Reader’s Digest, majalah terkenal dunia, pekan ini menurunkan tulisan tentang orang yang fobia ditertawakan.
Bagi mereka menertawakan dirinya adalah sesuatu yang salah
Dan menurut Reader’s Digest, kondisi itu disebut dengan Gelotophobia
Atau juga ketakutan untuk ditertawakan.
Mereka yang memiliki fobia ini merasa tertawa adalah barang langka, sebab tidak bisa dilakukan.
Padahal, keinginan mereka untuk tertawa sangat kuat.
Menurut Psikolog Willibard Ruch, penderita Gelotofobia tidak percaya dengan tertawa, yang seharusnya bisa membuat mereka menikmati hidup.
Ruch mengatakan mereka yang takut dengan tertawa bisa berakibat mengalami stres, gemetar hingga kemarahan yang tak terkendali.
Salah satu pasien Ruch disebutkan pernah tidak bisa duduk berhadapan dengan orang lain di tempat umum.
“Orang ini akan selalu menunggu bus berikutnya jika tidak ada kursi di baris terakhir yang kosong. Dia tidak tahan dengan pemikiran bahwa seseorang akan duduk di belakangnya dan tertawa, “kata Ruch.
Perlu diketahui, salah satu penyebab dari Gelotofobia adalah intimidasi. Salah satunya adalah pola asuh anak sejak kecil.
Mereka yang tumbuh di lingkungan dengan orangtua intimidatif dan pola asuh kekerasan, maka akan takut tertawa di kemudian hari.
Namun Anda tak perlu takut, Gelotofobia bisa diobati dengan terapi mengatasi jenis fobia lain.
Sayangnya, studi soal Gelotofobia belum banyak, sehingga kemungkinan untuk kesembuhannya masih belum pasti.
Strategi lain adalah dengan meningkatkan selera humor Anda
Fobia tak ingin ditertawakan adalah bagian kecil dari banyaknya kasus fobia yang dialami seseorang.
Sebut saja seseorang bisa pingsan ketika melihat donat.
Ada juga yang mengalami sakit perut ketika cuaca berubah mendung.
Konyol?
Nggak juga.
Itulah fobia , dan itu persoalan serius. Butuh bantuan ahli untuk mengatasinya.
Sebut saja seseorang yang wajahnya memerah, tangannya gemetar, keringat dingin mulai mengucur ketika melihat ada kardus bertuliskan merek donat di atas meja rapat yang sedang dikerubungi rekan-rekan kerjanya. Ia langsung ngibrit meninggalkan ruang kantor.
Ia sangat takut pada donat. Perasaan takut dan jijik langsung meluap setiap kali melihat kue dengan lubang di tengah itu. .
Ada lagi kasus yang dialami ,Michelle
Ia selalu dicekam ketakutan tiap kali langit gelap karena mendung. Benaknya mendadak dibanjiri bayangan kejadian alam yang bisa terjadi di luar kendalinya.
Mendung itu berpotensi hujan badai, bahkan rasanya juga seperti tanda-tanda kiamat,
Ia baru lega ketika akhirnya hujan turun dengan biasa, tanpa angin kencang dan petir.
Mendung gelap amat berdampak pada aktivitas Michelle sehari-hari.
Tiap kali langit mendung, ia berdebar-debar, kesulitan berkonsentrasi, juga kehilangan fokus ketika diajak berbincang oleh orang lain.
Perutnya juga selalu bereaksi buruk tiap kali langit gelap, ia mendadak buang-buang air dan sama sekali kehilangan selera makan.
”Aku jadi seperti enggak bisa berpikir, enggak produktif banget tiap kali tahu kalau langit di luar rumah atau kantor sedang mendung. Mungkin kalau aku jadi pegawai, musim hujan yang banyak mendung bisa bikin aku dipecat,” ujar Michelle.
Ya, fobia bisa disebabkan oleh sesuatu yang terjelaskan, tapi bisa juga oleh sesuatu yang tidak spesifik.
Ini penyebabnya jelas.
“Tetapi, ada juga fobia yang penyebabnya tidak spesifik, seperti takut melihat paruh ayam, mata kucing, dan lainnya. Pokoknya takut,” kata Dio Martin yang mendalami terapi neuro-linguistic programming untuk menangani kasus-kasus fobia.
Menurut Dio Martin, fobia bisa disembuhkan, namun penyembuhannya tidak bisa melalui konseling, tetapi harus melalui terapi, karena fobia berhubungan dengan proses di otak.
”Banyak yang menganggap fobia bisa disembuhkan sendiri. Ini sulit dilakukan karena yang bersangkutan tidak bisa menolong dirinya sendiri. Jadi harus dengan bantuan tenaga profesional,” kata Dio Martin.
Tak sedikit penderita fobia yang enggan diterapi karena ”malu” dan menganggap persoalan yang dihadapinya sepele.
”Padahal, fobia itu tidak ada yang konyol. Apalagi kalau sudah sampai mengganggu aktivitas dan berdampak pada kebahagiaan hidupnya. Itu butuh terapi. Jangan sampai potensi untuk khawatir tidak beralasan itu kemudian merembet kepada hal lain,” katanya