close
Nuga Forum

Merdeka Pesong

Saya marah ketika ada kata “merdeka” yang dipenggal sebagai simbol kebebasan berpikir di kampung sana. Kata “merdeka” yang dikaitkan dengan sebuah aspirasi.

Cara pemenggalan kata merdeka itu lewat bunyi yang senyap. Di bungkus secara bloon. “Merdeka aceh.” Bukan kata “aceh merdeka.”

Saya gak tahu alasan pembalikan kata itu. Sudah tanya ke salah seorang tim pemenggalnya. Jawabannya tanpa bunyi. Hanya dengan satu ayunan kepala kiri-kanan.

Padahal ketika negeri itu di rajang perang siapapun bisa menukikkan kata “aceh merdeka”

Dan kenapa juga kata “merdeka”nya saja yang harus dipreteli.

Kenapa pula ia dengan alasan gak jelas harus diangkat dalam narasi untuk sebuah negeri yang penuh tanya.

Sebuah negeri yang hari-hari ini sedang tidak baik-baik saja.

Saya tak tahu darimana datangnya kesepakatan setengah pesong ini. Saya tak ingin merinci isi kesepakatan itu.

Tak ingin juga menyebut nama siapa yang menjadi pelakonnya. Anda mungkin lebih tahu dari saya. bahkan lebih dahulu tahu.

Kesepakatan ini malam tadi saya bisikkan ke seorang teman. Kami cas..cis..cus dan sampai di ujungkata: kini makin  banyak orang menjadi pesong penuh  tentang nasibnya yang tak jadi lebih baik, bahkan memburuk

Bahkan buruk sekali. Miskin dan papa….

Yang lantas mereka bertanya  “kapan merdeka selesai?”

Yang “merdeka” itu bagi mereka belum selesai. Yang namanya merdeka itu bagi saya sama dengan mereka: juga belum selesai.  Yang namanya   “merdeka” bagi saya adalah  sebuah proses.

Seperti yang saya kutip dalam kamus bahasa, kata itu adalah kata sifat. Terkadang bisa juga berfungsi menjadi kata kerja

Seperti dalam perumpamaan daun adalah hijau dan itu juga berarti daun menghijau.

Maka bagi saya kata “merdeka” dikaitkan dengan negeri saya ia dapat berarti “sebuah kemerdekaan”

Kemerdekaan adalah sebuah keputusan — tepatnya: keputusan bertindak

Namun begitu, kata itu bisa juga diartikan sebagai laku untuk “menjalankan kemerdekaan”. Seperti “menjebol” dan kerja itu masih berlangsung.

Saya tertarik untuk mengutip sebuah esai seorang penulis yang tingkatnya sudah berada di posisi tasauf mengatakan: jika kita lihat “merdeka” adalah sebuah laku, pertanyaan itu tak akan ada.

Sebab laku itu—yang berlangsung dalam sejarah sebagai proses—tak punya titik yang tetap di depan untuk dituju. Titik itu, untuk jeda, harus tiap kali diputuskan kembali.

Saya rasa, ada perasaan yang berbeda antara mereka yang sudah seringkali mengucapkan kata merdeka dengan yang bungkam dengan kata itu

Maaf kalau saya menjadi jujur, dengan mengungkapka rasa marah ini. Menurut saya, segala yang terjadi di aceh sekarang adalah tanggapan yang berlebihan

Tanggapan yang sifatnya “aji mumpung”. maaf kalau pernyataan saya jadi salah.

Saya tak tahu kapan bunyi pekik “merdeka” itu datang dan singgah ke memori saya.

Yang saya tahu dengung “merdeka” itu baru bisa ter-eja ketika saya mulai bisa merangkai huruf di pertengahan tahun lima puluhan dari corat coret bak graffiti di dinding pertokoan kota kecil saya

Persambungan katanya berbunyi bak suara pekikan. “Sekali merdeka tetap merdeka,” Atau  “merdeka atau mati.” Ada lagi,”berjuang … merdeka dan… dan,,,,”

Saya tahu setelah pekik “merdeka” disambung perjalanan sejarah, bersangsur-angsur disadari bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang nisbi dan contingent.

Ia serba mungkin, bisa meyakinkan atau sebaliknya membuat bimbang, tergantung kepada keadaan. Ia lipatan-lipatan probabilitas.

Ia menyimpan anasir yang tak menjamin stabilitasnya sendiri. Subyek yang semula solid pun mulai mencair.

Memang kemerdekaan manusia bukanlah sebuah “kondisi” obyektif. Kemerdekaan adalah sebuah keputusan — tepatnya: keputusan bertindak.

Kemerdekaan adalah hak istimewa untuk menentukan nasib sendiri, baik secara pribadi maupun sebagai bangsa, tanpa campur tangan atau kendali dari pihak lain.

Ini melibatkan kebebasan untuk berpikir, bertindak, dan berpendapat sesuai dengan keinginan dan nilai-nilai yang diyakini.

Kemerdekaan juga mencakup tanggung jawab untuk menjaga kebebasan tersebut dan memastikan bahwa semua orang dapat menikmati hak-hak yang sama.

Bagi saya merdeka itu berada dalam perspektif individu. Jangan dibatasi oleh pragmatisme. Ia bisa  ditemukan dalam kehidupan sehari-hari setiap individu.

Merdeka pribadi berarti kebebasan untuk menentukan pilihan hidup, membuat keputusan yang berdampak pada masa depan, dan mengejar impian tanpa tekanan dari luar.

Ia menjadi milik pribadi yang melibatkan kemampuan untuk berpikir kritis, bertanggung jawab atas tindakan sendiri, dan berani mengambil risiko untuk meraih tujuan.

Tidak mudah percaya begitu saja terhadap informasi yang didengar atau dilihat, tetapi selalu mempertanyakan dan mencari kebenaran.

Memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara, serta menjaga ketertiban dan kedamaian.

Mengapresiasi perbedaan pendapat dan tidak menghalangi orang lain untuk mengungkapkan pendapatnya.:

Berani melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak yang tidak sesuai dengan hukum.

Kemerdekaan adalah sebuah hak yang harus dihargai dan dijaga.

Kemerdekaan bukan hanya sekadar sebuah kata, melainkan sebuah semangat yang harus membara dalam jiwa setiap individu dan bangsa.

Dengan memahami dan mengaplikasikan makna kemerdekaan dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan, maju, dan sejahtera.

Boleh jadi, kita terperangah dengan pertanyaan dan pernyataan semacam ini. Tentu saja, karena pada umumnya beranggapan bahwa merdeka itu bisa melakukan apa saja sesuai kemauan kita.

Dan itu memang sepertinya benar melihat kondisi bangsa tercinta sampai detik ini. Korupsi tidak pernah tuntas, karena merasa mereka bebas melakukannya.

Dalam berpolitik hilang tata kramanya, karena merasa bebas melaksanakan maksud dan tujuannya. Nepotisme itu biasa.

Mumpung masih berkuasa, dan alasan-alasan lain dengan dalih merdeka. Di bidang ekonomi, kita masih separo nafas dengan himpitan hutang yang terus mengganas.

Namun sesuai dengan kapasitas saya sebagai awam, mari kita berkontribusi terhadap permasalahan bangsa ini dengan memaknai kemerdekaan dengan sebenar-benarnya dimulai dari diri sendiri.

Seorang kawan mengirimkan pesan indah di hari berbahagia ini.

Katanya; “merdeka itu, ketika saya mampu melakukan apa yang tidak ingin saya lakukan.”

Saya jadi teringat sebuah defines kebebasan yang mutlak adalah kebuasan, karena kebebasan sesungguhnya memiliki definisi yang bersifat mengikat dan terbatas.

Allah misalnya, di dalam kekuasaan dan kekuatan-Nya yang mutlak dan tidak terbatas, tetap membatasi diri untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan natur-Nya.

Berbeda dengan kita semua yang berpotensi untuk menjadi diktator, tiran, atau monster mengerikan jika saja tidak ada hukum, aturan, atau hal yang membatasi kita.

Apa lagi dengan natur lupa, salah dan berdosa, manusia cenderung akan melakukan banyak keputusan, pilihan, dan perbuatan yang akan merugikan sesamanya, alam, dan makhluk ciptaan lainnya.

Karena itu, kita baru dapat menjadi manusia merdeka ketika mampu untuk melakukan apa yang sesungguhnya tidak mau kita lakukan

Seperti berbuat yang jahat, merugikan, menyakiti dan berdosa.

Tags : slide