Laman media “the conversation” hari ini, Kamis, 08 Maret, menurun tulisan tentang dampak buruknya media sosial terhadap kesehatan mental.
Menurut tulisan itu, selain untuk berkomunikasi jarak jauh, media sosial memenuhi begitu banyak kebutuhan sosial manusia.
Mengekspresikan perasaan dan mengabarkan aktivitas keseharian lewat status merupakan hal lain yang membuat banyak orang rajin menggunakan media sosial.
Namun media sosial memiliki pengaruh yang dipandang buruk terhadap kesehatan mental.
Jejaring sosial Facebook, bahkan, sempat mengaku dalam sebuah tulisan yang diunggah di webnya bahwa media sosial bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental.
Orang-orang yang mendapat dampak negatif dari media sosial biasanya adalah pengguna-pengguna pasif.
Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, Facebook menyarankan para pengguna pasif untuk memperbanyak jumlah interaksi di jejaring sosial tersebut.
Departemen Pendidikan Inggris juga menemukan bahwa kesehatan mental remaja perempuan semakin menurun, dengan media sosial sebagai salah satu penyebabnya.
Hal ini diperparah dengan tingkat kepuasan publik yang rendah terhadap pelayanan kesehatan mental di negara tersebut.
Semakin hari, semakin banyak orang meninggalkan praktisi kesehatan mental mereka karena merasa tidak mendapat dukungan yang dibutuhkan.
Waktu menunggu konseling yang lama dan praktisi-praktisi kesehatan mental yang terlalu bergantung kepada obat-obatan juga merupakan alasan lain semakin banyak orang berhenti pergi ke klinik untuk mengatasi masalah kesehatan mental mereka.
Akibatnya, sebut suatu studi, orang-orang ini berpaling kepada media sosial untuk menceritakan keluh kesah dan mencari dukungan yang tidak mereka dapat dari praktisi kesehatan mental.
“Semakin banyak orang berpaling ke platform-platform (media sosial) ini untuk meminta bantuan,” tulis pemimpin studi dan Asisten Riset dari Manchester Metropolitas Televisy Kim Heyes.
Memang, menceritakan keluh kesah di media sosial bisa membantu meningkatkan kesadaran publik mengenai kesehatan mental itu sendiri.
Tahun lalu, penyanyi Irlandia Sinead O’Connor sempat mempublikasikan sebuah video di media sosialnya dimana ia bercerita mengenai kondisi kesehatan mentalnya.
Dengan mempopulerkan hashtag #OneOfMillions, O’Connor berhasil memantik berbagai diskusi dan menyebarkan pemahaman yang lebih baik kepada publik.
Selain itu, media sosial juga memiliki potensi untuk menjadi wadah jejaring yang bisa dimanfaatkan orang-orang dengan penyakit kesehatan mental untuk saling berbagi dan memberi dukungan.
Namun di sisi lain, menceritakan keluh kesal di media sosial juga dapat memicu berbagai reaksi yang tidak diharapkan, menurut Heyes.
Orang yang ‘curhat’ tersebut bisa dinilai sebagai suka mengeluh dan terlalu banyak membagikan detail-detail kehidupan di media sosial.
Seorang partisipan di penelitian Heyes bahkan mendapat respon negatif setelah ia bercerita tentang kondisi mentalnya di media sosial. “Facebook bukanlah tempat untuk hal-hal seperti ini,” tulis teman partisipan tersebut.
Cerita-cerita bernada sedih juga dapat mengundang cyber bullying, membuat orang yang mengunggahnya merasa semakin terisolasi.
Selain itu, mengunggah informasi ke media sosial mengenai kegiatan keseharian dan informasi personal telah dikaitkan dengan penurunan kesempatan kerja di masa mendatang.
“Merupakan hal yang realistis untuk membayangkan bahwa atasan-atasan kita di saat ini dan di masa mendatang bisa melihat riwayat kesehatan mental kita jika kita mengunggahnya,” ucap Heyes.
Bercerita di media sosial mengenai keluh kesah pribadi memang memiliki dampak positif dan negatifnya sendiri.
Heyes percaya bahwa selama konsultasi dengan praktisi kesehatan mental sudah dilakukan, menggunakan media sosial untuk ‘curhat’ tidak terlalu buruk.