Antibiotik bukan obat yang mampu menyembuhkan segala penyakit.
Untuk itu, masyarakat patut hati-hati saat diberikan antibiotik oleh dokter.
Pasalnya, apabila digunakan secara tidak tepat, antibiotik justru bisa menimbulkan resistensi antibiotik.
Resistensi antibiotik terjadi ketika seseorang mengonsumsi antibiotik tanpa mengikuti aturan yang dianjurkan dokter.
Pasien, sebut Hari, tidak mematuhi takaran obat yang harus diminum, jadwal waktu obat tersebut dikonsumsi, dan panjangnya periode obat tersebut harus dihabiskan.
Selain itu, resistensi antibiotik juga bisa karena jumlahnya terlalu banyak atau terlalu kerap diminum.
“Misalnya, seseorang yang terlalu sering minum antibiotik di luar rumah sakit. Saat masuk rumah sakit lalu diterapi dengan antibiotik, bakteri penyebab penyakit justru berulah.
Bakteri normal floranya mati semua. Bakteri jahat justru tumbuh,” ujarnya.
Flora normal merupakan kumpulan organisme yang menghuni organ tertentu di tubuh manusia. Umumnya, flora normal beranggotakan bakteri baik yang menjaga organ tersebut. Jika antibiotik diberikan secara serampangan, maka bakteri baik ini ikut terbunuh.
Padahal, tubuh manusia membutuhkan kehadiran bakteri baik sebanyak sembilan puluh ribu triliun hingga seratus ribu triliun untuk dikatakan sehat.
Akibatnya, tubuh individu mengalami infeksi yang semakin parah. Bakteri jahat justru berkembang biak secara pesat.
Hari menyebut, dalam kondisi terburuk, antibiotik sama sekali tidak bisa membunuh bakteri pencetus penyakit.
Kondisi ini dinamakan pan-resistance. Resistensi jenis ini terjadi di rumah sakit dengan persentase tiga hingga lima persen.
“Resistensi antibiotik ini berbahaya. Saya pernah menemukan kasus infeksi yang disebabkan resistensi antibiotik. Pasien terlama ini, sampai harus rawat inap seratus enam puluh dua hari. Ada juga sih yang rawat inap dua hingga tiga hari. Jangka waktunya pendek, ya? Singkat karena langsung meninggal besoknya,” ungkapnya.
Sudah diprediksi Sebetulnya, resistensi antibiotik ini telah diprediksikan oleh ilmuwan yang menciptakan antibiotik kali pertama, Alexander Fleeming.
“Pada tahun 1945 saat Fleeming menerima Nobel, dia telah mengumumkan bahwa suatu saat akan tiba masanya bakteri resisten. Periode tersebut diramalkan saat antibiotik mudah ditemukan dan ada di mana-mana,” ujar Hari.
Akibatnya Fatal Omongan Fleeming menjadi kenyataan. Kini masyarakat cenderung bebas dalam menggunakan antibiotik.
Saking bebasnya, ada kelompok masyarakat yang berani mengombinasikan pakan ternak dengan antibiotik. Hari tidak melarang antibiotik untuk hewan ternak, asal bukan dipergunakan sebagai growth promotor.
“Bayangkan satu kilogram daging ayam itu mengandung seratus dua puluh lima miligram antibiotika. Bagaimana kalau terakumulasi di tubuh manusia?” ucap Hari.
Namun begitu, masyarakat kerap kali diberi antiobiotik ketika berobat.
Nyatanya, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik dalam proses pengobatannya
“Sebenarnya, ada sistem dari tubuh yang namanya ‘Self healing’. Saat terserang penyakit, bisa sembuh sendiri tanpa antibiotik,” ujar Hari.
Pemberian antibiotik yang sembarangan kepada pasien justru bisa menyerang daya tahan tubuh pasien. Akibatnya, pasien bukannya sembuh, malah semakin sakit.
Akibatnya Fatal Hari menyebutkan, pemberian antibiotik hanya diperbolehkan untuk penyakit yang disebabkan bakteri.
Dengan demikian, apabila penyakit bersumber dari virus, maka tidak usah diresepkan antibiotik. Selama ini, masyarakat ataupun tenaga medis kerap salah kaprah karena tergesa-gesa dalam mengonsumsi antibiotik.
Menurut dia, dari pihak klinis seharusnya memeriksa secara mendalam penyakit pasien supaya tidak terjadi salah diagnosis antara penyakit karena virus dengan penyakit karena bakteri. Terkadang, penyakit karena infeksi virus dan bakteri sukar dibedakan.
Untuk, Hari meminta dokter melakukan pemeriksaan darah pasien agar dapat mengatasi keraguan tersebut
“Kalau badan panas jangan buru-buru dikasih antibiotik. Bisa saja panas itu karena trauma bahan kimia. Kanker juga bikin badan panas. Dokter sebaiknya memeriksa infeksinya, dari virus atau bakteri,” ujarnya.
Hari melanjutkan, dokter yang masih memberikan antibiotik untuk segala penyakit karena pengajaran semasa kuliah dulu harus mau mengakui perkembangan zaman ini supaya tidak menjerumuskan pasien pada kondisi yang memburuk.
Dia kemudian berkata bahwa individu yang menderita penyakit seperti batuk, pilek, demam, radang tenggorokan, dan inflamasi tidak perlu diberikan antiobitik.
Pasalnya, penyakit tersebut tidak disebabkan oleh bakteri. “Flu, gondongan, cacar air, varisela, dan demam berdarah juga tidak butuh antibiotik,” imbuhnya.