Dua pekan lalu saya dapat postingan foto dan teks whatsappp dari seorang kakak.
“Saya sudah di bandara sulthan iskandar muda,” katanya yang disertai empat gambar selfie khas gayanya yang labeli jakarta. Moderns. Seperti selfie-nya gaya heboh ciatayam fashion week
Saya hanya membalasnya dengan kata: oooo….ya
Balasan kata yang ndhak antusias. Biasa saja.
Hingga hari-hari berikutnya sang kakak terus menggeber aplikasi whatsapp saya dengan celoteh disertai foto tentang keberadaannya.
Di warung mie razali, di ayam tangkap blang bintang, di nasi gurih buk ros. Dan entah dmana lagi yang saya tak bisa menghafal dan menulisnya.
Yang kalau saya lanjutkan bisa ke kenun kurma, krueng raya pantai lampuuk. Itu baru sedikit dari berjubelnya tempat persinggahannya.
Bahkan, beberapa hari terakhir, ketika dia mudik ke kampung di belahan bumi selatan aceh sepanjang perjalanan saya terus digodanya lewat kalimat-kalimat bombas disertai foto-foto berlatar belakang hutan cemara, pantai berpasir putih, tebing-tebing batu cadas.
Foto lhok seudu, pendakian paro, kaki dan puncak geureute hingga pantai rigah, panga dan entah apa lainnya. Semuanya panorama yang ndhak bisa didustakan keindahannya.
Guman saya: “nikmat Allah mana lagi yang engkau dustakan.”
Seperti nikmat mudik kakak saya yang memang tak bisa didustakan. Nikmat yang tidak harus di suasana sendu lebaran yang membuat rindu kampung halaman.
Nikmat yang membuat Anda dan saya, juga kakak saya, tersedot pada kenangan masa lalu. Dugaan saya demikian pula terjadi pada banyak orang di kota yang tidak pernah mendapat kebahagiaan.
Fenomena mudik ini juga menunjukkan bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh perjalanan waktu.
Ini fenomena antropologis universal. Punya aspek psikologis. Semua agama dan bangsa punya event tertentu untuk saling bertemu
Setiap saat kerinduan kepada kampung halaman selalu diobati dengan mudik.
Ini adalah fenomena sosial yang menarik sebagai makhluk sosial, rindu kepada asal usulnya di kampung halaman. Oleh karena itu, tantangan berat yang dihadapi untuk pulang kampung, tidak menjadi persoalan, mereka tetap melakoni dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan.
Mudik merupakan peristiwa budaya juga kewajiban sosial yang perlu dilakukan terhadap keluarga, saudara, juga tetangga.
Keterikatan sosial tersebut merupakan rangkaian peristiwa budaya yang sampai saat ini masih mentradisi pada semua lapisan masyarakat.
Tentang nikmat mudik ini saya tak bisa melupakan seorang Umar Kayam. Kayam yang budayawan. Yang menyebutnya sebagai “kebudayaan ulang-alik”.
Umar Kayam yang juga seorang penulis dan akademisi. Dikenal sebagai guru besar fakultas sastra gajah mada. Kayam terkenal karena novelnya, para priyayi, dan kumpulan esainya terbit di Tempo tempat saya pernah berkiprah.
Ia sangat terkenal ketika anak-anak sekolah diwajibkan menonton film pengkhianatan g-30s-pki-di pertengahan tahun delapan puluh karena perannya sebagai sosok soekarno. Film yang disutradarai sahabatnya, Arifin c noer.
Menurutnya, kegamangan menghadapi dunia modern membawa manusia kembali ke akar tradisinya. Proses ulang-alik tersebut melahirkan anyaman yang terbentuk dari serat-serat kebudayaan.
Mudik sebenarnya adalah bentuk kebutuhan psikologis.
Dimana timbulnya dorongan keinginan dan kerinduan yang kuat untuk pulang menapak tilas tempat lahir dan tempat yang menyimpan memori dan masa tumbuh kembang sebagai anak-anak hingga dewasa.
Anda pasti tak akan membantah bahwa serat-serat kebudayaan itu adalah tegangan antara masa kini dan masa lalu. Itulah jati diri kita.
Tanpa perlu konseptualisasi muluk-muluk, setiap orang menyimpan tegangan tersebut dalam diri masing-masing. Ada masa lalu yang ingin mereka rawat, pelihara, ziarahi.
Anda, mungkin, termasuk orang beruntung. Masih memiliki ayah, ibu, nenek, sanak saudara, rumah pusaka, dan lain-lain di mana jejak masa lalu memberikan wujudnya yang konkrit.
Menasihati diri agar sabar, meski kesabaran makin pendek seiring kesadaran bahwa waktu kita kian pendek. Banyak saudara, teman dan entak siapa lagi telah mendahului.
Ketika sampai di penggalan tulisan ini saya menekuk. Berbisik dengan diri sendiri. Lantas saya mendesiskan kalimat ini dalam tulisan: sejatinya yang kita takutkan bukanlah kehilangan masa depan, tapi masa lalu.
Itulah sebabnya dari dulu saya skeptis terhadap misalnya khotbah para motivator, agar bersemangat menentukan target masa depan. Masa depan yang hitungannya triliunan. Satu, dua, tiga, empat dalam rentang waktu pendek. Dua pekan.
Jangan percaya. Mana mungkin. Tidak ada jalan kebudayaan seperti itu, hanya jalan korupsi yang memungkinkannya.
Bukit yang saya rindukan bukan bukit digital masa depan, tapi bukit kecil, sebutannya gumuk, di atasnya terdapat makam pepunden, dan dari situ dulu desa kami lahir, lama-lama menjelma jadi kota.
Penghormatan terhadap masa lalu, sejarah, museum, situs-situs kuno, dan semacamnya adalah refleksi dari keinginan manusia untuk menjaga, memelihara, dan mengembangkan peradaban.
Bagi penguasa, merawat masa lalu, selain tidak boleh buta sejarah, juga harus ingat pada janji yang pernah diucapkan.
Lunasi dan pertanggungjawabkan janji-janji kalian. Jangan tambahi dengan janji-janji masa depan. Banyak yang sudah tidak percaya lagi.
Termasuk saya. Yang hanya percaya dengan janji langit.
Janji ketika awan hitam bisa menjatuhkan air. Bisa juga tidak walaupun jegala menutup langit.