La Liga kehilangan kegaduhan, yang selama tiga musim diramaikan oleh perpaduan “aroganitas” Madrid dengan Jose Mourinho. Perpaduan kebesaran sebuah klub “paling kaya” dengan pelatih yang sangat “special.” Perpaduan yang menghasilkan friksi kepentingan di antara dua ambisi besar Madrid dan Mourinho.
Perpaduan itu, akhirnya “pecah.” Masa-masa benturan kepentingan itu, Senin malam menguap dari langit awan Santiago Bernabeu. Sang aktor, yang selama tiga musim memainkan peran antagonis di panggung Bernabeu akan meninggalkan daya magis Los Blancos yang selama tiga tahun terakhir di penuhi dengan ratusan protes, “diving” pelatih, tudingan ketidakadilan wasit bahkan pengusiran sang pelatih itu sendiri lewat kibasan “kartu merah” wasit dari “grand area.”
Tiga musim cukup bagi Mourinho untuk mementaskan ke”culasan” sebagai pelatih dengan talenta yang prima, di atas rata-rata pelatih lainnya. “Mourinho Please,” tulis “BBC News Sport.” Bahkan “Sky Sport” menyanjkan laporan “breaking news”nya Selasa pagi dengan tajuk “bye… bye .. welcome Mou.”
Media Europa, mungkin juga global, terbelah dalam dua kutub ekstrim atas kepergian “si portugal jahanam” dari Bernabeu. Mourinho, seperti ditulis “MARCA,” tabloid paling prestis Madrid, memang “antagonis.” Ia harus pergi sebab ia seorang Portugal. Dan masalah “state” ini juga pernah di katakana Mourinho. “Saya seorang Portugal yang tak akan pernah dihormati di Spain,” katanya dua bulan lalu.
Mourinho bukan hanya Portugal. Selama tiga musim di La Liga ia seorang tukang rebut. Di kompetisi paling “bernyali” di Liga Europa itu, ia selalu bikin “sensasi” dengan caranya sendiri. Dan dengan hengkangnya si “The Only One” itu, La Liga akan memasuki “springwater.” Tak akan ada lagi suara siualan di Bernabeu untuk “mengusir”nya. Tak ada jajak pendapat “madridista” untuk memaksa klub merobek kontraknya yang berdurasi hingga 2016.
Mourinho rela pergi dengan mengepit strategi sepakbola “sentrapublica.” Sepakbola yang ketika keluar menyerang bagaikan “setan” dan ketika bertahan bisa sebagai “jagal.” Mou adalah “sentravulgar” yang “attacking football” sangat spesifik dan tak ada yang bisa me”ngpy-paste”nya.
Ia bisa memainkan 4-3-3 dengan “total attacking.” Bisa juga melakukan restorasi dengan 4-4-2 “grendel” khas “catenacio.” Bahkan, jangan pernah melupakan ketika di Inter ia melakukan desentralisasi pertahanan dengan 5-3-2. Sebuah pola yang sebenarnya amat dibenci oleh publik sepakbola karena sangat membosankan.
Tapi itulah Mourinho. Ia bisa mengatakan sepakbola adalah “seni.” Tapi disebuah laga lain ia menghancurkannya untuk sebuah pertaruhan kemenangan. Untuk itulah di La Liga mulai musim depan orang bisa merindukannya dan bisa mempersetankan seperti yang ditulis “MARCA” “go to hell.”
Sejak Senin malam waktu Madrid, ketika keputusan kepergian “berderak” dalam oral tanpa retorika Florontino Perez, san “supreme” Madrid, Mourinho dan Los Blancos sepakat mengakhiri kerjasama mereka begitu musim ini berakhir.
Isu keretakan tim yang bertiup lewat perselisihan Mourinho dengan Iker Casillas boleh jadi sebagai awal pemicunya sehingga penampilan Madrid ginjang ganjing dan berujung kegagalan di setiap ajang yang diikuti.
Mourinho pun harus “mengalah” pada para pemain bintang dan tak akan ada lagi pria Portugal itu menghiasi headline-headline media Spanyol musim depan, dengan prestasi atau tindakan kontroversialnya. Bagi “madrisdista,” Casillah, Ramos dan Pepe, empat pilar Madrid, kepergian Mourinho sangat disyukuri karena selama tiga tahun melatih Madrid, ia sudah memberi image buruk untuk sepakbola Spanyol. Salah satunya adalah aksi colok mata yang dilakukan Mourinho pada Tito Vilanova dua musim lalu.
“Mourinho adalah bencana untuk sepakbola Spanyol. Kepergiannya merupakan hal yang positif,” ujar wakil presiden Institusi Barcelona, Carles Vilarrubi, seperti dilansir “AS”
Belum diketahui klub mana yang akan menjadi pelabuhan baru Mourinho. Namun, pria berkebangsaan Portugal itu diduga kuat akan kembali ke Chelsea. Kebetulan, kursi manajer Chelsea juga kosong. Tugas manajer interim Rafael Benitez sudah selesai seiring berakhirnya kompetisi musim ini.
Andai Mourinho benar-benar mendarat di Chelsea lagi, manajer West Ham United Sam Allardyce akan menyambutnya dengan gembira. “Saya pikir akan bagus kalau kami memilikinya lagi. Dia menjalani periode yang sangat baik terakhir kali di sini. Saya tahu itu tak berakhir begitu baik di Chelsea dengan Roman Abramovich,” kata Allardyce yang dikutip Sky Sports.
“Tentu mereka sudah memperbaikinya dan dia kembali datang untuk menerapkan talentanya di Premier League. Kedengarannya dia ingin kembali ke Inggris,” sambungnya. “Kami akan senang bertemu dia lagi dan tentu saja bersaing dengannya
Beda dengan media Inggris yang “welcome” dengan perangai “anehnya, media Spanyol punya “dendam” dengan keberadaannya karena telah merusak tatanan eleganitas La Liga. Dia sering ketus dan kasar berbicara kepada wartawan. Bahkan, beberapa kali dia menolak hadir di temu pers dan diwakilkan asistennya, Aitor Karanka. Terakhir, dalam temu pers jelang final Copa del Rey, ia malah diwakili kapten tim, Sergio Ramos.
Media Spanyol sebenarnya sudah lama tak menyukainya. Analis dan pengamat sepakbola di Espana tidak suka dengan gaya permainan Mourinho. Ia dinilai hanya mengandalkan serangan balik lewat kecepatan Cristiano Ronaldo dan Angel Di Maria, juga Mesut Oezil. Jika sudah unggul, dia cenderung bermain negatif dengan lebih banyak bertahan.
Itu terjadi pada final Copa del Rey melawan Atletico Madrid. Kekalahan Madrid 1-2 dinilai sebagai akibat permainan negatif. Setelah unggul 1-0, Madrid seolah lebih terkonsentrasi bertahan. Bahkan, sebagian suporter Madrid sudah mulai bosan dan mencemooh Mourinho dengan siulan-siulannya. Ini membuat Atletico bangkit dan akhirnya membalikkan keadaan dan menang 2-1, sekaligus menjuarai Copa del Rey.