(Untuk mengenang kembali hari-hari mengenaskan pasca-Oktober 1965)
Hari itu adalah hari-hari kelabu pasca-Oktober, 47 tahun lalu. Hari, yang ketika ia menyusup di sebuah ujung malam di hari terakhir penanggalan September, lalu ia berotasi ke hari Oktober dan menggetarkan jagat negeri ini hingga merambat menjadi huru-hara yang panjang.
Setelah empat dekade lebih hari itu berlalu, kami mengenangnya kembali dengan sepotong kata yang aneh dan menjalarkan kenangan itu untuk dibasuh lewat sepenggal ingatan yang masih utuh dan segar guna menemukan kembali kata berjimat itu, yang di kala itu bukan main populernya, kodon.
Kata kodon sangat sederhana, untuk dioralkan. Tapi, ketika datang dalam kenangan di otak kecil saya, ternyata ia bukan sebuah episode sejarah yang sederhana. Masyaallah panjang kisahnya untuk mengisi, hanya sebuah tema.
Sebuah kata yang mulanya tak punya makna ternyata menjadi bangunan sebuah kerangka cerita dengan kisah pedih bercampur ngilu mengisi lembaran masa bertahun-tahun kemudiannya.
Kata kodon, setelah berpuluh tahun kami diskusikan, tak pernah mendatangkan resume tunggal dari mana ia terpenggal. Entah dari induk sukukata mana pula ia bisa membelah dan menyelusup menjadi kata paling “top” di pasca-Oktober, 47 tahun lalu itu. Ia dijadikan permainan lidah. Permainan yang bisa mengisi tawa bila sebutannya diringankan untuk bahan sebuah sendagurau.
Dan kata itu bisa juga menjalarkan rasa takut ketika ia dipadankan dengan kata kuduang. Kata kuduang, itu sendiri di negeri kecil kami tinggal waktu itu, “Negeri Selatan” sana, bukan hanya sekadar memuat arti harfiah “potong”. Kata itu bisa menjadi ilustrasi yang membuat mual ketika parang yang ditetakkan di tengkuk untuk menebas batang leher.
Kodon di hari-hari Oktober 47 tahun lalu, semula, memang tak punya makna, apalagi di awal hingga di-mainstream pikiran anak negeri kami. Ia bukan kosakata yang terbentuk dari proses akulturasi oral dua budaya. Ia tidak pula berasal dari proses pemilahan dari padanan kata lain, ataupun membalik dari hukum kosokbali. Atau pun ia ditendang dari rentangan hukum “DM” (dijelaskan-menjelaskan) sebagaimana yang lazim kita dapatkan dalam pelajaran standar tatabahasa Indonesia.
Tapi jangan abaikan kata kodon itu sebagai sebuah entitas kata yang tidak serius di komunitas kami. Kami sendiri yang di kemudian hari bergelut dengan pesona kata-kata, tak mampu memaknainya hingga hari ini. Kami hanya bisa menafsirkannya sebagai kesamaan dengan kata “potong” atau “pancung” ataupun kasarnya “kuduang” bila harus dikaitkan dengan pemakaian kata itu di masa lalu.
Masa ketika huru-hara yang menimbulkan gempa politik” yang menghalalkan pembunuhan. Gempa dan huru-hara Oktober bagaikan gelombang tsunami mengantarkan sebagian anak-anak negerinya ke ujung kehidupan, tapi hana meupat jirat, tak tahu kita di mana kuburannya.
Gempa dan huru-hara politik yang memberi kewenangan untuk menghabisi setiap personal anak negerinya yang bersatus anggota politbiro tingkat cabang atau CC, pengurus underbouw semacam BTI, Gerwani. Pemuda Rakyat ataupun Lekra sehingga menjatuhkan kata kodon di tengah pusarannya.
Kata kodon jatuh begitu saja tanpa ada seorang pun yang mengakui kepemilikannya. Ia diwakafkan, entah oleh siapa, dan dari komunitas yang tak jelas, untuk dijadikan milik sebuah negeri, nun di selatan sana, ketika pecah hura-hara Oktober yang memakan anak, ayah, saudara, suami, istri dan siapa saja di antara mereka yang berkhianat atas nama sebuah ideologi.
Tak seorang pun, atau sekelompok orang dan banyak kelompok orang yang mampu membendung bah besar yang menghancurkan ideologi haram, kala itu. Ideologi yang menghalalkan pencidukan orang tanpa proses hukum lewat sebuah fatwa yang riuh. Ideologi yang harus diganyang, sebuah jargon lain yang juga sangat populer. Pengganyangan sampai keakar-akarnya serta harus pula menggerus antek-anteknya lewat muara kata harus dikodon.
Hari-hari itu, pasca-Oktober, sebuah tragedi berdarah tanpa perlawanan memang sedang mengapung di langit nusantara. Semua orang mengobarkannya dengan meminjam kata “jihad” sebagai sebuah pembenaran. Pembenaran dari jargon dengan slogan yang diheroikkan saat itu, “dari pada dibunuh lebih baik membunuh”.
Saya bisa mengingat dengan fasih detil kejadian di kota kecil berpenduduk sedikit yang ketika itu seorang remaja dengan semangat menggebu untuk mencari “tanya” guna mendapat “tahu” setiap duduk kejadian di saat itu.
Di kampung saya, sebagaimana di seluruh tempat di negeri ini, orang berlomba membentuk organisasi dengan nama KAPPI, KAMI atau pun berpuluh laskar yang tak perlu beranggaran dasar dan rumah tangga. Cukup lapor Koramil, Kodim atau Buterpera dan berangkat ramai-ramai dengan mendengungkan kata “ganyang”, musnahkan antek-antek dan bubarkan partai politik PKI.
Itulah hari-hari pasca-Oktober itu, yang tersimpan dengan rapi di memori kami. Hari-hari yang menelantarkan mata pelajaran sekolah dan membuat malam-malam terasa panjang ketika orang mengetuk pintu rumah sembari membawa daftar untuk “diambil”.
Ada lengkingan suara di ujung malam. Ada tangis terisak yang kemudian ditelan kesenyapan. Tanyakan kepada generasi saya yang tersisa bagaimana umak, etek dan mak tangah-nya menyibak gorden jendela mengintip petugas menjemput pak wo dan mak etek dengan truk terbuka, dan menggumamkan kalimat ”inalillahi wainna illahi rojiun.”
Itulah bagian episode hari-hari pasca-Oktober yang berdarah. Hari ketika si A Nyi dikodon di Ujuang Butun di celah batu batu koral dan berjirat di tempat itu. Si A Nyi, toke pala, cengkeh dan kopi dan Cina kaya asal Banda Aceh, yang entah apa kesalahannya harus berpulang. Begitu juga dengan adiknya, si Hasan Pancing menyusul si A Nyi yang menurut sahibul hikayat, “disudahi” di Rantau Kepala Gajah, kini masuk kabupaten Nagan Raya.
Nama yang mudah diidentifikasi latar belakangnya dan sudah bisa “dibaca” sebelum bergeraknya sebuah front yang memerintah dengan penggalan kata lainnya, apa sudah “diambil”.
Bagi saya yang remaja anak sekolahan, suasana hari-hari belajar juga dipenuhi dengan kata tanya, ”siapa lagi?” Kata tanya ketika sorenya di kota kecil itu melintas truk terbuka membawa kelompok orang-orang “kiri” yang diciduk tanpa mampu mengadakan perlawanan.
Saya tidak paham tentang ideologi, pada waktu itu, Sama dengan tidakpahamnya tentang seberapa lekat candu ideologi yang menjadi slogan para sang ”antek-antek” sebelum hura-hara yang dipantik pasca-Oktober. Slogan tentang materialis, dialektika dan logika.
Sebuah paham yang berangkat dari janji kesetaraan dalam mendapatkan proses dan hasil produksi. Paham tentang penguasaan seluruh alat produksi di tangan proletar yang disangga oleh kaum buruh dan kaum tani. Dan sebuah slogan tentang land reform yang waktu itu sandaran aturannya telah dikemas dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), bukan UUPA yang kini juga populer di sini, untuk merebut penguasaan tanah dari orang kaya dan dibagi-bagikan secara samarata di antara kader.
Entah apalagi slogan yang mereka gemborkan pada waktu itu. Dan saya sendiri termasuk remaja yang menyukai keramaian Kantor “Comite Cabang” mereka yang terletak di jejeran toko yang mengahadap pelabuhan, dan selalu dipenuhi dengan buku-buku dan majalah bersampul dan koran semacam Harian Rakyat dengan edisi minggunya empat halaman berisi tulisan sastra bernama Lentera.
Masih ada koran Suluh Indonesia. Semuanya menampilkan tulisan heroik tentang neokolonialis, caci maki manikebu bahkan tantangan untuk membubarkan ormas Islam semacam HMI. Isinya gaduh dan bergambar di sana sini palu arit dengan foto-foto yang sangat memikat di tiap halamannya.
Juga ada foto besar di dindingnya. Foto Lenin, Stalin. Fidel Castro, Karl Marx dan Mao bersanding dengan foto Dipa Nusantara Aidit, Lukman dan Nyoto. Tiga serangkai yang terlihat bak gambaran film The Three Musketeers dalam jagat politik tanah air pada waktu itu.
Hari-hari pasca-Oktober kejayaan Kantor CC menguap setelah sebuah aksi massal memporakporandakan seluruh isinya dan menjemput penghuninya untuk didaftar sebagai prioritas di sebuah ruang Kantor Kodim untuk kemudian ditempatkan sebagai prioritas pengiriman berlabel: kodon. Itulah awal dari hura-hara yang mengantarkan pasca-Oktober sebagai hari dan malam-malam berdarah.
Hari dan malam pasca-Oktober ketika itu berjalan cepat. Ia berlari mengejar tempat kebenaran dalam frasa untuk mendahului masanya. Frasa tentang jargon pembelaan diri seraya memberitahu betapa dahsyatnya bahaya laten kalau ideologi yang bernama komunis itu dibiarkan hidup lebih lama.
Untuk sebuah kebenaran, dihidupkanlah pembenaran untuk memusnahkannya. Pemusnahan, yang kala itu harus sampai ke akar-akarnya. Pemusnahan yang tidak hanya berada dalam ruang ideologi, tapi juga fisik manusianya.
Tak ada angka berapa korban yang “diselesaikan” dengan cara kodon di kampung saya karena ia tidak pernah dipublikasikan, seperti zaman sekarang. Memang ada semangat keusilan dari beberapa kami menghitung “antek-antek” yang hilang dari setiap kampung.
Di desa kami saja, paling tidak ada 18 orang yang dikirim di malam-malam “jahanam” itu ke Gunung Tangga Besi, Ujung Butun atau pun nun jauh di sana ke hutan Seumayam. Di kampung yang lain angkanya bervariasi antara dua sampai lima orang. Dan entah berapa pula kalau rekapitulasikan menjadi angka kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional.
Dan ketika semangat kodon itu datang pada zaman yang telah berubah di hari-hari pasca-Oktober 2012, atau 47 tahun kemudian, kita terperangah menatapnya. Kita baru tahu tentang makna rekonsiliasi, tuntutan maaf sampai kepada kejahatan kemanusiaan. Kita seperti terpesona dengan hak asasi manusia.
Padahal siapa yang berani mengusung tema itu di kala itu. Dan di mana pula kata-kata hak asasi waktu itu tersimpan. Semuanya kelu. Dan semuanya kini seperti ingin berkejaran mencarinya untuk sebuah citra dan pupularitas. Bahkan untuk dipahatkan namanya sebagai “pejuang”.
*Penulis adalah wartawan senior berdomisili di Aceh