Perkawinan seumur hidup?
Ya, tak mudah untuk didapatkan walau didambakan setiap pasangan
Perlu perjuangan dan kemauan bersama suami-istri untuk terus memeliharanya dari tahun ke tahun.
Meskipun didasari oleh rasa saling menyayangi dan menghargai, dalam realitanya cukup banyak pernikahan yang akhirnya kandas di tengah jalan.
Dilansir dari situs Psychpage, disebutkan bahwa perceraian yang terjadi pada usia pernikahan lima hingga tujuh tahun biasanya disebabkan oleh konflik yang sangat intens.
Pernah dengar istilah “the seven years itch”?
Inilah yang disebut tujuh tahun yang membuat “gatal”. Setelah bertahun-tahun bersama, suami istri memang mulai menemukan pola dan ritme perkawinan yang semakin jelas.
Namun demikian, keinginan masing-masing yang sudah terbaca dan kedekatan secara fisik serta emosional ini belum menjamin bahwa kemesraan dan keintiman tetap berlanjut.
Setelah tujuh tahun berpasangan, banyak suami-istri yang mulai terjebak dalam rutinitas berumah tangga. Suami dan istri juga mulai sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Ibu mengurusi anak-anak yang mulai masuk sekolah dan tumbuh besar, ayah juga sibuk berkutat dengan kariernya yang semakin menjanjikan.
Belum lagi tuntutan kebutuhan keluarga yang semakin besar, membuat ayah semakin sibuk dengan pekerjaan tambahan yang bisa menghasilkan uang.
Semua itu membawa konsekuensi dalam hubungan perkawinan. Karena masing-masing sibuk, waktu untuk berduaan semakin berkurang.
Akibatnya, keintiman jadi terancam. Yang lebih mengkhawatirkan, karena masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri dan semua hal berjalan rutin, hubungan intim semakin dilihat hanya sebagaihal rutin untuk pemenuhan kebutuhan biologis saja.
Bukan lagi ekspresi kemesraan dan kasih sayang. Kalau tak hati-hati, masing-masing pihak bisa merasa gerah dan gatal, seperti orang yang terperangkap.
Sedikit godaan saja atau melihat hal-hal baru yang lebih menggairahkan di luar rumah, bisa membuat komitmen terancam.
Itu sebabnya banyak affair atau perselingkuhan yang terjadi setelah 5 atau 7 tahun perkawinan.
Pasangan berusaha keluar dari hal-hal yang membuatnya jenuh. Di antaranya, menjalin hubungan dengan orang yang sama sekali baru.
Untuk menjaga agar gairah dan keintiman tetap menyala, lakukan bulan madu kedua, revisi kembali hubungan perkawinan dan pola keintiman apa yang bisa diterapkan, sesuai dengan usia perkawinan.
Jangan berharap terlalu berlebihan bahwa dalam waktu singkat semuanya akan berubah seperti pengantin baru.
Yang penting adalah keinginan untuk tetap berkomitmen dan memperbarui kemesraan.
Sementara itu, perceraian yang terjadi di usia sepuluh hingga dua belas tahun pernikahan biasanya disebabkan oleh menurunnya hubungan dan keintiman pasangan.
Ada beberapa penyebab perceraian pada pasangan yang sudah menikah selama satu dekade.
Stan Tatkin yang menulis buku Wired for Love menyebutkan bahwa perceraian kerap kali terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan semakin banyaknya perbedaan dan keretakan diantara pasangan.
Berbagai perbedaan ini akhirnya semakin meruncing dan mencapai masa kritis yang akhirnya diselesaikan dengan perceraian.
Pakar psikologi dan mental bernama Steve Siebold menyebutkan bahwa rasa bosan pada pasangan ternyata bisa menyebabkan perceraian.
Bagi mereka yang hidup dengan rutinitas yang itu-itu saja setiap hari dengan pasangannya, maka rasa bosan bisa muncul dan membuat mereka ingin menjalani kehidupan baru. Salah satu cara untuk mendapatkan kehidupan baru tersebut adalah dengan bercerai.
Masalah ekonomi yang berat ternyata bisa berujung pada perceraian.
Sebagai contoh, ada pasangan yang menuntut pemasukan yang lebih besar atau kecewa dengan cara mengatur pengeluaran bulanan yang tidak karuan.
Hal ini bisa berujung pada pertengkaran hebat yang akhirnya menyebabkan perceraian.
Setelah sepuluh tahun, pasangan akan mengalami perubahan hormon bisa memicu penurunan gairah seksual.
Mengingat seks memiliki peran besar dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, hal ini tentu akan bisa meningkatkan resiko perceraian.
Pada tahun kelima belas, secara emosi dan fisik, kedekatan suami-istri semakin kuat. Banyak masalah yang sudah bisa diselesaikan, misalnya rumah sudah terbeli dan keuangan keluarga sudah mapan.
Tapi tantangan berikutnya muncul di tahun ini. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, problem yang lebih banyak muncul adalah kejenuhan. Ditambah juga kebersamaan keluarga yang semakin berkurang.
Misalnya, anak-anak yang memasuki praremaja, mulai lebih banyak bergaul di luar rumah, dan sibuk dengan urusan sekolah. Ayah berada pada puncak kariernya, begitu pula ibu yang bekerja.
Tak heran jika di tahun-tahun awal mudah membuat janji untuk makan malam bersama pasangan di restoran yang romantis, kini malah susah. Sulit memintanya meluangkan waktu untuk bermesraan karena kesibukannya.
Perubahan fisik masing-masing pihak, misalnya bentuk tubuh semakin melebar atau kerut di wajah semakin kentara, juga melahirkan kecemasan tersendiri. Masing-masing merasa tidak lagi menarik dan seksi di mata pasangannya.
Rasa minder lalu timbul. Kekhawatiran pasangan tak lagi bergairah, bisa berakibat ke hubungan intim.
Kebanyakan rasa minder ini diwujudkan dengan menolak ketika diajak bermesraan. Padahal, karena masing-masing pihak sudah sekian lama tidur di satu ranjang, pasti sudah mengenal tubuh pasangannya.
Jadi, masalah itu sebetulnya jangan dijadikan penghambat dalam berhubungan intim. Malah karena kedekatan emosional yang semakin kuat, bisa membuat hubungan intim menjadi lebih mantap.
Memang, sih, jangan membayangkan hubungan intim dengan frekuensi yang sama dengan pengantin baru.
Tapi yang harus diingat, bukan lagi jumlah, tapi kualitasnya. Meski dalam satu bulan bisa dihitung dengan jari, lakukan berbagai variasi untuk memberi pembaruan.
Mulailah memberi kejutan-kejutan yang manis, misalnya mengirim SMS pada istri, “Bagaimana kalau malam ini kita ketemu di hotel x dan menghabiskan malam tanpa anak-anak?”
Simone Signoret, penulis terkenal dari Perancis, di salah satu novelnya menulis, “Rantai tidak mengikat perkawinan, melainkan mata rantainya.
Ratusan mata rantai yang dikait setiap hari berdua, yang mengikat terus selama bertahun-tahun. Itulah yang membuat perkawinan bertahan, bukan gairah dan bahkan juga seks!”