Hari itu, Sabtu. Kemarin. Di ujung pekan kedua Januari,.
Keinginan saya terkabul. Ingin ke Puncak. Puncak-nya “mindset” Jakarta tentang wisata. Tentu tidak tidak “mindset” saya. Sebab saya bukan orang Jakarta.
Keinginan ke Puncak bukan pendaman untuk pelepasan buncah hura-hura bagi saya. Apalagi di usia “uzur” sekarang ini.
Lantas untuk apa ke Puncak?
Mungkin itu tanya mengejek spontan Anda untuk saya yang memulai tulisan ini dengan banyak “daleh” Khas anak negeri sana. “Daleh mbong” yang lahir dari kelebihan dosis eleganitas.
Terserahlah. Saya tak membantah. Itu memang sudah fitrah.
Puncak yang ingin saya takziahi di ujung pekan kemarin itu hanya bermuatan sebuah nostalgia. Nostalgia yang ingin saya ziarahi kembali eksistensinya.
Eksistensi Puncak yang Bogor-Cianjur sebagai sabuk dalamnya dan Ciawi sebagai lingkar luarnya. Sabuk salam dan lingkar berkontur perbukitan
Kontur bukit turunan puncak Gede dan Pangrango. Kontur yang sejak dulu dikenal sebagai lahan kebun teh berudara sejuk. Bukan dingin ya.
Dan Puncak hari-hari saya datang ternyata lagi tidak bersahabat. Lewat tol Jagorawi dari Jakarta, di pagi itu, memang dimulai oleh sapaan keramahan. Keramahan jalan bebas hambatan.
Tapi mendekati ujung persimpangan Ciawi derita nyilu kemacetan mulai menghampiri. Kemacetan yang “membunuh” Kemacetan yang tak memberi akses jalan pulang karena tak ada pilihan jalan memutar.
Kemacetan yang dibisiki oleh driver kami, “buka tutup pak”
Buka tutup yang sangat dipahami oleh anak negeri heteroginitas Pasundan ini dan tidak untuk Anda, dan saya sekalipun, “aneuk asa lhok.”
Anak heteroginitas ini tahu seluruh jalaran harfiahnya buka tutup itu. Berapa lama waktu yang dibuncah oleh buka dan berepa lama pula waktu yang dibunuh oleh kebijakan tutup ini.
Sembari melonjorkan kaki di mobil, saya yang secara hakikahnya nggak banyak tanya dan nggak banyak ngomong, bocor juga dengan serapah.
Desis serapah untuk melibas kebosanan.
Kebosanan yang berakhir usai saya mendelik kelip jam di hape setelah kibaran bendera kuning seorang polantas yang memboleh si sopir membelah arus satu arah itu.
Gilo gas setelah dua jam pause untuk sisa jarak enam kilometer tiba di Puncak. Jarak yang hanya sepuluh menit kalau di negeri saya.
Puncak?
Ya, hari itu Puncak yang saya datangi adalah Cimory Dairyland. Puncak bernama impor. Puncak yang dibungkus bak tempat wisata di Kansas.
Di kemas dengan “outlet kandang poni, buaya mini, merak berbulu menor, kura-kura dengan batok punggung warna kusam di kontur tanah berbukit naik turun dengan mengalihkan air cianjuran melingkar di pinggangnya.
Dan entah “outlet” apalagi. Saya sampai lupa membuat catatan berapa “outlet” yang dipajang sebagai jualan dengan massa “pembeli”….ah, bukan pembeli, tapi pengunjung, yang hilir mudik yang membuat langkah saya beringsut di jalan setapak itu.
Bukan hanya jualan merak, kura-kura atau kuda poni, tiga orang kate juga ikut menjadi tontonan untuk dijadikan teman “berkodak” Teman berfoto.
Masya Allah kreatifnya.
Kepada pemandu wisata, eh.eh.. anak saya, yang mengatur kunjungan itu saya membisiki kalimat tanya,: “berapa rupiah yang sudah dituangkan untuk investasi se wah ini.”
Nyinyir saya ini dijawabnya dengan gaya seorang consultan keuangan. “Mereka sudah i-pi-o. Menarik duit triliun dari pasar modal.”
Wuih…ucap spontan saya. Spontanitas karena saya tahu kiat dan kelit serta gaya plus jurus investor mendapat duit murah. Maklumlah. Saya kan dulunya pernah menjadi wartawan ekonomi di sebuah media hebat.
Lelah berputar menyusuri wahana Cimory di jalan raya Puncak Gadog, Cipayung Girang, Kecamatan. Megamendung, Kabupaten Bogor itu, saya memutar haluan untuk membanding postur alamiahnya dengan sebuah tempat wisata di negeri saya bernama Air Dingin.
Saya berani mengatakan, Cimory nggak ada apa-apanya dari sisi keindahan alamnya bila disandingkan dengan Air Dingin.
Tapi ada apa-apanya karena dilumuri rupiah bergepok. Rupiah yang mendatangkan rupiah dari kuda poni, kura-kura kelabu, si burung merak dan buaya imut..
Rupiah yang menguras kantong orang Jakarta. Orang-orang yang ber”mindset” Puncak dan Puncak.
Air Dingin, tentu saja, bukan Puncak yang ditempeli label Cimory.
Air Dingin yang jaraknya dua belas kilometer dari kota Tapaktuan adalah alam perawan Air Dingin yang tidak memiliki “outlet” kuda poni dan kura-kura bertempurung lembayung.
Dan juga Air Dingin yang tidak berbayar kartu gesek dengan perpaduan air terjun pengunungan sebening kaca plus hamparan pantai putih bertebing bukit cadas yang memanjang berkilometer,
Dan ketika takziah saya terakhir ke Air Dingin tak ada senandung keriuhan hura-hura pengunjung seperti Puncak yang Ciromy
Sepi dan sep yang menggelayut. Sepi ketika uap air asin pecahan ombak samudera berbaur dengan pecahan buih air terjun dari bukit berbatu yang Subhanallah indahnya.
Sepi yang eksotik. Sepi yang membuat saya sentimentil. Sentimentil ketika digelitik oleh tanya tentang wajah alam yang alpa dipupuri polesan bedak dan gincu untuk menyalakan birahi pengunjung.
Tentu bukan polesan gincu dan bedak yang membuatnya menor.
Saya tak suka Air Dingin menjadi menor. Saya juga tak suka Air Dingin dibiarkan tanpa pupur. Tentu saja bukan seperti pupurnya Ciromy yang berdandan menor sesuai dengan selera orang Jakarta sana.
Untuk itulah, ketika terjebak di hura-hura Ciromy saya menerbangkan bungkus harapan ke Air Dingin sembari menggelitik pemilik duit anggaran agar membocorkan kantong apebede-nya.
Kantong apebede dengan label proyek wisata. Perperpaduan wisata pantai dan pengunungan. Perpaduan wisata yang mencuapkan mulut anak ketelatan untuk mengabarkan keindahan negerinya ke jagat donya.
Wisata yang dicukupkan dengan karcis seharga gopek untuk bermandi air sidingin sitawar. Karcis yang bisa melumuri badan pengunjung dengan pasir putih sembari membiarkan ombak samudera menggelandangnya.