Sepotong jalan di penggalan timur Banda Aceh itu tak pernah mati. Ia terus berdenyut tanpa terlelap sepicing pun ketika ada khauri tayangan live pertandingan sepakbola. Khauri tayangan berautofocus layar lebar dan dipelototi dengan cerocos suara gaduh yang yang dinegeri sana dinamai nonton bareng yang berujung sampai pagi.
Datanglah ke penggalan jalan itu ketika duha, bakda asar atau pun bakda maghrib. Anda pasti terbirit-birit mencari celah parkir, kalau membawa mobil. Belum lagi bertarung untuk mendapatkan meja kosong di tengah auman suara bersilang dalam bentuk haba yang sangat majemuk.
Silang haba bertema pembicaraan remeh temeh dalam bentuk sapaan ringan peu haba, hingga pergunjingan tentang siapa pemenang tender proyek pulan dan siapa bakal calon gubernur serta siapa pula yang layak jadi bupati di sebuah kabupaten entah di barat-selatan atau utara-timur.
Dan ketika kami datang menghampiri sebuah keude kupi, di bakda dhuha di sebuah hari yang sangat cerah, di potongan jalan itu, dengan nama keren Three in One, seorang sohib asal Jakarta yang bekerja di bidang jasa keuangan menyikut rusuk kiri saya dan berujar dengan nada nyeleneh, “hebat juga kampung lu ya, banyak gerai Starblacks.”
Sang sohib sepertinya ingin mempelesetkan gerai kafe yang sudah mendunia, Starbucks” untuk penamaan bagi kedai kopi di sepotong ujung jalan tembus yang ramainya mencengangkan banyak pendatang. Sohib kami itu terlihat bingung dan melihat ke jam tangannya ketika kami sudah menemukan sebuah meja kosong. Dia menggeleng seperti orang kesurupan dan menatap saya dengan nanar. “Apa mereka nggak kerja?”
Saya mengisyaratkannya sedikit mendekat, lalu berbisik ke telinganya di tengah berisik suara dan berujar, “Mereka pegawai negeri, toke jasa konstruksi, bahkan ada yang anggota dewan. Di sudut sana ada bupati sebuah kabupaten di dengan gengnya. Dan di sini juga sering berlangsung rapat setengah kamar membahas anggaran daerah.”
Mulut sang teman itu tersumpal dan hanya bisa menguapkan satu kata dengan bibir yang dimonyongkan, “huu..hebaat…” Ya hebat, sahutnya saya, yang ditingkahinya dengan cepat. “Tapi tidak sehebat Paris yang kedai kopinya selalu mengisi debat politik, ekonomi dan seni kreatif yang produktif. Debat dengan cakrawala luas dan hanya ramai ketika matahari tenggelam,” katanya berpetuah setelah dari samping meja kami berhamburan kalimat mimpi berisi omong kosong.
Sang teman memang sangat kenal Paris karena ia pernah enam tahun di sana sebagai mahasiswa pasca sarjana dan doktoral ilmu ekonomi Universitas Sorbonne yang sangat terkenal itu. Ia juga menikmati kafe di sana dan sering hadir mengisi debat prospek ekonomi Asia Timur.
Penggalan jalan itu, persisnya di ujung Panglima Nyak Makam, memang dipenuhi banjar kafe. Di sana menyemak, yang dalam bahasa awam, keude kupi dengan berbagai sajian dengan tipikal yang dimoderen-moderenkan labelnya dengan luwak arabica, gayo arabica hingga sanger ulee kareng.
Ada duabelas gerai keude kupi sepanjang sisi kiri dan kanan di sepotong jalan itu. Gerai dengan berbagai style dan aksesoris, dan herannya tak pernah sepi pengunjung.
Begitu juga dengan nama keude-nya. Bisa dengan nama sangat meugampong, yang bagi lidah pendatang bisa tertekuk, hingga nama adopsi dari sukukata milik bangsa Inggris sana dan diucapkan dengan intonasi yang liat oleh anak asoe lhok.
Yang pasti, di sepotong jalan itu berkerumun Starblacks yang telah memberi tren baru komunitas Aceh. Sepotong jalan itu adalah ujung Panglima Nyak Makam. Sepotong jalan yang menghimpun komunitas plural yang sangat cair. Tak jarang ada bule, yang nimbrung entah datang darimana. Ada juga migran regional mencari trending topic Aceh hari ini.
Ada pula di antara mereka yang datang untuk mencari tahu apakah di negeri sudah bersih dari kekerasan vertikal. Dan mereka sering bersinyinyir meminta klarifikasi kenapa konflik horizontal yang beraroma kekerasan masih datang silih berganti dengan korban sesama saudara.
Panglima Nyak Makam, hari-hari ini, memang trending untuk tempat kongko. Dan ketika suatu hari Bre Redana, wartawan senior Kompas, menelepon dan bertanya apa benar telah terjadi pergeseran arus komunitas jajanan bersama dengan maraknya keude kupi di Panglima Nyak Makam yang membuat Rex, pusat jajanan di Penayong, surut pamornya? Saya mengiyakan. Bre tergugah. Bagi Bre, Rex adalah sebuah masa lalunya, yang kini sayup-sayup sampai ke pendengarannya telah dikalahkan Starblacks yang berhimpitan di sudut timur Koetradja itu.
Bre mengaku lebih tahu Banda Aceh. Untuk itu ketika ia menulis novel Blues Merbabu yang diterbitkan Gramedia, ia mencantum di sebuah episodenya tentang bioskop yang bernama Rex. Dan ketika saya tanyakan apakah benar ada di Jawa Tengah sana bioskop, dulunya, bernama Rex? Ia menyemburkan tawa ngakak. “Mana ada bang.”
Bre, ketika tinggal di Banda Aceh selama setahun ketika mengikuti program penelitian ilmu sosial di Darussalam, pernah menulis di rubrik sosok koran Kompas tentang Hasbi Burman, penyair Aceh yang tukang parkir di sana, dengan judul “Presiden Rex,” berjanji akan datang ke Banda Aceh dan menuliskan komunitas Starblacks Panglima Nyak Makam.
“Pasti Bang,” tuturnya meyakinkan ketika saya jelaskan sekilas serunya komunitas ini. Bre dengan suara ngotot mengatakan, “saya akan tulis lebih hebat dari Maruli Tobing.”
Maruli, juga wartawan senior yang pernah menjadi redaktur Polkam di Kompas, menulis dengan gaya bertutur tentang komunitas Kupi Ulee Kareng di rubrik kuliner, yang kemudiannya menjadi rujukan di lingkungan wartawan Jakarta yang menjalan tugas jurnalistik ke Aceh.
Ruas Panglima Nyak Makam adalah trase jalan yang lahir di dekade terakhir. Di dekade sebelumnya, jalan ini hanya sampai di komplek asrama PAS dan Sekolah Menengah Pertanian Atas (SPMA), kini Kantor Dinas Pertanian Provinsi. Kawasannya semula direncanakan untuk tapak perkantoran dan komplek perumahan pegawai.
Kini peruntukkannya sudah campur aduk dan yang paling akhir pasca tsunami atau tepatnya tiga tahun terakhir, ia tumbuh sebagai lapak keude kupi yang menghebohkan dan menjadi ikon eksistensi Banda Aceh sebagai kota Seribu Keude Kupi. []