“Jangan pernah mengabaikan emosi Anda karena ia akan berdampak buruk bagi kesehatan”
Itulah yang ditulis majalah terkemuka dunia “time” hari ini, Jumat, 02 Maret.
Dan siapa yang sepi dari perasaan emosi.
Ya, perasaan emosi sering dialami oleh banyak orang.
Emosi bisa muncul karena banyaknya tekanan dari pekerjaan, rasa takut kehilangan, marah dan sebagainya.
Bukan hal yang mudah untuk mengatasi emosi yang dirasakan, apalagi berusaha untuk tidak menunjukkan emosi tersebut di depan banyak orang.
Dalam bersosialisasi di masyarakat, seseorang tak diajarkan untuk bekerja dengan emosi, tapi bagaimana menghalangi dan menghindari emosi tersebut.
Untuk menghindari emosi banyak orang yang melampiaskannya dengan mengonsumsi alkohol atau obat-obatan tertentu.
Namun, menghindari emosi tidak baik untuk kesehatan mental dan fisik. Sama halnya dengan menekan gas dan rem mobil secara bersamaan.
Frank, salah satu pasien yang merasa terganggu dengan emosinya karena tidak mampu membeli jenis mobil yang benar-benar dia inginkan.
Emosinya membuat Frank merasakan kesedihan, kemarahan, penghinaan dan kecemasan dalam dirinya.
Emosi yang dirasakan juga menimbulkan gejala fisik, Frank merasa sakit pada bagian perutnya. Ia tidak sadar bahwa hal tersebut terjadi akibat emosi.
Sampai akhirnya Frank menjalani terapi, ia belajar mengenali emosi di tubuhnya.
Bagaimanapun, emosi merupakan hal yang wajar dan seharusnya tidak dihindari.
Ketika pikiran mencoba menggagalkan emosi yang berlebihan, otak akan memberi tekanan pada pikiran dan tubuh yang menimbulkan tekanan pada psikologis.
Bukan hanya penyakit mental, menahan emosi juga bisa menimbulkan masalah fisik seperti penyakit jantung, masalah usus, sakit kepala, insomnia, dan gangguan autoimun.
Para ahli saraf mengatakan, semakin banyak seseorang mengalami emosi, maka semakin banyak kecemasan yang mereka rasakan.
Emosi dipicu di otak tengah yang mengirimkan sinyal ke jantung, paru-paru, dan usus. Sinyal tersebut akan mempersiapkan tubuh untuk melakukan tindakan dalam upaya bertahan hidup.
Frank akhirnya berhasil menyembuhkan rasa sakit perutnya dengan membiarkan dirinya menunjukkan kesedihan, ia juga meratapi kehilangan karena tidak dapat memiliki mobil tersebut.
Rasa penghinaan yang dirasakannya dihadapi oleh Frank dengan menerapkan rasa belas kasih.
Agar emosinya tidak kembali timbul secara berlebihan, Frank mencoba belajar keterampilan khusus untuk melepaskan kemarahannya.
Tentunya dengan cara yang sehat dan tidak merusak dirinya sendiri atau orang lain.
Sebab, ketika ia dapat mengenali emosi dan mampu menghadapinya kita akan merasa jauh lebih baik.
Dengan begitu pikiran tidak akan mengirimkan sinyal ke tubuh yang membuat tubuh menjadi sakit.
Ketika emosi tidak dikeluarkan, energi negatif hasil dari emosi tidak pergi dari tubuh dan akan tertahan dalam tubuh.
Energi negatif yang seharusnya dikeluarkan menjadi tersimpan dalam tubuh dan dapat mengganggu fungsi organ tubuh, termasuk otak. Berikut ini beberapa bahaya memendam emosi bagi kesehatan:
Energi akibat dari emosi merupakan energi yang tidak sehat bagi tubuh.
Energi dari emosi yang ditekan bisa menjadi penyebab dari tumor, pengerasan arteri, kaku sendi, serta melemahkan tulang, sehingga hal ini dapat berkembang menjadi kanker, melemahkan sistem kekebalan tubuh, dan membuat tubuh rentan terhadap penyakit.
Memendam emosi juga membawa pengaruh buruk bagi kesehatan fisik dan mental.
Penelitian yang diikuti selama dua belas tahun menunjukkan bahwa orang yang sering memendam perasaannya memiliki kemungkinan mati muda setidaknya tiga kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang terbiasa mengekspresikan perasaannya.
Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Psychosomatic Research ini menemukan bahwa memendam emosi dapat meningkatkan risiko kematian karena penyakit jantung dan juga kanker
Penelitian ini juga turut membuktikan penelitian sebelumnya yang menghubungkan antara emosi negatif, seperti marah, cemas, dan depresi, dengan pengembangan dari penyakit jantung
Orang yang terbiasa memendam emosinya akan membawa pikiran negatif dalam tubuh yang dapat mengganggu keseimbangan hormon.
Hal ini meningkatkan risiko penyakit yang berhubungan dengan kerusakan sel, seperti kanker.
Risiko kesehatan meningkat ketika seseorang tidak mempunyai cara mengekspresikan perasaannya.
Dalam kasus apapun, para peneliti memperingatkan bahwa emosi yang tertahan dalam tubuh dan pikiran dapat menyebabkan masalah kesehatan fisik dan mental yang serius dan bahkan kematian dini.
Beberapa ahli menyarankan untuk dapat mengutarakan emosi yang dirasakan, terutama emosi yang menyedihkan, agar kesehatan mental tetap terjaga. Marah dapat membantu mengurangi dampak negatif dari stres.
Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi dan kerentanan terhadap inflamasi atau peradangan.
Peneliti Finlandia melaporkan bahwa orang-orang dengan diagnosis ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi, juga dikenal sebagai Alexythymia, memiliki kadar zat kimia inflamasi, seperti protein C-reaktif sensitivitas tingg dan interleukin, yang lebih tinggi dalam tubuh. CRP merupakan penanda inflamasi untuk jantung koroner.
Studi lainnya yang dilakukan oleh Middendorp, et al. pada penderita rheumatoid arthritis menemukan bahwa orang-orang yang didorong untuk bertukar perasaan dan mengekspresikan emosi akan memiliki kadar penanda inflamasi dalam darah yang lebih rendah dibandingkan mereka yang memendam perasaan mereka untuk diri mereka sendiri.
Pada delapan tahun silam sebuah studi yang dilakukan pada seratus dua puluh empat siswa menemukan bahwa situasi sosial di mana orang merasa dihakimi atau ditolak meningkatkan kadar dua bahan kimia pro-inflamasi, yaitu interleukin-6 dan tumor necrosis factor-alpha yang sering ditemukan pada penyakit autoimun.
Hasil sebaliknya ditemukan pada penelitian yang menunjukkan bahwa orang-orang yang bahagia memiliki kadar zat kimia inflamasi yang lebih rendah.
Sebuah studi delapan tahun lalu yang diterbitkan dalam Journal of Association for Psychological Science, menemukan bahwa pendekatan kehidupan dengan sikap positif adalah penawar yang kuat terhadap stres, nyeri, dan penyakit.
Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa memendam emosi dapat memicu penyakit dalam tubuh.
Zat penanda inflamasi ditemukan lebih tinggi pada orang-orang yang tidak bisa mengekspresikan emosi mereka. Inflamasi sendiri dapat terjadi di beragam penyakit, seperti penyakit jantung, artritis, asma, dementia, osteoporosis, irritable bowel syndrome , dan beberapa jenis kanker.
Oleh karena itu, orang yang tidak bisa menyalurkan pikiran dan perasaannya dapat terserang berbagai macam penyakit.
Memendam emosi bukanlah jalan keluar untuk masalah Anda. Anda perlu mengeluarkan dan mengekspresikannya untuk mengurangi beban pikiran dan mental Anda.
Memendam emosi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan efek negatif pada kesehatan fisik dan mental Anda. Oleh karena itu, Anda harus tahu bagaimana cara menangani emosi Anda.
Jujur pada diri sendiri. Bukan berarti Anda harus mengekspresikan semua perasaan Anda setiap waktu, tetapi dalam berbagai situasi Anda dapat mengatakan kepada diri sendiri apa yang sebenarnya Anda rasakan. Jangan menyembunyikan dan mengelakkan perasaan Anda sendiri.
Ketahui apa yang sedang Anda rasakan. Terkadang Anda tidak mengetahui apa yang sedang Anda rasakan. Kenali perasaan yang Anda rasakan pada diri Anda dan renungkan apa yang menyebabkan mereka.
Bicarakan perasaan Anda dengan orang lain. Jika Anda sedang emosional, bicarakan apa yang Anda rasakan dan pikirkan dengan orang lain. Hal ini dapat membantu membuat Anda lebih tenang.
Jadilah seorang pengamat. Anda harus mengetahui kapan sebaiknya Anda dapat mengeluarkan emosi Anda. Tidak di setiap waktu dan di sembarang tempat Anda bisa mengekspresikan emosi Anda.
Terkadang Anda harus menahannya sebentar dan mengeluarkannya di waktu yang tepat. Jika Anda tidak mampu menahannya, tarik napas dalam-dalam dan ubah posisi tubuh Anda. Hal ini dapat membantu menenangkan Anda.