Pucok Krueng di hari kedua pekan pertama September lalu.
Desa terpencil di kecamatan Terbangan, Aceh Selatan, di hari itu, ketika saya takziah, tak lagi menyimpan “magma” kesombongan seperti dekade silam ketika para petaninya “berpesta” rupiah dari hasil menuai pala dari kebun-kebun di dataran rendah dan pinggang bukitnya.
“Pesta” rupiah itu memang telah usai. Seperti diungkapkan seorang petani, Makmun, dengan nada lirih sembari menatap nanar ke arah saya dengan pandangan kosong dan murung, ” Kini kami telah jadi miskin.”
Petani yang menginjak usia tujuh puluhan itu memang pantas murung.
Sebab, sejak satu dasawarsa terakhir, bersamaan dengan ambruknya harga pala dunia dan merebaknya penyakit yang menggerogoti batang dan daun, kebun palanya seluas dua hektar tak lagi bisa membalas budi.
Sejak itu kehidupannya pun meluncur ke dasar lembah.
Makmun tentu tak sendirian.
Bukan hanya mereka yang di Pucok Krueng, rekan Makmun yang di desa Air Pinang, Meukek dan Kuala Batee juga mengalami hempasan hidup yang sama
Dan, kini, Makmun hanya bisa berharap harga pala akan “berbunga” kembali. Selain itu tanaman palanya akan bisa “sembuh” dari penyhakit yang mematikan itu.
“Saya memang berharap bisa hidup lebih tenang,” katanya
Ia berkisah tentang upaya banyak pihak selama dua tahun terakhir, yang secara terus menerus mencari solusi pengobatan penyakit kering yang menimpa tanaman pala.
“Kami telah mendapat solusi untuk pengobatannya. Ternyata tanaman pala bisa disembuhkan dengan metabolisme sekunder. Pengimpusan melalui akar.. Dengan pengobatan metode pengimpusan ini, tujuh puluh persen tanaman pala bisa terobati dan disembuhkan.
“Dalam pengobatan penyakit pala, pembersihan dilakukan sampai pangkal. Kemudian mengobatinya dengan metode pengimpusan menggunakan bahan alami, yakni air kelapa dan air beras,” kata Makmun dengan sedikit cerah
Makmun mengakui kini ia dapat “sedikit” uang dari tanaman pala yang mulai berbuah. Bisa dapat dua juta rupiah sebulan. Dari pada apes,” kata Makmun sedikit tersenyum.
Selain adanya ancaman penyakit, kini masyarakat bermata-pencaharian dari tanaman pala juga mengeluh karena harga pala yang tidak stabil.
Sekarang harga buah pala menurun lemah
“Kita mengharapkan tidak adanya permaianan harga buah pala di pasaran. Kita juga berharap berbagai pihak bisa ikut membantu mengawasi harga pala di tingkat petani.”
Selain harga pala basah ambruk, harga minyak pala dari penyulingan berbagai kelompok juga terjungkal.
“Masih lemah,” kata Karim yang punya pabrik penyulingan di Desa Air Pinang
“Harga minyak pala kita turun sejak empat tahun terakhir. Ini terjadi akibat sepinya pembeli di Medan. Kita berharap pengusaha lokal dapat menampung dan menstabilkan harga,” tandas Karim
Untuk diketahui tanaman pala di Aceh Selatan merupakan primadona yang sudah cukup dikenal hingga ke manca negara. Bahkan di masa lalu, Portugis masuk ke Aceh karena tergiur dengan komoditi hasil buminya, termasuk pala.
Namun saat ini harga minyak pala masih tergolong lemah, itu diduga akibat adanya permainan pasar. Padahal, pala di Aceh Selatan mempunyai kualitas yang sangat bagus. Selama dua puluh tahun terakhir, minyak pala dibeli oleh perusahaan di luar Aceh dengan harga yang masih rendah.
“Sekarang minyak banhyak menumpuk di keter tempat penyulingan,” bebernya.
Selain susahnya memasarkan minyak pala petani juga tengah menghadapi penurunan harga beli biji pala basah sejak lima bulan terakhir. “Harga biji pala basah sejak lima bulan terakhir terus meluncur turun” kata Karim
Dikeluhkan Karim, kini sulit mendapat bahan baku untuk hasil yang baik membuat sejumlah penyuling minyak pala (ketel) memilih menutup usahanya.
Kesulitan bahan baku itu karena banyak pokok pala mati akibat diserang hama. Berkurang pokok pala praktis mengurangi jumlah produksi pala dan minyaknya.
Berlainan dengan Karim. Seorang pengusaha penyulingan Saleh di Gampong Pucuk Krueng, mengatakan usaha yang telah dirintisnya puluhan tahun lalu itu terpaksa berhenti, karena minimnya bahan baku.
Sulitnya mendapat bahan baku, karena tanaman pala milik masyarakat banyak yang sudah mati di serang hama sampai saat ini belum juga ditemukan obatnya, katanya didepan penyulingannya yang sudah tidak lagi beraktifitas.
Menurutnya, usaha penyulingan minyak pala yang ditekuni sejak tiga puluh tahun lalu itu pernah menjalin kerja sama dengan perusahaan asing, dan kontrak yang pernah di jalinnya terpaksa berakhir, karena tidak mampu memenuhi permintaan perusahaan asing tersebut akibat minimnya pasokan biji pala dari petani.
Dia mengaku jika penyulingan berjalan maka membutuhkan beberapa tenaga kerja dari penduduk desa itu.
Tidak hanya Karim. Salihin juga telah menghentikan operasi penyulingan minyak palanya Selain itu kelebihan tempat penyulingan juga membeli harga biji pala petani yang lebih mahal dari penampungan.
Ya, itulah sekelumit kisah ketika petani tidak lagi memetik rupiah.