspek bisnis. “Coba tunjukkan kepada saya mana kegiatan ekonomi Aceh yang tidak disentuh tangan Medan,” tantang Rustam seorang ekonom Unsyiah yang lain, pada suatu siang kepada kami.
“Anda tahu? Sejak dari wortel, telur ayam, air kemasan, hingga komoditi ekspor semaca CPO, kopi, karet dan coklat arus ekspornya berpangkal atau berujung ke Medan,” katanya dengan geram.
Bahkan, sang ekonom lulusan S3 dari University Kebangsaan Kuala Lumpur itu dengan kalimat meninggi memberi angka ratusan milyar duit penduduk Aceh tertanam di sektor “properti” di Medan. “Mereka bukan membeli rumah. Tapi membeli kampung mewah di Medan. Mereka tertawan simbol gaya hidup moderen di sektor investasi properti di sana. Mungkin lebih nyaman hidup di sana,” kata sang ekonom.
Ia bisa memahami pilihan hidup yang diputuskan orang kaya Aceh di Medan. “Anda tahu harga kebutuhan hidup di Aceh? Tiga kali lipat dari di Medan,” katanya mengambil contoh harga lontong pagi yang Rp 9 ribu di Banda Aceh, dan hanya Rp 3 ribu di Medan. Kalau tidak karena alasan kerja, anak sekolah dan ikatan emosional kampung halaman di sini gila apa kita menetap di Aceh.
Ia menuding, banyak elite Aceh yang dulunya berjuang untuk kesejahteraan “rakyat,” bahkan dengan mengangkat senjata, kini kawin atau memboyong anak istrinya ke Medan dan menghabiskan duit hasil proyeknya di mal-mal besar.
Sang pengamat menunjuk kawasan elit Medan, komplek perumahan Setiabudi, di bagi timur kota, nyaris menjadi “gampong” Aceh. “Gampong” orang berduit di Aceh, dari pejabat sampai toke-toke proyek di ujung Singkil hingga ke pucok Blang Kejeuren, berlomba membeli rumah di kawasan itu mulai dari hitungan harga ratusan juta hingga milyaran rupiah..
“Rumah milik para pejabat berlabel kepala satuan kerja hingga milik kepala dinas sampai kepala daerah kabupaten. Tidak hanya milik pejabat, toke-toke, apakah dia kontraktor atau pun pengusaha swasta yang terbilang kaya, punya rumah di sini,” ujar seorang teman, yang selain menempati salah satu rumah di sudut komplek, juga pernah menyodorkan sejumlah nama penghuni asal Aceh di sana.
Menurut sang teman, arus investasi orang Aceh di sektor properti Setiabudi bukanlah kasus baru. Kasus ini adalah pengulangan dari kejadian serupa di zaman barter, ketika orang kaya Aceh, seperti pemilik CV Lubuk, NV Permai, Firma Anda, Aceh Kongsi ataupun CV Perdata ramai-ramai “membeli” perkampungan “mewah” di kawasan Medan Baru awal tahun enampuluhan.
Perkampungan, ketika kami menelusurinya di awal April lalu itu telah banyak berubah dan berpindah tangan. Suasana perkampungan itu pun sudah mulai kumuh. Di beberapa sudut jalan terdapat genangan air dari parit yang tersumbat dan sampah secara liar berserakan. Terasa agak dibiarkan. Tapi “aura” Acehnya masih pekat walaupun perumahaan itu menjadi “kuno” setelah berumur lima dasawarsa. Kuno sebagai bangunan dengan plafon rendah dan sebagiannya sudah dilego anak cucu pemiliknya. Padahal dimasa jayanya kawasan elit ini pernah mendapat predikat sebagai “Kebayoran Baru” nya Medan.
Perkampungan elit ini masih meninggalkan jejak kental keacehannya dari sebuah masjid besar yang dibangun dari sadaqah saudagar Aceh, kala itu, dengan nama Istiqamah. Di masjid ini hingga sekarang masih terpelihara tradisi “khauri maulod,” zikir “dhalail khairat ” setiap malam Jumat dan tadarus dan shalat tarawaih berjamaah di malam – malam bulan Ramadhan.
Kampung ini, sepertinya, disengaja oleh para pemiliknya didekatkan dengan kantor perwakilan pemerintah provinsi di Jalan Patimura, yang jaraknya sepenggal langkah. “Kami dulu sepakat untuk menjadikan kantor perwakilan itu sebagai simbol keutuhan masyrakat Aceh disini. Semacam “balee gadeng,” ujar Syahnan seorang penghuni “awai” dari komunitas Gayo yang masih tersisa di Medan Baru.
Komunitas Medan Baru memang mencerminkan “plural”nya kesukuan di Aceh. Ada Gayo, Alas, “Jamee,” Melayu dan sebagainya.
Untuk itulah, menurut Syahnan perlu sebuah “Balee Gadeng” sebagai rumah musyawarah yang yang menampung keluhan sekaligus membahas dan memutuskan seluruh persoalan yang dihadapi perkauman. Juga untuk mendapat informasi tentang gejolak di kampung. “Semacam rumah komunitaslah,” kata kakek yang dulunya pengusaha kaya di zaman “barter.”