Depresi mengintai mereka yang kecanduan media sosial?
Jawabannya iya.
Dan banyak penelitian yang mengungkap bahaya terlalu lama bermain smartphone.
Tak hanya para gamer, kamu yang doyan berselancar di sosial media juga diimbau harus waspada.
Pasalnya, pengguna smartphone yang sering bermain media sosial (medsos) ternyata memiliki kecenderungan terserang risiko penyakit mental, seperti depresi dan kesepian.
Temuan mengejutkan ini terungkap dari sebuah studi terbaru yang dipublikasikan pada Desember tahun lalu oleh para peneliti di University of Pennsylvania, Amerika Serikat
Para ahli tersebut membuat penelitian tentang ketergantungan pada medsos dan dampak bila berhenti menggunakannya.
Hasilnya cukup mengejutkan. Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Social and Clinical Psychology itu menyebutkan kalau membatasi penggunaan medsos hingga sekitar 30 menit per hari, dapat mengusik kesehatan mental penggunnya.
Dalam penelitian tersebut, para peneliti yang diketuai Melissa G. Hunt, mengumpulkan seratusa mahasiswa untuk diuji coba. Mereka menjalani dua uji coba berbeda, pada musim semi dan musim gugur.
Membuka layar iPhone delapan puluh kali sehari juga disebabkan karena hadirnya fitur Touch ID yang memudahkan akses pengguna iPhone.
Setiap mahasiswa harus memiliki akun medsos Facebook, Instagram, dan Snapchat. Selain itu, Hunt hanya memilih mahasiswa yang menggunakan iPhone.
Alasannya, iPhone akan mencatat dan menampilkan total waktu yang dihabiskan untuk bermain medsos secara otomatis di layar.
Hunt dan koleganya memantau para mahasiswa dalam menggunakan medsos selama seminggu. Hunt juga memberi kuesioner yang menilai kesehatan mental mereka.
Kuesioner berisikan tujuh faktor yang berbeda, yakni dukungan sosial, takut kehilangan, kesepian, kemandirian dan penerimaan diri, kecemasan, depresi, serta harga diri.
Selanjutnya, Hunt melakukan eksperimen terhadap para mahasiswa tersebut. Selama tiga minggu berikutnya, satu kelompok mahasiswa yang dipilih acak, dibiarkan bermain medsos seperti biasanya.
Sementara, kelompok mahasiswa yang lainnya hanya boleh menggunakan medsos selama 10 menit per platform untuk setiap harinya.
“Di sini kita melihat perbedaannya. Menghabiskan lebih sedikit waktu untuk medsos daripada biasanya akan menurunkan depresi dan kesepian secara signifikan. Efek ini sangat terasa bagi orang-orang yang tertekan ketika menjalani uji coba,” kata Hunt.
Para peneliti memilih untuk membatasi medsos daripada menyuruh subjek untuk berhenti sama sekali. Sebab, membatasi penggunaan medsos terlihat lebih realistis.
Hunt juga melihat adanya penurunan pada masalah kecemasan dan takut kehilangan pada subjek yang membatasi penggunaan media sosial mereka.
Sayangnya, para peneliti tidak melihat ada perbaikan pada masalah dukungan sosial, harga diri, kemandirian dan penerimaan diri pada subjek penelitian.
“Karena penelitian ini adalah yang pertama dari jenisnya, ada banyak peluang untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut,” kata peneliti.
Lantas apa saja gejala dari mereka yang kacanduan medsos?
Kecanduan biasanya mengacu pada perilaku kompulsif (dilakukan secara berulang tanpa disadari, tidak bisa dicegah, dan tidak tertahankan untuk mengurangi kecemasan) yang mengarah ke efek negatif.
Dalam kebanyakan kasus candu, seseorang merasa terdorong untuk melakukan kegiatan tertentu sehingga menjadi kebiasaan yang berbahaya, yang kemudian mengganggu aktivitas penting lainnya seperti bekerja atau sekolah.
Mengikuti gambaran di atas, kecanduan media sosial dapat dijelaskan sebagai suatu keharusan untuk menggunakan dan terlibat aktif dalam perangkat media sosial secara berlebihan dan terus menerus — memeriksa status update Facebook atau “mengintai” profil Facebook seseorang selama berjam-jam tanpa henti, misalnya.
Tapi sebenarnya sulit untuk mengatakan kapan kesukaan terhadap aktivitas tertentu menjadi sebuah ketergantungan yang merusak.
Apakah menghabiskan tiga jam sehari di Twitter membaca tweet acak dari orang asing berarti Anda kecanduan Twitter?
Bagaimana dengan lima jam? Anda bisa berpendapat Anda hanya membaca berita utama karena bidang Anda bekerja membutuhkan Anda untuk tetap selalu update berita terkini, bukan?
Para peneliti di Universitas Chicago, dilansir dari Life Wire, menyimpulkan bahwa kecanduan media sosial dapat lebih kuat dari kecanduan rokok dan minuman keras menyusul percobaan di mana mereka mencatat hasrat dari beberapa ratus orang selama beberapa minggu.
Ngidam sosmed peringkat menjelang mengidam untuk rokok dan alkohol.
Dan dari Harvard University, peneliti menghubungan para pecandu sosmed pada mesin MRI untuk memindai otak mereka dan melihat apa yang terjadi ketika mereka membicarakan diri mereka sendiri, yang merupakan bagian penting dari apa yang orang-orang lakukan di media sosial.
Peneliti menemukan bahwa komunikasi pengungkapan diri merangsang pusat kesenangan otak yang sama seperti gairah terhadap seks dan makanan.
Pemindaian otak lainnya dari sejumlah penelitian terpisah juga menunjukkan pola kesenangan yang sama antara pencandu sosmed dengan para pecandu narkoba.
Banyak dokter telah mengamati gejala kecemasan, depresi, dan beberapa gangguan psikologis pada orang yang menghabiskan banyak waktu di dunia maya, tetapi hanya ada sedikit bukti kuat yang telah ditemukan mampu membuktikan bahwa media sosial atau penggunaan internet menyebabkan gejala kecanduan. Begitu pula dengan kurangnya data tentang kecanduan jejaring sosial.