Suami masak, cuci pakaian, bersih-bersih rumah urus anak? Ndaklah. Kenapa? Aneh aja. Itu sepenggal percakapan ringkas tentang sebuah nasihat perkawinan dari seorang ahli “konseling” dengan seorang pasien yang datang untuk sebuah wawasan rumah tangga harmonis.
Sang pasien, berlatar “patriachat,” yang menempatkan pria sebagai “raja” di rumah tangga menganggap masak, cuci pakaian, bersih-bersih dan urus aneh bukan kerjaan lelaki. “Itu mah kerjaan wanita. Biarin aja. Kalau nggak sanggup kerjain cari aja pembantu,” oceh sang pasien kepada ahli “konseling”nya.
Banyak keluarga, dalam hal ini suami istri, tak menyadari sebuah kunci keluarga harmonis adalah kesadaran suami untuk membantu istri menyelesaikan kerjaan rumah tangga. Tapi, dalam struktur budaya keluarga di Indonesia, jarang sekali suami yang bisa melakukannya. Ada pakem dalam perkawinan di Indonesia,apalagi di daerah-daerah yang kultur “patriachat”nya sangat kuat, mengerjakan masak, cuci pakaian dan bersih-bersih rumah adalah hak istri.
Padahal dalam masyarakat kelas menengah barat modern peleburan pekerjaan rumah tangga ini sudah menjadi kultur baru. Sebuah kultur yang menghadirkan harmonis perkawinan.
Menurut para peneliti dari University of Missouri dan Utah State University, pernikahan yang bahagia akan tercapai jika ayah memiliki hubungan yang baik dengan anak-anak, dan dengan suka rela membantu pekerjaan rumah tangga, yang biasanya menjadi kegiatan istri.
Para peneliti menambahkan, pasangan akan bahagia jika mereka saling bekerja sama dalam setiap pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, membagi-bagi tugas belum tentu akan membuat relasi suami-istri berjalan seimbang.
Umumnya, pria akan diserahi tugas-tugas yang berat seperti mengangkat galon minuman, mengganti tabung gas, atau membuang sampah. Sementara perempuan membereskan meja makan, mencuci piring, dan sebagainya. Namun, pembagian seperti ini kadang-kadang bisa menjadi kesalahan.
“(Dari penelitian ini) Kami mendapati bahwa tidak masalah siapa yang mengerjakan apa, tapi seberapa puas orang-orang ini dengan pembagian tugas tersebut. Ketika para istri bekerja sama dengan suami, ternyata mereka lebih puas dengan pembagian tugas tersebut,” papar Erin Holmes, profesor dari Brigham Young University.
Untuk mengetahui apa yang menimbulkan kualitas dalam hubungan pernikahan, para peneliti mengamati bagaimana 160 pasangan menangani pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Kebanyakan dari mereka adalah orangtua berusia 25-30 tahun, dan semua memiliki anak berusia lima tahun atau lebih muda. Memiliki anak-anak yang masih kecil merupakan tahapan yang paling menantang bagi orangtua muda.
Setelah melalui pengamatan yang panjang terlihat bahwa kualitas hubungan ayah dan anak ternyata menjadi satu-satunya faktor paling penting, diikuti dengan kesediaan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga bersama istri. Bagi kaum perempuan, hubungan ayah dan anak yang baik menandakan bahwa orangtua pun kemungkinan akan memiliki hubungan yang baik.
Peneliti mengukur keterlibatan ayah dengan sejumlah cara, seperti bermain dengan anak, menemani hobi yang dijalani anak, dan mengajarkan anak membuat PR dan sejenisnya.
“Sesuatu yang sederhana seperti membacakan buku untuk anak setiap malam dan ngobrol bersama mereka mengenai aktivitas mereka sepanjang hari akan memberikan manfaat dalam jangka panjang,” tutur Adam Galovan, rekan setim Holmes.
Dalam penelitian sebelumnya, Holmes mendapati bahwa suami dan istri sama-sama meningkatkan kerjasama dalam pekerjaan rumah tangga ketika bersiap menjadi orangtua. Para ayah umumnya melakukan pekerjaan rumah tangga dua kali lebih banyak setelah bayi pertama lahir. Sedangkan para ibu melakukan pekerjaan rumah lima kali lebih banyak daripada sebelumnya! “Namun ketika para istri merasa puas dengan pembagian tugas, kedua belah pihak dilaporkan memiliki kualitas pernikahan yang lebih tinggi,” tutup Holmes.
Sumber Utama: The Daily Mail