Salah satu stereotipe wanita adalah terlalu pemikir dalam segala hal, sehingga terkesan peragu dan penakut dibanding pria.
Dalam survei terbesar tentang gambaran otak berbasis gender yang pernah dilakukan, ilmuwan menemukan otak perempuan lebih aktif dibanding pria.
Khususnya pada korteks serebral—terkait dalam pengendalian dan fokus impuls dan di area emosional otak—terkait dengan suasana hati dan kecemasan. T
api pada bagian terkait visual dan koordinasi—otak pria lebih aktif.
Hal tersebut bisa menjelaskan mengapa wanita memiliki risiko penyakit Alzheimer yang jauh lebih tinggi, depresi—yang merupakan faktor resiko Alzheimer—dan gangguan kecemasan.
Sementara pria memiliki tingkat gangguan konsentrasi dan pemusatan perhatian yang lebih tinggi.
Penulis laporan Daniel Amen, seorang psikiater dan pendiri Amen Clinics di California, mengatakan: “Perbedaan kuantitatif yang kami identifikasi antara pria dan wanita penting untuk memahami resiko berdasarkan gender terkait gangguan otak seperti penyakit Alzheimer.”
Amen dan timnya mengamati pemindaian otak dengan berbagai kondisi kejiwaan termasuk trauma otak, gangguan bipolar, gangguan mood, skizofrenia dan attention deficit hyperactivity disorder
Mereka melihat daerah otak untuk menentukan bagian mana yang lebih aktif pada awal dan selama pengerjaan tugas.
Peneliti mengukur aliran darah di otak mereka dengan menggunakan single computed tomography computed tomography ketika responden dan pasien mengerjakan tugas kognitif.
Amen dan tim berharap bahwa memahami perbedaan di antara pengamatan masing-masing individu dapat membantu mereka memahami berbagai gangguan otak.
Fakta bahwa wanita menunjukkan aliran darah yang lebih besar di korteks prefrontal dibandingkan pria mungkin menjelaskan mengapa wanita menunjukkan kecenderungan yang lebih besar di bidang empati, intuisi, kerjasama, pengendalian diri dan perhatian yang tepat.
Studi ini juga menemukan peningkatan aliran darah di daerah limbik otak wanita, yang sebagian dapat menjelaskan mengapa wanita lebih rentan terhadap kecemasan, depresi, insomnia dan gangguan makan.
Sebagian besar orang berharap ingatan dia tetap tajam hingga tua.
Namun, tahukah Anda bahwa ingatan kita justru mencapai puncak di usia muda?
Berdasarkan penelitian terbaru yang diterbitkan di Jurnal Sage, kekuatan otak dalam memproses dan puncak ingatan terjadi saat kita berusia delapan belas tahun.
Untuk mengetahui puncak pada fungsi otak yang berbeda, tim peneliti bertanya pada ribuan orang yang berusia sepuluh hingga sembilan puluh tahun.
Tes tersebut mencakup kemampuan untuk mengingat daftar kata-kata, mengenali wajah, mempelajari nama dan kemampuan matematika.
Dalam beberapa aspek otak Anda mungkin telah melewati puncaknya, namun para ilmuwan menemukan bahwa selalu ada puncak baru. Kosa kata, misalnya, mencapai puncaknya di usia enam puluh tujuh, sedangkan kemampuan matematika Anda mencapai puncaknya pada usia lima puluh.
Salah satu peneliti dari The Massachusetts Institute of Technology, Joshua Hartshorne, mengatakan kepada Business Insider: “Hampir pada usia tertentu, kebanyakan dari kita semakin baik dalam beberapa hal dan lebih buruk pada orang lain.”
Joshua menambahkan mungkin tidak ada usia khusus kemampuan otak kita berada di posisi terbaik dalam semua hal.
Stres mungkin penyebab dari berbagai hal buruk yang terjadi pada kesehatan, terutama kesehatan mental. Bukan cuma itu, berteman akrab dengan stres juga membuat otak lebih tua beberapa tahun.
Tiap orang memiliki tingkat stres berbeda-beda.
Yang perlu diwaspadai adalah stres besar yang dialami saat kita berusia muda, misalnya saja perceraian, kematian, atau bahkan pindah sekolah, karena dapat mempengaruhi fungsi kognitif di kemudian hari.
Tim dari University of Wisconsin School of Medicine and Public Health meneliti data orang yang melaporkan mengalami stres selama masa hidup mereka dan menjalani tes neuropsikologis untuk mengukur kemampuan berpikir dan ingatan mereka.
Peserta rata-rata berusia lima puluh delapan tahun dengan tingkat stress tinggi seperti kehilangan pekerjaan, kematian anak, perceraian, atau tumbuh dengan orangtua pemabuk dan pengguna narkoba.
Tes tersebut meneliti beberapa area, antara lain ingatan langsung, pembelajaran verbal dan ingatan, pembelajaran visual dan ingatan, serta kemampuan menceritakan kembali.
Hasilnya menunjukkan bahwa stres berat berkaitan dengan fungsi kognitif yang lebih buruk di kemudian hari. Studi ini dipresentasikan di Alzheimer’s Association International Conference di London.
Dr. Maria Carrillo, kepala peneliti Alzheimer’s Association, mengatakan peristiwa-peristiwa stres yang dipusatkan para peneliti sangat beragam, mulai dari kematian orangtua, pelecehan, kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah, kemiskinan, tinggal di lingkungan yang kurang beruntung, hingga perceraian.
Ketika melihat secara khusus orang Afrika Amerika, ternyata mereka mengalami 60 persen kejadian yang lebih berat daripada orang Kaukasia selama masa hidup mereka.
Peneliti mengatakan, pada orang Afrika-Amerika, setiap pengalaman stres setara dengan kira-kira empat tahun penuaan kognitif. Dengan kata lain, penuaan di otak terjadi lebih cepat dari seharusnya.
Dr. Doug Brown, peneliti bidang Alzheimer mengatakan, kecemasan dan depresi juga dianggap berkontribusi terhadap risiko demensia.
Stres dalam jangka panjang memicu efek inflamasi atau peradangan pada sel-sel tubuh. Kondisi ini dianggap mempercepat timbulnya demensia.
Para ahli percaya bahwa gaya hidup dan pola makan sehat dapat membantu mengurangi risiko ini, bahkan bagi orang-orang yang mengalami peristiwa stres.