Renyai gerimis belum lagi usai ketika angin liar menerpa kami dibelokan “Peukan” Indrapuri, Minggu, hari kedelapan ramadhan, Juli lalu. Lamat pengajian, yang mendayu dari pengeras suara masjid “klasik” di barat “kota “ Lamuri itu menjalarkan rasa khusyuk hingga ke pelataran parkir di tumit kiri bangunan bekas “candi hindu” itu, tempat kami rehat.
Hari itu saya datang lagi, untuk kesekian kalinya, di awal zuhur, dengan status “guide” untuk menjenguk bangunan “aneh,” seperti komentar “sobat” saya, yang berpayah-payah ingin takziah ke masjid, yang katanya, klasik di negeri “Serambi,” yang sering ditafsirkan angker di”luar” sana.
Sang teman, seorang ekskutif perusahaan di Jakarta, hanya datang “membayar” nazarnya untuk bisa shalat di masjid, yang ia bisikkan kemudian kepada saya, sangat inspiratif.
Ya, masjid Indrapuri memang inspiratif. Paling tidak, ia telah menjadi inspirasi arsitektur bangunan Masjid Amal Muslim di era Pak Harto, yang dibangun dihampir seluruh kabupaten, waktu itu, dari duit “potongan” gaji pegawai negeri.
Hari kami menjenguk Indrapuri, di celah zuhur itu, cuaca memang sedang “bergolak.” Hujan seperti merengek. Tak kunjung teduh. “Kita harus shalat di sini dan menyisir kisi-kisi bangunannya. Kalau nggak untuk apa saya membayar mahal,” kata sang teman bergurau.
Ya, sang teman memang kesemsem dengan masjid yang menyembul di perut :candi.” Itu. “Saya telah takziah, shalat dan kagum dengan Baiturrahman. Saya belum pernah ke Indrapuri, tapi terpesona dengan gambar bangunan dan jejak sejarahnya,” tulis sang teman dalam “surat elektronik”nya setelah saya ungguh mengenai latar sejarah sang masjid, yang kemudian, sang teman, menegaskan akan datang sekaligus minta ditemani.
Masjid Indrapuri, begitu ia dinamai, berjarak 24 kilometer dari Banda Aceh, kota provinsi, arah jalan ke Medan. Hari kami datang dinding tembok setinggi hampir dua meter itu agak kumal. Sapuan cat warna krem yang membalutnya juga telah mengelupas dan “berkarat” bersama tumbuhnya lumut.
Kami mendekatkan waktu zuhur dengan berwudhuk di halaman depan bangunan untuk kemudian mendaki anak tangga untuk menghampiri bangunan berkonstruksi kayu di “rahim” candi itu.
Ada pesona magis yang menyergap ketika kita mengdongakkan kepala menyapu bangunan dengan atap ber”trap” tiga membentuk “triangle” bak payung bertingkat tiga.
Di puncak atap terdapat sebuah mustaka berbentuk nenas yang memesona. Di pelatarannya, sebelum mendaki ke bangunan masjid, ada sebuah kolam kecil yang biasa dipakai untuk membilas kaki. Ini khas “kultur” rumoh Aceh.
Ketika kami hendak mendekati “pinto” masjid seorang jamaah mengangguk, menebar senyum dan menyapa dengan tabik salam. Saya berbasi basi dengan teguran khas Aceh “peu haba” sembari mengabarkan tentang sang teman yang ingin takziah dengan membayar nazarnya bershalat di masjid.
Meski mulai usang, bangunan masjid Indrapuri masih berdiri megah. Ada 36 batang tiang penyangga atap masjid juga terlihat kokoh. Bangunan masjid memang dipertahankan sebagaimana bentuk aslinya. Ia tidak pernah diusik oleh modernitas yang menor. Pemerintah juga telah menetapkannya sebagai cagar budaya dan melarang warga mengecat ulang tembok bekas candi itu.
“Ditakutkan akan rusak kalau dicat kembali, jadi semua bentuk bangunan ini termasuk menara di sebelah kiri itu juga masih seperti bentuk semula,” kata seorang teman.
Beberapa tahun lalu masjid ini mengalami pemugaran. Selain atap bersalin warna, sebelumnya berwarna hijau kini dirubah dengan warna merah, tiang penyangga masjid juga ikut dipoles cat.. Lantai yang sebelumnya hanya dari semen, kini telah diganti keramik.. Tapi lumut yang menempal di tembok bekas candi itu masih tetap dibiarkan.
Mesjid ini masih tetap terjaga dengan etnik tradisional yang dimilikinya. Bentuk serta ukuran yang tidak sedikit pun menimbulkan kesan mewah. Penampilannya klasik terutama silangan kayu yang menyangga atapnya. Ia tidak tergerus oleh zaman dan berhasil melewati beberapa fase, terutama zaman kolonial.
Berbentuk segi empat atau dikenal dengan tumpang yang tersusun tiga. Susunan kayu-kayu yang saling menyatu menambah kemolekan dari setiap sudut yang terbentuk dalam mesjid ini. Berbagai sisi yang saling menopang tetap menyimpan berbagi bekas sejarah yang sudah dilewati ratusan tahun oleh mesjid tua Indrapuri ini.
Luas area mesjid Indrapuri sekitar 33 meter kubik tersebut, berada dekat dengan jalan raya lintas Banda Aceh-Medan. Jadi sangat mudah bagi yang mau berwisata religius ke Indrapuri, selain mudah dijangkau, juga bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi. Dari pusat kota Banda Aceh ke Indrapuri berjarak sekitar 24 km ke arah utara.
Masjid ini mengesankan perpaduan arsitek masjid-masid di jawa dengan masjid tradsionil Aceh sebelum era Iskandarmuda, yang kemudiannya kental dengan gaya “ottoman.” . Bentuk atapnya limas tumpang tiga seperti masjid-masjid tradisional di Jawa. Kekuatan masjid ini justru berada di atas benteng yang kokoh.
Dan ketika hujan mulai pirang, sai shalat zuhur , saya membisikkan ke sang teman, “Inilah masjid inspirasi yang menempelkan jejaknya pada i masjid-masjid tradisional yang di Indonesia.”
Bahkan Masjid Demak di Jawa, menurut sahibul hikayat, mengambil contoh arsitektur masjid ini. Dan saya melnjutkan berbisik,”Sayangnya banyak masyarakat Aceh yang belum tahu bahwa inilah bentuk asli tradisional masjid milik indatunya, bukan masjid gaya Turki yang akhirnya mendominasi arsitektur masjid di Aceh sekarang ini.