Sebuah studi terbaru kembali mengulas hasrat seksual lelaki
Dan ternyata hasrat seksual pria tidak sesimpel seperti yang dipikirkan selama ini.
Menurut Filippo M.Nimbi dari Institut Klinikal Seksologi dan Universitas Rome, hasrat seksual pria tidak melulu tentang ereksi yang tegang dan kaki. Ada hal yang lebih dalam yang bisa digali.
Untuk menuntaskan keingintahuan seputar hasrat seksual pria, para peneliti di Italia menyurvei 298 pria heteroseksual.
Para pria tersebut dimintai keterangan tentang kehidupan seks mereka. Jawaban para pria itu akhirnya berujung pada informasi tentang faktor yang menentukan hasrat seksual laki-laki.
Dalam studi yang diterbitkan di The Journal of Sexual Medicine itu, terungkap bahwa banyak aspek yang memengaruhi hasrat seksual pria.
Faktor tersebut adalah tingkat energi, depresi, rasa takut, tekanan seksual, minimnya pandangan erotis, tanggapan soal aktivitas seksual, seks yang masih konservatif, tingkat kegagalan ejakulasi dini, dan hubungan yang memadai.
“Yang ditekankan dari penelitian ini adalah, hasrat pria sangat dipengaruhi stereotip seksual dan jenis kelamin.”
“ Misalnya, ereksi itu sangat utama supaya pasangan puas. Tak hanya itu, perasaan dan emosi juga diperhatikan dalam urusan seksualitas,” beber Nimbi seperti yang dikutip dari laman Psypost.
Kini, kerap kali hubungan intim hanya diperlakukan sebagai formalitas belaka. Seks hanya dimaknai sebagai tindakan untuk mendapatkan orgasme, bukan kesenangan.
Perasaan tidak dilibatkan sehingga seks berlangsung secara terburu-buru. Hasrat seksual yang minim juga dipicu oleh rasa takut dan kurangnya pemahaman soal erotis.
Yang mengagetkan, para peneliti juga mendapatkan pandangan baru soal hasrat seksual pria.
Ternyata, para pria yang berniat punya anak justru tidak berminat berhubungan seks. Sebuah kenyataan yang bertolak belakang.
Nimbi dan kawan-kawan peneliti menduga, ada faktor ketakutan.
Para pria mengemban beban baru dan harus menghadapi masa peralihan pola hidup kelak ketika punya anak.
Inilah yang memancing keengganan pria berhubungan intim, kendati pasangan menginginkan anak.
“Banyak pertanyaan belum terselesaikan,” ucap Nimbi.
“Penelitian ini menekankan pada faktor psikososial yang melatari hasrat seksual. Tapi ternyata, masih banyak hal lain,” imbuhnya.
Hasrat seksual mesti diposisikan sebagai sesuatu yang berdampak pada perilaku seksual. Ini perlu dipandang dalam berbagai sudut etika, medis, sosial, hukum, dan agama.
“Di dunia ini, semua serba tergesa-gesa. Kita sebaiknya meluangkan diri untuk seks yang santai. Seks yang baik membutuhkan waktu, relaksasi, kepedulian, dan pasangan yang baik,” celetuknya.