Situs “healthland,” hari ini, Sabtu, 30 April 2016, secara mengejutkan menulis dampak dari kehidupan sekelompok orang atau seseorang yang kelewat bersih dengan mengambil perbandingan antar kota dan negara.
Menurut “healthland,” di era modern orang terpapar lebih sedikit mikroba dibanding para pendahulunya.
Bukan hanya sistem sanitasi yang baik, akses terhadap air bersih, dan berbagai produk sabun antibakteri, membuat kita hidup sangat bersih.
Meski begitu, menurut hipotesa kebersihan atau hygiene hypothesis terlalu higienis justru akan mengubah bakteri yang tinggal di tubuh kita.
Akibatnya, kita pun lebih rentan alergi, asma, dan penyakit yang berkaitan dengan sistem imun.
Hipotesa tersebut dibuktikan dalam penelitian terbaru yang dimuat di jurnal Cell.
Menurut hipotesa kebersihan, lingkungan di mana bayi dibesarkan dan paparan mikroba di awal kehidupannya, berpengaruh besar pada tipe kuman yang hidup alami di tubuhnya.
Mikroba itu nantinya berpengaruh pada risiko penyakit di masa depan.
Ilmuwan dari Broad Institute of MIT dan Harvard menemukan, bakteri di usus bayi yang lahir di pinggiran Rusia berbeda dengan bayi yang lahir di kota besar seperti Finlandia dan Estonia.
Pada bayi yang lahir di Rusia, bakteri yang mendominasi adalah E.coli atau jenis bifidobacterium, sementara bayi di Finlandia flora ususnya adalah jenis Bacteroides.
Sementara bayi di Estonia memliki dua jenis bakteri itu, karena pertumbuhan ekonomi di negara tersebut membuat penduduknya bergeser dari pola agraria ke perkotaan.
Perbedaan jenis bakteri pada populasi yang berbeda ini ternyata juga terkait dengan tingkat diabetes tipe 1. Tingkat penyakit ini lebih tinggi pada bayi-bayi Finlandia dan lebih rendah pada bayi Rusia.
Bahkan setelah para ilmuwan memasukkan faktor yang berpengaruh pada kolonisasi bakteri usus, misalnya pola makan, lingkungan, dan ASI, perbedaan mikroba berdasarkan geografi ini berpengaruh paling besar.
“Anak-anak di Rusia hidup dekat dengan peternakan dan pertanian, mereka terpapar berbagai jenis mikroba dari tanah dan juga hewan,” kata Ramnik Xavier, peneliti.
Sementara itu, bayi yang hidup di perkotaan Finlandia yang lingkungannya sangat bersih, jarang bermain di tanah. Karenanya, paparan kumannya tentu berbeda.
Penelitian lain menunjukkan, paparan pada spesies bakteri yang ada di tanah dan lingkungan pedesaan, terkait dengan produksi asam lemak yang bisa melawan patogen penyebab infeksi pernapasan.
Bakteri ini juga berpengaruh pada metabolisme.
Perbedaan koloni kuman dan bakteri ini pada akhirnya juga menghasilkan sistem imun yang berbeda.
Pengaruhnya adalah anak-anak akan lebih terlindungi, atau justru rentan pada alergi dan gangguan metabolisme seperti diabetes.
Setiap orangtua tentu tak ingin anak-anaknya tertular penyakit, karena itu kebersihan dan higienitas di sekitar anak selalu dijaga.
Akan tetapi, menurut sejumlah penelitian, anak yang terlalu higienis justru lebih beresiko alergi.
Apabila berlebihan kebersihannya, alergi akan meningkat kejadiannya.
Di suatu negara, antara desa dan kota, penyakit alergi lebih banyak di kota
Penelitian juga menunjukkan, angka kejadian alergi di negara maju lebih tinggi dibanding negara berkembang.
Namun, angka kejadian infeksi di negara berkembang lebih tinggi.
Budi menjelaskan, seseorang yang alergi memiliki suatu sel T helper tipe 2 lebih tinggi.
Sedangkan seseorang yang terkena infeksi memiliki sel T helper tipe 1 yang lebih tinggi. Sel T helper tersebut berkaitan dengan sistem imun tubuh manusia.
Jadi kalau anak-anak tidak bersih, sering terkena infeksi, maka sel T helper 1 tinggi. Tingginya sel T helper 1 akan menekan sel T helper 2. Jadi enggak muncul alerginya.
Sebuah penelitian juga pernah menemukan, anak-anak yang pada tahun pertama kelahirannya pernah terpapar bakteri rumah tangga, tinggal dengan hewan peliharaan, lebih sedikit mengalami alergi.
Alergi bisa muncul jika ada faktor keturunan dan didukung faktor lingkungan.
Munculnya alergi pada anak pun bisa dicegah.
Salah satunya dengan memberikan ASI eksklusif selama enam bulan.