Orang cerdas lebih mudah terdistraksi?
Ya! Begitu kesimpulan hasil sebuah penelitian terbaru GlobalWebInde yang dirilis Jumat, 22 Januari 2016.
Penelitian itu menguak bahwa orang cerdas ternyata lebih mudah terdistraksi saat bekerja di kantor.
Padahal, mereka tentu saja orang-orang yang lebih unggul dibanding pekerja lain.
Meningkatnya akses pada penggunanaan teknologi digadang-gadang menjadi salah satu sebab pekerja kantoran sulit fokus dalam bekerja.
Hal ini menyebabkan waktu kerja tidak digunakan secara efektif dan dapat berimbas pada waktu lembur atau tugas kantor yang dibawa ke rumah.
Penelitian dari GlobalWebIndex, mengatakan rata-rata waktu yang dihabiskan seseorang untuk mengakses gadget-nya telah meningkat dua ratus persen sejak empat tahun terakhir.
Pengguna smartphone di Inggris rata-rata memeriksa ponsel mereka setiap hari dan pekerja kantor rata-rata memeriksa e-mail mereka sekitar puluhan kali per jam.
Tak hanya itu, ide-ide cerdas yang kemudian sering bermunculan dengan sendirinya di otak berbakat mereka juga bisa menjadi sebab sulitnya berkonsentrasi.
Karena banyaknya ide-ide cerdas tadi, pekerja cerdas menjadi bimbang untuk menentukan ide mana yang akan ia terapkan pada pekerjaannya.
“Mereka memilliki perasaan pesimis dan ketidakmampuan untuk menangani beban kerjanya secara keseluruhan,” ujar seorang psikiater Ned Hallowell dikutip dari Telegraph.
Hallowell juga menjelaskan bahwa otak tercerdas pun pada akhirnya dapat gagal juga. Para pekerja cerdas akan gagal atas potensi yang dimilikinya sendiri dan harapan yang diberikan oleh atasan mereka.
Studi kesejahteraan tersebut diadakan oleh Steelcase—sebuah perusahaan solusi kerja yang menganalisa temuan ahli saraf dan peneliti kognitif.
University of California menunjukkan bahwa pada akhirnya para pekerja kantor rata-rata dapat terdistraksi setiap tiga menit.
Selain pengaruhnya terhadap destriksi, Anda perlu juga tahu apa yang membuat manusia cerdas
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang lain dan berbagai sarana mempengaruhi kekuatan otak manusia sama halnya seperti pikiran manusia itu sendiri.
Kita suka berpikir bahwa inteligensi kita buat dengan sendiri, itu terjadi di dalam otak kita, produk dari pikiran batin kita sendiri.
Tapi dengan kemunculan Google, Wikipedia dan sarana online lainnya banyak orang mempertanyakan dampak dari teknologi tersebut terhadap otak kita.
Lantas bagaimana kita berusaha untuk mendefinisikan kecerdasan?
Dan jawabannya cukup menarik.
Karena ketika Anda melihat bukti dari sebuah penelitian psikologi, hal tersebut menunjukkan bahwa banyak aspek dari kecerdasan kita berasal dari bagaimana kita berkoordinasi dengan orang lain dan lingkungan kita.
Sebuah teori yang berpengaruh di kalangan psikolog mengatakan bahwa manusia pelit secara kognitif.
Artinya kita enggan untuk melakukan pekerjaan yang mengharuskan kita untuk berpikir kecuali jika kita terpaksa.
Kita mencoba untuk menghindari berpikir terutama jika terdapat jalan pintas untuk mengetahui sesuatu.
ika Anda pernah memilih kandidat politik berdasarkan senyum yang paling jujur, atau memilih restoran berdasarkan berapa banyak orang yang sudah duduk di sana, maka Anda sudah menjadi orang yang pelit secara kognitif.
Teori ini menjelaskan mengapa kita lebih suka mengetik kode pos ke dalam mesin pencari atau Google Maps ketimbang menghafal dan mengingat lokasi tempat – sebab itu jauh lebih mudah.
Penelitian menunjukkan bahwa orang cenderung tidak mengandalkan ingatan mereka untuk hal-hal yang dapat mereka akses dengan mudah.
Hal-hal yang umum kita jumpai, yang dapat berubah dengan cukup radikal tanpa orang sadari.
Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa bangunan entah bagaimana bisa hilang dari gambar yang kita lihat, atau orang yang kita ajak bicara dapat diganti dengan orang lain, dan sering kita tidak melihat ini – fenomena yang disebut “perubahan yang membutakan”.
Ini bukanlah contoh kebodohan manusia – jauh dari itu sebenarnya – ini adalah contoh dari efisiensi mental. Pikiran kita bergantung pada dunia sebagai catatan yang lebih baik dari memori, dan biasanya itu adalah asumsi yang tepat.
Akibatnya, para filsuf mengatakan bahwa pikiran manusia dirancang untuk memperluas dirinya dalam lingkungan.
Begitu banyak sehingga, mereka menjelaskan, pemikiran benar-benar terjadi di lingkungan sebanyak itu terjadi di otak kita.
Sebuah penelitian mengenai memori yang dilakukan oleh Daniel Wegner dari Universitas Harvard memberi contoh dari efek ini.
Berbagai pasangan diminta untuk datang ke laboratorium untuk mengikuti tes mengingat.
Setengah dari para partisipan diminta untuk tetap berada bersama pasangannya, dan setengahnya dipindahkan untuk dipasangkan dengan orang lain yang mereka tidak tahu.
Kedua kelompok kemudian mempelajari daftar kata dan kemudian diuji ingatan mereka mengenai daftar nama tersebut secara individual. Orang-orang yang tetap dengan pasangannya bisa mengingat lebih banyak kata, baik ketika diuji dengan pasangannya maupun sebagai individu.
Apa yang terjadi, menurut Wegner, adalah bahwa orang-orang yang memang berada dengan pasangannya memiliki pemahaman yang baik tentang pasangan mereka.
Karena itu, mereka secara diam-diam membagi pekerjaan di antara mereka, sehingga misalnya, salah satu pasangan akan mengingat kata-kata yang berkaitan dengan teknologi, dengan asumsi yang lain akan mengingat kata-kata yang berkaitan dengan olahraga.
Dengan cara ini, masing-masing pasangan bisa berkonsentrasi pada kekuatan mereka, sehingga secara individual mereka mengungguli orang-orang yang dipasangkan dengan orang asing dan tidak ada pembagian kerja.
Sama seperti Anda mengandalkan mesin pencari untuk mengetahui sebuah jawaban, Anda dapat mengandalkan orang untuk berurusan secara teratur mengenai hal-hal tertentu, mengembangkan sistem bersama dan ini yang disebut Wegner sebagai “ingatan transaktif”.