Sebuah riiset terbaru menemukan fakta, bahwa bos di tempat kerja melihat pria sebagai pribadi yang lebih ambisius daripada wanita.
Survei dari The YouGov untuk laman the Young Women’s Trust juga mengungkapkan, pria dianggap lebih percaya diri.
Sementara, wanita dianggap lebih “teliti” di tempat kerja.
Survei tersebut pun menyebut dua per lima perekrut kerja mengatakan, kemungkinan pria untuk meminta kenaikan gaji atau jabatan lebih besar daripada wanita.
800 karyawan yang memiliki tanggung jawab dalam pengambilan keputusan soal sumber daya manusia ambil bagian dalam riset ini.
Temuan ini juga mengungkapkan, satu dari tiga orang dalam survei tersebut percaya terdapat diskriminasi gender di tempat kerja.
Kemudian, satu dari delapan orang mengatakan, terdapat pelecehan seksual di tempat kerja yang terjadi tanpa sepengetahuan perusahaan.
Tercatat pula, satu dari sepuluh orang menyadari adanya kesenjangan gaji antara lelaki dan perempuan di perusahaan. Perempuan mendapat gaji lebih kecil daripada lelaki pada tingkat senioritas yang sama.
Temuan ini muncul setelah sebuah survei terbaru yang dilakukan Populus for Young Women’s Trust mengungkap, separuh dari wanita muda dalam survei tersebut ingin menjadi bos di tempat kerja.
” Wanita muda sebenarnya tidak kekurangan ambisi. Hanya saja, bos mereka sering menahannya.”
“Entah secara sadar atau tidak, bos tersebut telah mendiskriminasi mereka,” kata Dokter Carole Easton OBE, Chief Executive Youth Trust.
Carole Easton juga mengatakan, pandangan kuno seperti inilah yang membuat wanita banyak selamat dari ancaman pemecatan.
“Ini yang menyebabkan banyak majikan dan sektor ekonomi kehilangan wanita muda bertalenta.”
“Wanita muda yang bertahan dalam pekerjaanya biasanya memiliki tanggung jawab utang,” tambah dia.
Carole Easton menyarankan agar segera ada tindakan mengenai fenomena ini supaya masa depan dan harapan wanita muda juga terpenuhi.
Selain itu laman “hello sehat” juga menulis tentang kesenjangan gender yang nyata ketika membicarakan posisi kepemimpinan laki-laki dan perempuan di tempat kerja.
Masalahnya mungkin sebagian berakar dari asumsi seksis.
Dalam sebuah studi baru, para peneliti menemukan bahwa masyarakat menganggap pria memiliki kualitas kepemimpinan yang baik, tapi dengan wanita, orang-orang cenderung lebih skeptis.
Yang tentu saja kemudian menggenjot gagasan masyarakat tentang siapa yang lebih pantas dan lebih mampu dalam menangani pekerjaan manajemen tertentu.
Berdasarkan survey PEW Research Center, dalam estimasi publik, beberapa karakteristik memiliki kadar kepentingan yang lebih berat daripada lainnya.
Kejujuran, kecerdasan, dan ketegasan dianggap sebagai kualitas kepemimpinan yang “sangat penting” oleh setidaknya delapan dari sepuluh orang dewasa.
Kira-kira dua-pertiga orang dewasa (67 %) mengatakan bahwa keteraturan dan organisasi yang baik adalah kualitas penting yang harus dimiliki seorang pemimpin. Selanjutnya disusul oleh rasa simpati dan kasih sayang (57%), inovatif (56%), atau ambisius (53%) adalah karakter yang dianggap penting dalam kualitas kepemimpinan.
Kesenjangan gender yang lebih besar muncul pada beberapa sifat yang dianggap kurang penting.
Wanita dibandingkan pria lebih mungkin untuk mengatakan bahwa penuh kasih merupakan faktor penting untuk seorang pemimpin: enam puluh enam persen dari wanita mengatakan ini, dibandingkan dengan empat puluh tujuh persen laki-laki.
Perempuan juga menempatkan nilai tinggi pada inovasi dibanding pria. Sekitar enam puluh satu persen wanita menganggap sifat ini menjadi benar-benar penting dalam seorang pemimpin, dibandingkan dengan lima puluh satu persen laki-laki.
Selain itu, perempuan lebih mungkin dibandingkan pria untuk mengatakan ambisi sebagai sifat penting bagi seorang pemimpin pria mengatakan karakteristik ini benar-benar penting
Kesenjangan gender secara keseluruhan ini didorong oleh generasi orang-orang muda milenium — kaum milenium.
Masyarakat melihat sedikit perbedaan antara pria dan wanita pada beberapa sifat kepemimpinan di atas.
Mayoritas irang mengatakan bahwa ketika membicarakan soal kecerdasan dan inovasi — berdasarkan empat survei global terpisah dari PEW Research Center, Harvard Business Review, Business Tech, dan Business Insider — pria dan wanita menampilkan kualitas yang sama besar.
Dan hampir keseluruhan masyarakat tidak melihat perbedaan gender dalam ambisi, kejujuran, dan ketegasan.
Namun, masih banyak yang membedakan kualitas kepemimpinan antara pria dan wanita berdasarkan karakteristik tertentu.
Misalnya, pemimpin pria mencetak skor yang lebih tinggi dalam aspek membuat keputusan-keputusan sulit dan penanganan isu-isu kontroversial atau krisis, dengan tenang dan penuh percaya diri.
Menariknya, dalam survei milik Harvard Business Review, hanya tiga dari dua belas kategori profesi yang dinilai oleh masyarakat bahwa pria memiliki efektivitas yang lebih unggul daripada “pesaing” wanitanya, dan dua di antaranya — customer service dan fungsi administratif — secara tradisional dianggap sebagai lahan pekerjaan para wanita.
Malah, keunggulan terbesar wanita dalam ranking efektivitas dibandingkan pria umumnya lebih terdapat di bidang fungsional yang biasanya sangat didominasi oleh kaum pria
Publik juga lebih cenderung untuk menilai wanita menjadi sosok pemimpin yang lebih teratur dan terorganisir daripada pria, dan jarang yang menilai sebaliknya.
Selain itu, menurut temuan survei, responden menilai pemimpin wanita lebih tinggi pada memimpin laki-laki dengan menjadi “sosok yang memberikan contoh”; lebih baik dalam berkomunikasi secara terbuka dan transparan; lebih mungkin untuk mengakui kesalahan; dan mengeluarkan potensi terbaik dalam diri orang lain.
Selain itu, masyarakat lebih cenderung menilai bahwa wanita lebih memiliki sifat kasih sayang dan menunjukkan kompetensi ‘mengasuh’, seperti mengembangkan potensi orang lain dan membangun hubungan. Di semua kasus survei, wanita memang menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada pria.
Dan, dua dari ciri klasik seperti “cepat mengambil inisiatif” dan “bekerja demi mendapatkan hasil” yang selama itu melekat sebagai kekuatan pria, justru didominasi oleh pemimpin wanita yang mencetak skor tertinggi.
Sebaliknya, kaum pria hanya menduduki peringkat pertama di satu kategori kompetensi manajemen, menurut survei Harvard Business Review — yaitu kemampuan mengembangkan perspektif strategis.
Salah satu survei juga menemukan bahwa, secara global, pria hampir terkalahkan oleh perempuan mereka — 54% dibandingkan 46% — sebagai jenis kelamin yang diharapkan penduduk dunia untuk mengarahkan kita melalui tantangan dalam lima tahun ke depan.
Menurut Ketchum Leadership Communication Monitor, survei ini bukannya digunakan sebagai ketukan palu bahwa setiap pemimpin dunia masa depan harus wanita, dan pria tidak lagi memiliki tempat dalam kepemimpinan.
Sebaliknya, sudah saatnya untuk mengabaikan gagasan kuno masyarakat tentang peran gender di tempat kerja.
Perempuan akan unggul saat diberi kesempatan untuk bersinar. Begitu pula dengan pria, terutama ketika mereka juga merasa perlu untuk membuktikan diri dalam peran non-tradisional.
Yang menjadi benang merah dari semua survei ini adalah tidak ada gender yang lebih baik daripada yang lain.
Temuan survei lebih berfokus pada bagaimana pria dan wanita dapat mengembangkan keterampilan kepemimpinan dan kemampuan mereka, dan tidak ada bidang tertentu yang khusus disediakan untuk satu gender atau yang lain.