Penulis: Muh. Ma’rufin Sudibyo’
Jelas sudah bahwa terjadinya potensi perbedaan mengawali Ramadhan 1434 H di Indonesia terbuka demikian lebar, baik dalam skala makro maupun mikro. Sebagian Umat Islam sudah jauh-jauh hari menetapkan 1 Ramadhan bertepatan dengan Selasa, 9 Juli 2013. Sementara, sebagian mengikuti keputusan pemerintah yang menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013.
Secara mikro, potensi perbedaan juga tetap terbuka terutama lewat komunitas-komunitas minor seperti tarekat Naqsyabandiyah, di Padang (Sumatra Barat), an-Nadzir (Sulawesi Selatan), maupun pengguna sistem penanggalan Jawa Islam kedaluwarsa (Aboge) yang memiliki keputusannya sendiri-sendiri.
Demikian pula yang terjadi di manca negara. Arab Saudi mencantumkan 1 Ramadhan 1434 H pada Selasa 9 Juli 2013 dalam kalender Ummul Qura-nya, meski tidak berarti negara itu akan berpuasa Ramadhan mulai hari itu. Ibadah tersebut dipisahkan kedudukannya dibandingkan kalender, sehingga terbuka kemungkinan Arab Saudi mulai berpuasa pada 2 Ramadhan.
Negeri yang menjadi kiblat banyak penduduk Muslim di seantero penjuru bumi itu masih harus menanti hasil rukyat sesuai ketentuan yang diberlakukannya, seiring dengan kritisnya elemen-elemen posisi Bulan di kota suci Makkah (yang menjadi acuan).
Sebaliknya, Oman telah menetapkan 1 Ramadhan pada Rabu 10 Juli 2013 atas alasannya sendiri, meski sesama negara Timur Tengah. Mengingat pencapaian gemilang yang telah direngkuh cendekiawan falak generasi klasik, maka mengapa perbedaan dan informasi yang simpang-siur tersebut bisa terjadi justru pada masa kini, pada masa ketika manusia bahkan sudah berhasil menapakkan kakinya di Bulan?
Setelah pencapaian gemilang di era klasik dengan berhasil dirumuskannya kriteria untuk hisab berbasis data melimpah yang diproduksi rukyat, perkembangan ilmu falak mendadak berhenti dan bahkan terperosok ke dalam lubang hitam sejarah sejak lima abad silam dan terus berlangsung hingga 400 tahun kemudian. Periode ini ditandai runtuhnya pemahaman komprehensif tentang hilal sehingga rukyat dan hisab ‘diceraikan’ dan masing-masing berjalan sendiri-sendiri.
Proses observasi Bulan, yang sangat penting kedudukannya untuk memastikan akurasi hisab yang telah dibangun, ditinggalkan. Kalau pun rukyat masih diselenggarakan semata hanya berlangsung sebagai ritual semata, tanpa adanya pencatatan data yang bisa digunakan bagi generasi selanjutnya.
Salah satu imbasnya masih terasa hingga kini. Misalnya, masih digunakannya data-data elemen posisi Bulan dari era Ulughbegh (lima abad silam), tanpa adanya koreksi merujuk epok (epoch) yang umum diterapkan dalam astronomi modern setiap setengah abad sekali.
Hisab dan rukyat modern
Namun, fajar yang menerangi masa kegelapan ini mulai menyingsing sedikit demi sedikit sejak seabad terakhir. Adalah Schmidt yang memeloporinya saat melaksanakan rukyat secara rutin dari observatorium Athena (Yunani) dan mencatat hasil-hasilnya. Data-data inilah yang kemudian digunakan Fotheringham, Maunder dan generasi terkini untuk membangun kriteria modern.
Beda mendasar kriteria modern dengan klasik adalah telah dimasukkannya data-data rukyat yang berbasis alat bantu optik seperti teleskop. Langkah ini ditindaklanjuti oleh sosok-sosok berikutnya seperti Bernard Yallop, Bradley Schaefer, Mohammad Ilyas, Monzur Ahmed, Mohammed Odeh dan Thomas Djamaluddin.
Schaefer (AS) membangun jaringan dan menyelenggarakan rukyat hilal secara terorganisir pada awal dekade 1990-an, yang hasil-hasilnya lantas dianalisis Yallop sehingga menghasilkan kriteria Yallop.
Sementara, Ilyas (Malaysia) merintis analisis ulang terhadap data-data rukyat hilal dari era klasik dan awal era modern, yang kemudian menghasilkan kriteria Ilyas yang sangat bermutu. Terakhir, Odeh (Yordania) membangun jaringan perukyat lintas negara yang dinamakan ICOP (International Crescent Observation Project) berangggotakan cendekaiwan Timur Tengah, Eropa, Amerika dan Asia (termasuk Indonesia).
Dari data berlimpah (sebanyak 737 data) yang dihasilkan ICOP sejak 1998, analisisnya menelurkan kriteria Odeh yang fenomenal dan banyak diadopsi oleh ahli falak generasi terkini.
Era modern juga ditandai dengan proses rukyat yang lebih baik. Rukyat tanpa alat, yang riskan menyasar obyek selain Bulan dan dikelirukan sebagai hilal, mulai ditinggalkan. Sebaliknya, teleskop (ataupun variannya seperti binokuler dan teodolit) mulai banyak digunakan.
Di kemudian hari, bahkan teleskop berpenyangga (mounting) otomatik yang sanggup melacak posisi Bulan secara mandiri berdasarkan algoritma modern mulai digunakan, sehingga perukyat tinggal berkonsentrasi pada upaya mendeteksi ada tidaknya hilaal.
Belakangan, seiring berkembangnya era digitalisasi, upaya deteksi hilal pun dilakukan dengan menggunakan instrumen kamera CCD (charged copule device) yang sensitif, sehingga perukyat tinggal menyaksikan ada tidaknya hilal lewat monitor. Perkembangan ini sekaligus memungkinkan penyimpanan data hilal komplit dengan citranya yang sangat penting artinya bagi kepentingan ilmu pengetahuan terkait.
Bagaimana hisab dalam pandangan modern?
Jika hanya menggunakan mata saja (tanpa alat bantu optik), maka tidak ada bedanya antara era klasik dan modern dalam mendefinisikan hilal. Namun, jika teleskop dipertimbangkan, maka statusnya jauh berbeda. Misalnya, pada kriteria Odeh. Terdapat dua parameter penting, yakni waktu terbaik (best time) dan nilai visibilitas (V).
Waktu terbaik merupakan saat terbaik mendeteksi hilal, yang rata-rata terjadi dalam 20 menit pasca terbenamnya Matahari. Sementara, nilai V merupakan kombinasi antara elemen geometris Bulan (dalam rupa beda tinggi) dan elemen fisis Bulan (dalam wujud lebar sabit). Sehingga, kriteria modern tak lagi hanya bergantung pada satu elemen saja. Maka, terdapat situasi dimana lengkungan sabit Bulan sudah tak terdeteksi mata biasa saja namun masih terdeteksi lewat teleskop hingga limit tertentu.
Akan tetapi, masih banyak masalah yang menggayut. Salah satunya adalah kurang tersosialisasinya segala perkembangan menakjubkan dalam lapangan hisab dan rukyat era modern ini ke segenap lapisan Umat Islam. Hal ini menjadi alasan mengapa masih banyak lapisan masyarakat yang menggunakan hisabnya masing-masing, meski akurasinya diragukan.
Masih banyak yang melaksanakan rukyat tanpa prosedur standar sehingga pengganggu eksternal dan internal (dari benda-benda langit hingga sumber cahaya buatan di Bumi) tidak dieliminir terlebih dahulu sebelum memberikan persaksian. Demikian pula di Indonesia.
Indonesia
Secara akumulatif, terdapat 26 sistem hisab yang kini dipergunakan oleh elemen-elemen Umat Islam di Indonesia. Tak semuanya memiliki tingkat akurasi yang serupa sehingga secara umum dibagi ke dalam tiga golongan, yakni golongan kurang akurat (taqriby), akurat (tahqiqi) dan sangat akurat (haqiqi bittahqiq).
Ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, al-Washliyah dan sebagainya secara kelembagaan telah mempergunakan sistem hisab sangat akurat. Namun, sistem hisab terpopuler yang banyak diajarkan dan dipergunakan secara luas di lapisan masyarakat Muslim Indonesia justru menjadi bagian dari golongan sistem hisab kurang akurat. Misalnya, sistem hisab al-Mansyuriyah yang mengacu pada kitab Sullam al-Nayyirain.
Kompleksitas pun muncul karena lewat para pengguna sistem inilah laporan rukyat sering muncul, misalnya dari Cakung (Jakarta). Laporan tersebut sering menjadi kontroversi, misalnya dalam penentuan Idul Fitri 1432 H (2011) maupun awal Ramadhan 1433 H (2012) lalu. Padahal, akurasinya sudah terbukti tak bisa dijamin tatkala hasil perhitungannya dibandingkan langsung dengan kejadian-kejadian yang berbasis elemen geometris Bulan seperti halnya Gerhana Matahari (yang selalu terjadi bersamaan dengan konjungsi) dan Gerhana Bulan (yang selalu terjadi pada saat Bulan purnama).
Kerap muncul kasus ‘salah lihat’ saat perukyat melaporkan obyek bukan Bulan sebagai hilal dan bersedia diambil persaksiannya. Padahal, merujuk pada data-data rukyat yang telah ditabulasi sejak masa klasik hingga modern, pada saat itu Bulan tidak mungkin berada dalam status hilal karena belum memenuhi batasan kriteria khususnya kriteria modern.
Kasus ini bukan khas Indonesia, namun juga menjangkiti negara-negara lainnya seperti Saudi Arabia dan Yordania. Analisis modern menunjukkan hanya 21 % data rukyat 1967-1997 di Indonesia yang sahih dalam kacamata astronomi modern. Saudi Arabia lebih kecil lagi karena hanya 13 % dari data rukyat 1961-2004 yang sahih dan Yordania hanya 8 % dari data rukyat 1957-2004 yang sahih.
Sumber Kompas.com