Benturan pendapat para peneliti tentang posisi wanita yang dikatakan selalau benar atau pun sering mengalah menghiasai berbagai riset psikologis dari analis di berbagai universitas.
Apakah wanita memangnya selalu selalu benar!”
Ya, kalau dikaitkan dengan kelaziman yang hidup ditengah pergaulan. Dan ini memang betul adanya
Namun, memangnya betul wanita selalu benar?
Mari ketahui alasannya mengapa anggapan ini muncul.
Beberapa orang pernah merasa, sepertinya susah sekali mencari celah ketika beradu argumen dengan wanita, rasanya mereka akan selalu benar. Sebagian pria akan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sudah biasa.
Akhirnya, frasa “wanita selalu benar” membuat pria tak mau berurusan lebih panjang lagi dengan ocehan wanita. Terkait hal ini, mungkin wanita memang sangat diuntungkan walaupun banyak juga wanita yang tak menganggap demikian.
Di sisi lain, mungkin banyak juga wanita yang tidak sependapat dengan “wanita selalu benar”. Tapi, kata-kata ini sudah keburu terkenal dan akhirnya wanita selalu dianggap benar.
Apakah wanita memang selalu benar?
Ini menjadi sebuah “misteri” yang sudah lama tidak terpecahkan.
Anggapan wanita selalu benar tidak bisa digeneralisasi. Ada juga beberapa wanita yang diketahui tidak nyaman bila dianggap selalu benar.
Di sisi lain, munculnya anggapan “wanita selalu benar” juga agak sulit untuk ditampik Itu bisa terjadi karena beragam faktor. Salah satu yang ia sorot adalah intuisi.
Mungkin karena perempuan kadang intuisinya lebih kuat dibanding laki-laki. Jadi ketika melihat dan menilai suatu hal cenderung lebih benar dibanding laki-laki. Kalau merasa paling benar, tidak semua wanita seperti itu,.
Maksudnya, ini tidak bisa digeneralisasi bahwa semua perempuan merasa benar. Mungkin ada orang-orang tertentu yang memang merasa dirinya paling benar.
Perspektif lebih luas dapat kita camkan soal anggapan “wanita selalu benar”. Dan marilah kita lihat melalui sebuah hubungan pria dan wanita.
Secara realistis, anggapan ini memang sering muncul di ranah percintaan, entah dalam pacaran atau pernikahan. Anggapan ini muncul karena perempuan umumnya lebih ekspresif.
Namun, dalam sebuah hubungan, mungkin perempuan terlihat paling benar karena ia lebih ekspresif. Kalau pria kan lebih menahan diri, diam, dan tidak ekspresif
Jadi, dalam hal ini pria, umumnya tidak mengekspresikan apa yang dirasakan, beda dengan wanita yang lebih mudah mengungkapkan apa yang dirasakan. Ini yang kemudian terlihatnya wanita yang merasa paling benar.
Stigma ini akhirnya bermuara ke masyarakat yang menjatuhkan “talak” “wanita selalu benar.” Anggapan umum ini akhirnya cenderung membuat pria mengalah dalam debat dan hal lainnya ketika berhadapan dengan wanita.
Karena ini sudah menjadi anggapan umum, terciptalah stigma “perempuan selalu benar”. Jadi, dalam situasi debat akhirnya pria lebih memilih untuk mengalah atau diam saja. Itu akhirnya semakin menguatkan stigma yang ada.
Secara kognitif ketika dalam situasi debat dan akhirnya pria memilih untuk diam, akhirnya wanita merasa menang. Itulah muncul kesan kenapa wanita selalu benar.
Namun, dalam suatu hubungan, tidak sehat bila wanita selalu benar. Lebih baik ada komunikasi yang baik ketika mengalami suatu perdebatan.
Baiknya, dalam suatu hubungan, diskusikanlah lebih lanjut kalau ada masalah. Kedua belah pihak mengomunikasikan secara asertif, ada berbagai sudut pandang,
Mungkin sudut pandang pria benar, tapi bukan berarti sudut pandang wanita salah. Ini cuma perbedaan perspektif saja. Baiknya dikomunikasikan, jelaskan apa yang dirasakan sehingga menemukan solusi terbaik dari sebuah masalah.
Anggapan “wanita selalu benar” sepertinya memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat.
Dalam penelitian lain posisi wanita sering juga disimpulkan oleh para peneliti sebagai oran g yang sering mengalah.
Misalnya dalam kasus ketika seorang ibu -wanita, dihadapkan pada sebuah pilihan. Sang ibu akan selalu mengalah dan mendahulukan suami serta anaknya.
Dalam pertengkaran keluarga, umumnya perempuan juga lebih sering mengalah. Entah apa alasannya, namun biasanya mereka lebih pilih mengalah. Ini bukan hanya berlaku pada ibu tapi perempuan pada umumnya.
Psikolog klinis dari Ciputra Medical Center dan Smart Mind Center Frisca Melissa Iskandar, menjelaskan bahwa perempuan memiliki kecenderungan naluriah untuk mengutamakan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan keluarga.
“Ada dua faktor yang mendorong perilaku tersebut yakni internal dan eksternal. Faktor internal karena ada yang namanya dorongan untuk memilikiself imageyang positif,” kata Frisca
Sedangkan faktor eksternalnya adalah peran perempuan sebagai ibu atau istri yang memang menjadi pengayom rumah tangga.
Selain itu, perempuan juga cenderung menginginkan citra diri yang positif sehingga seringkali rela mengalah untuk orang lain dan keluarganya.
Mengutip teori Abraham maslow, tokoh psikologi asal Amerika Serikat, Frisca menjelaskan kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hierarki, manusia memenuhi kebutuhannya secara berjenjang.
“Manusia akan berusaha memenuhi satu jenjang kebutuhan terlebih dahulu. Setelah jenjang pertama terpenuhi, maka manusia akan mencoba memenuhi kebutuhan yang ada di jenjang berikutnya,” kata Frisca.
Pertama adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling mendasar atau kebutuhan primer, seperti makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal.
Manusia akan memenuhi kebutuhan fisiologis terlebih dahulu sebelum ia beranjak ke kebutuhan berikutnya. Sebab, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling kuat dan mendesak pemenuhannya.
Kedua adalah kebutuhan rasa aman yang meliputi kebutuhan keamanan dan perlindungan dari bahaya fisik dan emosi.
Ketiga kebutuhan sosial yang meliputi kebutuhan kasih sayang, rasa memiliki, bersosialisasi, penerimaan, dan persahabatan.
Keempat kebutuhan penghargaan meliputi faktor-faktor internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi serta faktor-faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
Kebutuhan penghargaan atau disebut juga kebutuhan untuk aktualisasi diri merupakan hak untuk memperoleh dan kewajiban untuk meraih atau mempertahankan pengakuan dari orang lain.