Apakah Anda termasuk “penggila” sekfie?
Kalau jawaban iya, maka Anda termasuk salah seorang yang dianggap memiliki kelainan mental.
Ya juga ketika perilaku selfie semacam itu dianggap “gila”
Dan American Psychiatric Association, seperti ditulis “the telegraph,” hari ini, Selasa, 02 Januari 2018, menetapkannya dengan istilah “ selfitis.”
Dan istilah selfitis ini mengacu pada kelainan mental berupa kegemaran mengambil dan posting selfie secara berlebihan.
Kabar tersebut ternyata cuma hoax belaka. Namun, sekelompok peneliti dari Notthingham Trent University dan Thiagarajar School of Management di India rupanya penasaran.
Mereka ingin mengetahui apakah femomena ini benar-benar ada.
Sebuah studi pun dilakukan dengan melibatkan responden dua ratus dua puluh lima mahasiswa dari kedua kampus.
Hasilnya?
Tim peneliti mengklaim bahwa kelainan mental “selfitis” ternyata memang nyata dan bisa dikategorikan.
“Kami nampaknya bisa mengkonfirmasikan keberadaan (selfitis) dan telah membuat ‘Skala Perilaku Selfitis’ pertama di dunia untuk mengevaluasi kondisi subyek,” tutur Dr. Mark Griffiths dari Departement Psikologi Nottingham Trent University.
Hasil studi yang dipublikasikan dalam International Journal of Mental Health and Addiction itu membagi “Selfitis” ke dalam tiga tingkatan, tergantung keparahan.
Pertama adalah “borderline Selfitis” di mana seseorang mengambil selfie setidaknya sebanyak tiga kali sehari, tapi tak mengunggahnya ke media sosial.
Kedua, “Selfitis akut”, yakni menjepret selfie, juga setidaknya sebanyak tiga kali, kemudian mengunggahnya ke media sosial.
Tahapan ketiga yang paling parah adalah “Selfitis kronis” di mana seseorang memiliki dorongan untuk terus-menerus menjepret selfie sepanjang waktu, lebih dari enam kali tiap hari.
Tim peneliti menyusun dua puluh pernyataan yang mesti dijawab dengan “setuju” atau “tidak setuju” untuk mengukur tingkat keparahan “selfitis” responden.
Contoh-contohnya seperti “Saya merasa lebih populer ketika posting selfie di media sosial” atau “Saat tidak mengambil selfie, saya merasa terasing dari grup”.
Studi menyimpulkan bahwa, dari kedua ratus dua puluh lima responden, tiga puluh empat persen memiliki “borderline Selfitis”, empat puluh koma lima persen “selfitis akut” dan dua puluh lima koma lima5 persen “selfitis kronis”.
Responden berjenis kelamin pria cenderung lebih rawan menunjukkan selfitis daripada perempuan, yakni lima puluh tujuh koma lima persen berbanding empat puluh dua persen.
“Kami harap akan ada riset lanjutan untuk menggali lebih jauh tentang bagaimana dan kenapa orang-orang mengidap perilaku obsesif ini, dan apa yang bisa dilakukan untuk menolong orang-orang yang menderita paling parah,” sebut Dr. Janarthanan Balakrishnan dari departemen psikologi Nottongham Trent University.
Namun tak semua pihak setuju dengan hasil studi di atas. Dr. Mark Salter, juru bicara The Royal College of Psychiatrists, misalnya, menyuarakan kritik dan mengatakan bahwa fenomena “selfitis” sebenarnya tidak ada dan tidak seharusnya ada.
“Ada kecenderungan untuk melabeli serangkaian perilaku kompleks manusia dengan satu kata. Tapi ini berbahaya karena bisa membuat sesuatu menjadi nyata, padahal sebenarnya tidak,” kata Salter.
Sebuah studi lainnya juga mengungkapkan, banyak orang yang tidak suka melihat hasil selfie orang lain.
Ada semacam “bias selfie”, di mana seseorang memiliki penilaian berbeda terhadap foto selfie diri sendiri, dibanding penilaian orang lain terhadap foto selfie tersebut.
“Sebanyak sembilan puluh persen menilai selfie orang lain sebagai sarana promosi diri. Sebaliknya, hanya empat puluh enam ersen yang memiliki penilaian serupa terhadap selfie jepretan sendiri,” sebut penelitian yang melibatkan dua ratus tiga puluh delapan responden dari Austria, Jerman, dan Swiss itu.
Studi turut menyebutkan orang yang menunggah selfie kerap diasosiasikan dengan perilaku negatif seperti narsisme serta citra diri yang superfisial dan tidak asli.
Kesan negatif yang muncul di benak ketika melihat selfie orang lain ini lebih besar dibandingkan kesan posiitif seperti independensi, keterkaitan, dan makna di balik foto.
“Secara umum, para responden berpandangan buruk terhadap selfie orang lain,” tulis laporan studi tersebut.
“Sebanyak delapan puluh dua persen lebih ska melihat foto biasa di media sosial ketimbang selfie.”