Anda pernah mendapatkan pertanyaan yang sifatnya sangat personal, berapa lama bertahan dalam bercinta?
Lantas apa komentar yang bertanya ketika Anda menjawab.
Mereka pasti akan berpikir bercinta terlalu cepat tanda-tanda ada masalah, jika Anda memberikan jawaban yang durasinya pendek.
Lantas bagaimana dengan usia, makin tua makin lama atau sebentar?
“Jika Anda bukan seorang ilmuwan, Anda mungkin pernah bertanya pada diri sendiri, dengan menyandarkan kepala di atas kasur setelah berhubungan seks cepat yang mengecewakan, berapa normalnya hubungan seks bisa bertahan?” kata Dr Brendan Zietsch dari University of Queensland.
Kepada “mirror,” Rabu, 06 April 2016, Brendan menyataka, ia lebih memfokuskan penelitiannya pada waktu ejakulasi.
Ia menceritakan sebuah studi terhadap lima ratusan pasangan yang sudah disediakan stopwatch dan diminta untuk menekan tombol ketika tindakan tak terkatakan dimulai dan kemudian tekan lagi ketika pria mengalami momen ajaibnya.
“Itu praktis terdengar canggung. Peserta menekan start saat penetrasi penis dan berhenti di ejakulasi,” katanya. Dr Zietsch menyadari dengan penelitian ini orang berpikir bisa memengaruhi suasana hati respondens dan mungkin seks menjadi hal yang tak alami.
“Tapi ilmu jarang sempurna dan ini adalah yang terbaik yang kami punya. ”
Hasil penelitian ini menemukan waktu seks berlangsung dengan rata-
Menariknya, penelitian ini juga mengeksplorasi sensitivitas penis dan hubungannya dengan daya tahan dalam bercinta.
Pria yang lebih tua tidak dapat bertahan lebih lama dari pria muda, dan mengenakan kondom atau disunat tidak meningkatkan kinerja pria.
“Temuan lain yang mengejutkan adalah semakin tua pasangan, semakin singkat seks, bertentangan dengan kebijaksanaan yang berlaku mungkin dijajakan oleh laki-laki yang lebih tua,” ucap Dr Zietsch.
Dengan begitu merebaknya tayangan dewasa tentang hubungan intim pria dan wanita, tidak sedikit pasangan yang merasa hubungan intim mereka terlalu sebentar.
Yang kurang disadari, tayangan demikian biasanya melibatkan proses edit berkali-kali.
Jadi, sebenarnya berapakah waktu yang normal untuk lamanya hubungan intim. Suatu penelitian memberikan jawaban yang meluas, mulai dari 33 detik hingga 44 menit.
Selain itu media Inggris lainnya, “Daily Mail,” yang mengutip penelitian oleh Dr. Brendan Zietsch yang mengukur waktu rata-rata bukanlah hal yang mudah karena dua persoalan.
Pertama, biasanya orang melebih-lebihkan perkiraan waktunya karena secara sosial terasa lebih hebat kalau mengaku hubungan seksual mereka berlangsung semalaman.
Masalah ke dua, orang tidak selalu tahu berapa lamanya mereka melakukannya karena urusan ini tidak biasanya melibatkan pemantauan waktu. Pemantauan tanpa bantuan tentu sulit kalau hubungan dimulai secara spontan.
Agak janggal juga, karena peserta harus menekan tombol ‘mulai’ sewaktu alat kelamin pria memasuki wanita dan kelabakan menekan tombol ‘selesai’ sewaktu terjadi ejakulasi.
Dapat dibayangkan betapa hal ini mengganggu mood dan ditengarai tidak alamiah. Tapi, itulah yang terbaik yang bisa dilakukan.
Hasilnya? Yang paling mengagetkan adalah fakta bahwa bentang waktunya sangat beragam, mulai dari 33 detik hingga 44 menit. Perbedaannya sekitar 80 kali lipat. Rata-rata hanya berlangsung 5,4 menit. Sekali lagi, hanya angka rata-rata.
Ada hasil sampingan penelitian ini yang tidak kalah mencengangkan. Ternyata pemakaian kondom tidak mempengaruhi masa waktunya. Demikian juga keadaan bersunat ataupun tidak bersunat.
Temuan sampingan ini merombak pandangan selama ini mengenai hubungan antara kepekaan ujung kelamin pria dengan lamanya ‘bertahan’ dalam hubungan intim.
Juga, asal negara pasangan tidak terlalu berpengaruh, kecuali Turki yang rata-rata melakukannya dalam tiga koma tujuh menit.
Jauh di bawah rata-rata pasangan di Belanda, Spanyol, Inggris, dan AS.
Kejutan temuan lain adalah bahwa semakin tua pasangannya, semakin singkat hubungan intimnya. Ini berlawanan dengan apa yang diduga selama ini.
Peneliti evolusioner selayaknya mempertanyakan, “Mengapa bahkan perlu berlama-lama?”
Hubungan intim semata-mata bertujuan menaruh sperma di dalam alat kelamin wanita.
Lalu mengapa harus bersusah payah dengan segala gaya? Daripada mendesak-desak batang kelamin pria sebanyak ratusan kali hingga ejakulasi, mengapa tidak memasukannya sekali saja ke dalam alat kelamin wanita dan langsung ejakulasi?
Sebelum menjawab soal ‘kenikmatan’, ingatlah bahwa evolusi tidak bicara sekedar soal itu. Secara umum, evolusi ‘merancang’ agar sesuatu dapat dinikmati jika hal itu membantu leluhur-leluhur kita mewariskan gen kepada generasi berikutnya.
Sebagai contoh, walaupun kita gemar makan, kita tidak mengunyah makanan kita selama lima menit hanya supaya kenikmatannya lebih lama.
Hal ini malah tidak efisien, dan kita malah memandangnya jorok.
Alasan mengapa kita bisa melakukannya begitu lama merupakan pertanyaan yang agak sulit tanpa jawaban yang terang benderang.
Tapi mungkin ada petunjuk dari bentuk alat kelamin pria.
Penelitian tiga tahun lalu menggunakan alat kelamin palsu wanita, alat kelamin palsu pria, dan sirup jagung sebagai sperma palsu.
Ternyata, guratan di sekitar kepala kelamin pria sebenarnya menyedot sirup yang telah ada sebelumnya di kelamin wanita.
Dapat diduga, inilah mungkin yang menjadi gunanya sodokan berulang oleh pria, yaitu untuk mengganti cairan mani pria lain sebelum mencapai ejakulasi guna memastikan benihnya sendirilah yang memiliki kesempatan lebih baik untuk menjadi yang pertama mencapai sel telur.
Secara tidak sengaja, hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa pria bisa mengalami nyeri kalau terus melakukan sodokan setelah ejakulasi, karena hal tersebut dapat membawa risiko ia menyedot keluar cairan maninya sendiri.