Sabtu pagi pekan lalu, pasnya lima belas desember, ia mengirim sebuah jurnal. Lewat pesan di aplikasi whatsapp.
Ada teks yang menyertai jurnal itu. “Om… ini jurnal yang saya buat sebelum mengambil tesis s-dua.” Yang kemudian ditambahnya dengan kalimat pendek,”bersama dua doktor.”
Teks dua kalimat pendek itu sepertinya untuk meyakinkan saya bahwa ia menulis jurnal bersama dua orang bergelar doktor sebelum menyelesaikan studi masternya. Saya tak tahu bidang keilmuawan kedua doktor itu.
Mungkin sains atau sosiologis. Mungkin juga doktor ilmu politik.
Jurnal yang ia kirim itu ternyata sangat spesifik bahasannya. Tidak umum. Berbau ilmiah. Perspektifnya masuk wilayah abu-abu. Artinya nggak dibahas secara terbuka.
Hingga kini pun pembahasannya masih sebatas diskusi. Diskusi panjang yang nggak pernah tuntas. Menyisakan perdebatan. Perdebatan yang bertele-tele. Di media mainstream, medsos dan di banyak media lainnya
Para pembahas kebanyakan tidak selamanya ilmiah. Sering gosong. Dan persoalannya pun tak pernah di-simplistik-kan. Dibiarkan mengambang agar persoalannya bisa terus ditiup. Sebagai isu atau yang lainnya.
Yang lainnya Anda sudah tahu maksudnya.
Memang ada satu dua yang mencarikan jalan keluarnya. Ya …. Seperti jurnal yang singgah di whats saya itu.
Jalan keluar yang entahlah…. Entahlah juga seperti umar patek pelaku bom bali yang sudah insaf itu. Yang keinsafannya masih banyak orang dan negara yang belum ikhlas.
Kalau saya sih ikhlas saja. Orang insaf kok dihalangi. Apalagi insaf lewat kesadaran sendiri. Yang namanya insaf itu kan tobat…Mungkin sudah tobat nasuha. Tobat nasuha itu klasnya kan tertinggi dalam jenjang keyakinan yang saya anut.
Lantas saya bertanya dalam diam kenapa si pengirim jurnal menjadi salah satu penulisnya. Dan apa perannya dalam tim penulisan itu.
Apakah sebagai “tukang umpan” atau loko yang menghela gerbong.
Ataupun sebagai striker berjulukan goal-geter seperti kyle mbape di tim perancis yang gagal menjadikan negeranya sebagai juara dunia dalam laga final dramatis head to head dengan Argentina.
Namun begitu, yang pasti, sang pengirim pesan berada dalam gerbongnya.
Saya memang belum sempat bertanya tentang itu. Karena ia hanya memberi secuil pesan dan saya keburu menuliskan semua isi pesannya.
Memang saya tahu ia seorang anggota kepolisian. Dan jurnal itu sendiri adalah salah satu jawaban dari studi yang ditulisnya. Jawaban kritis yang mencaritahu dan memberitahu jalan keluar persoalannya.
Karena bukan bidang saya, di judulnya saja saya sudah jengah: “strategi pemolisian pencegahan kejahatan terorisme.”
Dari judul itu bukan hanya saya yang jengah, Anda pun ikut menggeleng kalau disodorkan tulisan macam begini. Apalagi ashabul nujub datang dari program studi kajian ilmu kepolisian, sekolah kajian stratejik dan global ui.
Ui yang siapapun tahu kapasitas penelitian dan keilmuannya.
Sebenarnya ia tahu saya tak akan “kuat” untuk mencerna tulisan semacam itu. Apalagi ditulisnya bersama dua teman dengan strata tiga dari universitas indonesia: a.wahyurudhanto dan surya dharma.
Yang saya tak tahu dengan kedua teman penulisnya itu. Yang saya tahu dari kajiannya pasti lewat riset dan di topang oleh kepustakaan berlevel tinggi. Mereka kan bukan personal abal-abal.
Ia hanya mengatakan dalam sebuah “say hello” usai pesan itu singgah di aplikasi wahtsapp saya:”dua-duanya dari s-tiga om.”
Saya maklum kualitas starata tiga universitas indonesia. Sebab saya punya beberapa teman seumuran yang menyandang gelar itu, dulu. Dan kini sebagiannya sudah ber”pulang.”
Yang saya nggak maklum kenapa dua doktor ui itu mau menulis jurnal dengan pilihan tema rawan dan rumit bersamanya dengan mengambil obyek penelitian bom Surakarta.
Padahal si pengirim pesan sedang bergulat dengan tesis tingkat master. Makanya, saya berpikir, tentu masternya berkualitas dan amat menguasai permasalahan. Dan punya pengetahuan yang tidak abal-abal pula.
Sayangnya saya tak sempat menanyakan ini kepadanya. Namun begitu di sebuah hari pertemuan kami ia pernah menyodorkan ke saya indek prestasi kinerjanya ketika menyelesaikan strata dua.
Indek prestasi kinerja yang nyaris menyusup ke angka empat,
Kalau pun saya ingin tahu kenapa ia ada dalam tim penulisan jurnal itu maka pertanyaannya akan saya sampir kepada kedua doktor itu. A.wahyudurantho dan surya dharma.
“Kenapa si pengirim pdf itu yang dipilih.”
Sayangnya tulisan itu sudah dipublikasikan. Di jurnal ilmu kepolisian dua tahun lalu. Di volume empat belas nomor tiga dengan menerakan nama surya dharma. Jurnal itu milik perguruan tinggi ilmu kepolisian.
Di bawah judulnya, sebelum masuk ke tulisan pengantar, abstract, dicantumkan nama ketiga penulisnya. Dua dari tiga tim penulis itu telah saya sebut atas. Nama si pengirim jurnal itu belum, ya…..
Ya, si pengirim pesan yang menyertakan label pdf-nya, Rezeki Revi Respati. Saya menyapanya dengan dengan ringkas Res. Entah betul begitu entah tidak Ya saya sapa saja. Peduli amat.
Menyapa seusai satu pertemuan di kantornya. Ditreskrim polda metro. Di jalan Sudirman. Yang saya lupa tanggalnya. Tapi harinya saya ingat. Kamis pagi. Di ruang kerjanya. Yang nggak perlu saya tulis lagi. Takut nyinyir.
Res yang saya panggil itu kemudiannya intens berkomunikasi. Saling menyapa. Dan sering diakhiri dengan hahaha… wkwkwk….
Usai mengirim jurnal itu Rezeki Revi Respati mungkin tahu bahwa saya tidak ngah, Sehingga ia menambah lewat rangkaian kata-kata: “untuk baca-baca om.”
Saya mafhum itu basa-basi menghibur. Hiburan agar saya tahu kapasitasnya sebagai seorang yang tidak hanya tangkas fisik juga berpikir. Tangkas karena ia mampu kembali ke klas untuk meraih gelar master of sain.
Yang ketangkasannya tidak seperti saya yang mulai mengendur. Mengendur ketika kepayahan untuk membuka pdf yang ia kirim…Pdf yang menyebabkan saya tergagap memahaminya.
Di tengah kepayahan datang jawaban dari diri saya sendiri. “Kenapa harus cari perkara!”
Ya… saya yang awalnya cari perkara. Bukan perkara kriminal yang “kincah” air keruhnya bagian dari kerja Rezeki Revi Respati. Tapi saya juga yang memulai perkara.
Memulai dari sebuah percakapan untuk mendorong si ajun komisaris polisi di ditreskrim polda metro jaya itu untuk lebih banyak menulis jurnal.
Jurnal yang spesifikasinya berlatar kejahatan dan sudut pandangnya dari posisi hukum. Posisi tugas kepolisian. Yang penyalurannya ke web atau blog institusinya. Yang tulisannya style esai.
Esai yang mampu menampung fakta, opini dan repertoar. Yang kemudiannya di”hambo”kanya dengan mengirim jurnal tentang penelitian kasus bom di Surakarta. Yang membuat saya “mumang.”
Ya… “mumang” lah. Karena dalam pengantarnya saja sudah dalam bahasa inggris. Dan untung saja pengantar yang berlabel abstract itu ada terjemahan indonesia. Kalau nggak pasti saya tergagap.
Soalnya inggris saya kan khas anak kapal. Anak kapal yang cas.. cis…cusnya berselemak peak. Kacau balau. Dan inggris pasif saya gayanya mengeja. Sering tergagap. Dan harus dekat dengan kamus.
Kalau Anda nggak percaya tulisan itu saya bisa mengutipkan deskriptif dari pembukanya yang di tulis dengan abstract itu.
“Penelitian ini secara umum dilakukan untuk mengeksplorasi fenomena karakteristik terorisme, menganalisis faktor penyebab dan strategi yang digunakan Polri dalam mencegah dan meminimalisir kejahatan terorisme di Kota Surakarta.”
“ Fokus dari penelitian ini adalah strategi terhadap pola-pola pencegahan yang telah dilakukan oleh Polres Kota Surakarta dalam menangani berbagai bentuk perkembangan kejahatan terorisme, yang menjalankan upaya preemtif seperti deteksi dini dan upaya preventif seperti kegiatan patroli kepolisian dalam menghambat dan membatasi pergerakan calon pelaku terorisme di wilayah hukum Polres Kota Surakarta.”
“ Penelitian ini memperlihatkan bahwa strategi pemolisian yang berjalan di Kepolisan Resor Kota Surakarta belum optimal dalam menangani berbagai faktor penyebab timbulnya kejahatan terorisme sehingga dibutuhkan adanya strategi pemolisian yang proaktif yang dapat menjadi solusi dalam pencegahan kejahatan terorisme.”
“ Strategi pemolisian tersebut perlu diimplementasikan ke dalam tataran struktural, kultural dan instrumental secara simultan dan berkesinambungan.”
Nah…. kan Anda sudah baca!
Bacalah istilahnya. Ada kata preemtif, preventif dan lainnya. Baca juga struktur penulisannya. Penulisan yang seharusnya bisa diresensi oleh para ahlinya.
Struktur penulisan nggak cun dengan gaya bacaan saya. Paragraph-nya agak panjang. Bahkan saya kehabisan intonasi dalam ketika masuk dalam rangkaian kata-kata yang membentuk kalimatnya.
Tulisan yang menggunakan pendekatan analisis menggunakan teori pop. Problem oriented policing. Yang pendekatannya dengan metode “sara.” Anda kan tahu kepanjangan dari :sara” toh!
Suku, agama, ras dan antar golongan. Kata sara yang sudah menjadi begitu terkenalnya dan diunduh oleh media hingga menjadi hafalan. Bahkan menjadi omongan kosong hingga padat para pejabat.
Juga menjadi bahan kajian para ilmuan sosiologi hingga sains. Dari dulunya hingga kini. Dan juga di masa datang.
Metode sara yang dibahas Respati bersama dua temannya lewat fase……
Fase ini dibagi-bagi scanning, analysis, response dan assessment. Uraian tahapan ini memang tak mudah untuk dicerna para awam.
Ambil saja masalah scanning. Anda mungkin tahu tentang asal kata scan. Ia akan mengindikasikan dengan memilah lewat daya statistik. Dari bulan perbulan atau semester atau tahun. Begitu selanjutnya dengan fase analyisis.
Atau pun fase response dan assessment. Wuahh…. Saya nggak ingin membahas lebih lanjut. Soalnya kan sudah jadi janji tak membuat otak saya sengkarut.
Karena materi jurnal itu dari babak awal, pendahuluan, sudah dijejali dengan latar belakang rumit. Kerumitan pendekatannya yang berbau ilmiah lewat kutipan-kutipan para pakar.
Dari sisi narasanya pun agak melenceng dari mazhab saya yang berbau pop. Bacaan saya di ujung kehidupan ini lebih berbau enjoy….
Maklum sajalah seusia ini tak ada niatan membangun karir. Kalau ada orang membangun karir akhirnya kan runtuh juga. Saya masih belum lupa tentang “orang membangun istana pasir di bibir pantai”
Mahathir saja yang masih tergiur untuk membangun karir akhirnya runtuh. Padahal ia seorang fenomenal.
Selain itu saya nggak akan mau terperosok dalam penulisan resensi jurnal ilmiah.
Kalau hanya resensi tulisan atau buku yang reportoar biasalah saya resensi. Atau diminta untuk menulis kata pengantar.
Maafkan….