Racun kala jengking?
Ya racun kalajengking akan menjadi pilihan sebagai pembersih tumor.
Seperti diketahui, tumor jadi satu jenis penyakit yang hingga sekarang masih menjadi momok bagi manusia.
Para peneliti menggunakan bahan sintetisnya sebagai pembawa yodium yang bersifat radioaktif ke sel-sel tumor otak yang masih tertinggal setelah pembedahan.
Sampai sejauh ini, teknik tersebut telah diuji pada delapan belas persen pasien dan para peneliti masih terus melakukan percobaan medis.
Sebagaimana dilaporkan dalam Journal of Clinical Oncology, hasil sementara menunjukkan bahwa proses pengobatan ini dapat diterima tubuh dan efektif.
Para peneliti di Pusat Kesehatan Cedars-Sinai, California AS mengembangkan TM-601.
Itu merupakan sintesis peptida rangkaian asam amino pembentuk protein yang secara alami terkandung dalam racun kalajengking kuning raksasa dari Israel.
Tidak seperti substansi lainnya, peptida ini dapat mengalir melalui darah dan berikatan dengan sel-sel glioma.
Dilansir dari BBC, sel-sel glioma merupakan bentuk tumor otak yang sangat agresif.
Dari jumlah penderita yang didiagnosis menderita glioma selama ini, hanya delapan persen pasien yang bertahan hidup hingga dua tahun dan hanya tiga persen yang bertahan hingga lima tahun.
Pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi hanya memperpanjang umur penderitanya, namun tidak membunuh seluruh sel-sel glioma.
TM-601 yang dicampur yodium radioaktif disuntikkan ke rongga bekas pembedahan tumor antara hari keempat belas hingga dua puluh delapan setelah operasi dilakukan.
Enam pasien diberi dosis yang lebih tinggi.
Hal tersebut dilakukan untuk menguji seberapa besar batas toleransi tubuh terhadap racun kalajengking yang besifat sintesis ini.
Hasilnya menunjukkan, tubuh tidak memberikan efek negatif. Kebanyakan pasien yang diberi terapi pengobatan tambahan ini dapat memperpanjang hidupnya hingga dua puluh tujuh minggu.
Namun, dua orang pasien kelihatannya bebas tumor sama sekali dan masih hidup hingga bulan ketiga puluh tiga bulan setelah dioperasi.
Analisis menunjukkan bahwa sifat radioaktif akan hilang secara keseluruhan setelah 24 jam zat disuntikkan.
Radiasi tersebut juga bekerja di sekitar luka operasi saja sehingga tidak merusak sel-sel otak yang sehat.
“Jika penelitian ini berhasil, mungkin kami dapat mengombinasikan pengobatan ini dengan kemoterapi yang mungkin dapat memberikan efek lebih baik,” kata Dr. Adam Mamelak, seorang ahli bedah otak di Cedars-Sinai.
Percobaan medis lanjutan masih dibutuhkan untuk memastikan tingkat efektivitas pengobatan ini