Hingga saat ini perdebatan mengenai bahaya ganja menjadi kontroversi.
Sebuah penelitian terbaru bahkan menuding tentang berlebihannya menyebut bahaya
Dan hingga kini penggunaan ganja masih menjadi bahan kajian
Tak hanya di negara ini, persoalan legalisasi ganja juga masih jadi pertimbangan banyak negara lain.
Salah satu alasan adalah ganja bisa menjadi sangat adiktif dan mempengaruhi otak, terutama pada remaja. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ganja lebih seratus empat belas kali lebih tidak berbahaya jika dibanding dengan alkohol.
Meski begitu, dampak ganja disebut bisa mempengaruhi otak dan mengubah perilaku seseorang. Namun, sebuah penelitian terbaru menunjukkan hal sebaliknya.
Ganja dianggap punya pengaruh buruk pada otak manusia, terutama remaja.
Tapi sebuah penelitian terbaru menyebut hal ini berlebihan.
Kok bisa?
Seperti ditulis laman media “the independen,” para peniliti mengingatkan perubahan persepsi penggunaan ganja dan lanskap kebijakan yang berkembang terkait hal ini, memahami potensi risiko penggunaan ganja pada kesehatan mental dan fungsi otak merupakan hal yang sangat penting
Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Pennsylvania, AS mengamati enam puluh sembilan penelitian yang menguji dampak merokok ganja pada remaja dan dewasa awal.
Mereka menemukan hanya sedikit bahkan tidak ada bahaya jangka panjang terhadap aktivitas ini.
Temuan yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Psychology tidak melihat adanya dampak kesehatan mental, seperti psikosis.
Para peneliti juga menyebut “dampak besar dan berkelanjutan” pada remaja telah dilebih-lebihkan.
Untuk memastikan temuannya ini, para peneliti juga melihat hasil tes kognitif pada pembelajaran, memori, kecepatan pemrosesan informasi, bahasa, dan keterampilan motorik para pengguna ganja.
Para pesertanya melakukan pengguanaan minimal.
Hasilnya, ditemukan efek “kecil tapi secara statistik signifikan” yang terkait pada pengguna berat atau sering. Meski cukup signifikan secara statistik, tapi efek ini menyusut ketika para pengguna berhenti merokok sebelum melakukan tes.
Tak hanya itu, dalam periode tujuh puluh dua jam, efek ini berhenti seiring penghentian penggunaan hingga tidak ada dampak yang terlihat pada perilaku mereka.
Para peneliti juga tidka menemukan bukti bahwa penggunaan ganja sebelumnya memiliki efek jangka panjang yang lebih serius pada remaja.
“Hasilnya menunjukkan bahwa penelitian sebelumnya tentang dampak besar dan berkelanjutan ganja pada remaja mungkin telah dilebih-lebihkan, terkait defisit kognitif pada penggunaan ganja,” tulis para peneliti.
“Defisit kognitif yang dilaporkan bisa mencerminkan efek residu dari penggunaan akut atau sering,” imbuhnya.
Sebuah penelitian lainnya terhadap pasien kanker di Seattle Cancer Care Alliance, sebuah pusat perawatan kanker di Seattle, Amerika Serikat, menyatakan bahwa hampir seperempat pasien menggunakan ganja medis pada tahun lalu.
Ketertarikan pasien pada ganja medis besar.
Sayangnya, pasien yang ingin tahu lebih banyak tentang penggunan ganja selama masa perawatan tak digubris oleh dokter.
Akhirnya pasien malah beralih mencari infirmasi alternatif yang diragukan kebenaranya secara ilmiah.
Terhadap sembilan ratus pasien kanker, Steven A. Pergram dan koleganya mengajukan sejumlah pertanyaan terkait penggunaan ganja maupun tentang keyakinan mereka terhadap obat.
Pergram mendapati bahwa dua puluh empat persen pasien merupakan pengguna ganja medis aktif.
Artinya, mereka telah menggunakan ganja pada tahun lalu untuk gejala penyakit terkait kanker. Dua puluh satu persen menggunakannya dalam satu bulan terakhir.
Pergram mencatat, jumlah yang didapatkan dari riset dua kali lipat dari survei nasional di Amerika Serikat.
Dari total pengguna aktif, tujuh puluh empat persen menggunakan ganja setidaknya seminggu sekali.
Lima puluh enam persen pasien memakainya sekali sehari, dan tiga puluh satu persen pasien menggunakan beberapa kali dalam sehari.
Pasien kanker menggunakan ganja dengan cara dibakar atau dikonsumsi layaknya makanan. Alasan pasien menggunakan ganja pun beragam.
Tiga perempat pengguna aktif mengaku memakai ganja untuk meredakan gejala fisik, seperti rasa sakit dan mual. Sementara, dua pertiga pasien aktif punya tujuan menggunakan ganja untuk membantu gejala kejiwaan, seperti stress dan gangguan tidur.
Para pasien kanker sendiri tidak mendapatkan informasi yang memadai soal khasiat maupun efek samping penggunaan ganja.