Seketika muncul pertanyaan liar, untuk tidak menyebutnya nakal, ke kepala saya ketika kemarin malam diajak istri keluar mencari jajanan mie di kawasan bekas bioskop garuda.
Sebenarnya saya rada jengkel. Kok menjelang larut malam begini masih ingin jajan. Apalagi sudah lewat jam sepuluh. Mengganggu waktu tidur. Maklum udah gaek. Nyetir lagi.
Padahal, sebelum keputusan mie di kawasan bekas bisokop garuda, saya sudah tawarkan mie razali saja.
Ia ngotot. Harus mie tungkop. Mie yang perapiannya memakai arang. Dan itu ada di kawasan bioskop garuda. Dan murah lagi.
Entahlah. Ya sudah. Sekalian wisata malam. Keliling kota kata saya berdamai dengan hati.
Soalnya sudah lama saya dan istri nggak keluar malam.
Walau ada sedikit gerutuan saya berupaya mengendapkannya.
Di jalanan saya bergumam sembari ngelengos kiri, melirik kanan dan melayangkan pandang ke banyak penjuru, untuk kemudian diingatkan istri untuk konsentrasi.
Dia tak tahu apa yang saya gumamkan dan apa yang saya lengoskan.
Di titik ini kejengkelan saya sudah punah. Yang muncul di kepala justru mengagumi benderangnya Banda Aceh dalam balutan lampu jalan.
Tidak hanya Simpang Lima dan jembatan Pante Pirak yang wah dengan warna warni lampu jalanan-nya . Sejak keluar dari mulut Pocut Baren suguhan b
enderang terus menyergap.
Ya, pantas. Lampu led strip….
Lampu serupa, setelah saya tanya ke seorang pejabat di balaikota, juga telah dipasang di Taman Sari, kawasan Blang Padang, Fly Over, Jembatan Pango, Jembatan Lamnyong dan di sepanjang jalan iskandar muda
“Indahkan pak,” katanya menggiring saya. Saya balas dengan dengan ucapan ee e..ee..
Saya tahu dia pejabat. Pasti kalau ditanya tentu ingin membuat bos-nya senang
Masih di kesempatan yang sama, ia menginformasikan lagi, rencana memasang lampu led strip di Jembatan Peunayong dan di perbatasan kota, kawasan Lueng Bata
Tak hanya lampu led strip, lilitan kabel listrik dengan lampu kecil-kecil di pepohonan juga menyemarakkan malamnya Banda Aceh.
Dan, ketika memutar ke arah masjid raya baiturrahman ada taman Adipura yang tak kalah benderangnya.
Saya teringat, dulu kawasan itu bekas gereja gpib. Ada kantor garnizun. Kodim.
Kawasan itu menyatu dengan stasion kereta api. Loko tuanya masih dipajang di depan sebuah mall kecil. Tapi nggak pernah disentuh oleh informasi.
Bahkan tak pernah dilirik untuk dipertanyakan “binatang” apa itu.
Padahal eksistensi loko dan stasion itu pernah jadi barisan depan ikon “kutaradja” selama hampir satu abad untuk kemudian dibabat bagi kepentingan … entah apa.
Melihat benderang Banda Aceh di malam itu saya hanya bisa cengengesan. Macam anak balita. Untuk kemudian sadar, apakah ini yang dimaui pejabat kota untuk sebuah kota “tua” semacam Banda Aceh.
Ini mungkin yang dimaksud dengan jargon “kota gemilang.” Itu, kata hati saya.
Nggak tahulah.
Sampai disini saya bertanya ke diri sendiri. Kok sentimentil. Jawabnya. Mungkin bawaan umur. Atau, memangnya kenapa!
Why….?
Kenapanya inilah yang terus mengusik. Mengusik memori. Kok kota tua yang berjuluk “serambi mekkah” dan berumur delapan ratus enam belas tahun bisa jadi “kota gemilang”
Juga kota Islam paling tua di Asia Tenggara. Catat ya. Tidak hanya ukuran Indonesia.
Bisa-bisanya dipreteli jargonnya.
Kota yang merupakan ibu kota sebuah kesulthanan besar Dimana kesahihan-nya berasal dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh
Kata kenapa ini memerlukan penegasan. Penegasan atas simbol yang terusik.
Simbol yang sering saya dengungkan bersama kawan-kawan seprofesi, jurnalistik, dulunya, untuk tetap menuliskan Banda Aceh dalam kontek serambi mekkah.
Penegasan yang juga selalu kami sepakati dengan TA Sakti, penulis sejarah Aceh, untuk mengejawantahkan simbol ini lewat tulisan dan diskusi.
Juga menjadi trek jalan lurus saya bersama seorang kawan, Basri Emka. Ia seorang penulis puisi dan cerpen dengan latar kutaradja, “serambi mekkah.”
Esoknya, kata kenapa ini saya pertanyakan lagi dengan seorang rekan jurnalis, yang secara berulang minta namanya tidak disebut dan semua yang diucapkannya off the record.
Saya tahu ia dekat dengan sang walikota Aminullah Usman. Teman. Mungkin nggak enak. Tapi bicaranya juga nggak setuju arah kebijakan “kota gemilang.”
“Saya tetap konsisten dengan ‘serambi mekkah.” Begitu ia bicara dengan suara datar
“Kok pakai gemilang-gemilangan.”
Dari kasus ini muncul gugatan saya. Apa sesumir itu untuk memoles Banda Aceh.
Sesumir lampu benderang.
Kenapa tidak mengeksekusi pelebaran jalan Lambhuk – Ulee Kareng yang sudah mampat oleh arus kendaraan. Kenapa tidak menyelesaikan fasilitas pasar Mahirah.
Membuat saluran pembuangan air gampong Laksana, Keuramat, Mulia atau Peuniti yang tenggelam kala hujan berdurasi sedang
Masih ada pe-er lain yang lebih inovatif. Memperjuangkan anggaran pembangunan jalan Alue Naga-Ulee Lhueu.
Selain itu membasmi kaum dhuafa lewat program-program kemanusiaan.
Tidak hanya berkutat di kata gemilang dan tabur pesona lewat pertemuan berskala regional dan nasional.
Tabur pesona program cet langet dengan rivelwalk. Entanh apa lainnya.
Dan ketika saya duduk dengan seorang anggota dprd kota, teman ketika ia masih merangkak sebagai pemilik “kedai sampah,” jawabannya cuma mesem-mesem saja.
Nggak keluar reaksi seorang wakil rakyatnya yang egaliter.
Mungkin sudah terkooptasi. Soalnya sedang menjalani periode ketiga sebagai wakil rakyat. Lama duduk tentu susah berdiri. Jangan-jangan lupa berdiri.
Sebenarnya saya nggak mau nulis sepihak tanpa menyediakan hak jawab untuk sang pejabat. Udah dua kali saya ke balai kota. Jawaban satpam tetap sama. Lagi ke Jakarta.
Pernah sekali ke pendopo. Ketemu. Tapi hanya bla..bla.. dan minta pamit untuk rapat. WA-nya? Dijawab, sedang sibuk Ya sudah
Selain itu saya juga sempat ngoceh dengan seorang kepala dinas di sebuah hajatan tentang peta geologi kota.
Apa mereka tahu spesifikasinya Peta geologi dari struktur tanah Banda Aceh yang tersusun oleh endapan kuarter
Endapan pematang pantai, endapan rawa, dan endapan aluvial berumur peistosen dan holosen. Fakta ini didapar dari data pemboran.
Lapisan endapan aluvial dekat dengan pantai dapat mencapai ketebalan dua ratus enam meter di bawah permukaan tanah di daerah Cot Paya di sebelah Timur Sungai Krueng Aceh.
Dia harus tahu bahwa sebagian Banda Aceh ini berada di bawah permukaan laut. Dan usaha penyelamatannya telah dua kali dilakukan lewat proyek besar, anggaran besar. Tapi saat itu korupsinya nggak ikut besar.
Pertama proyek krueng aceh semasa gubernur Ibrahim Hasan di era pak Harto. Dan kedua lewat “be-er-er” kala di gawangi Kuntoro Mangkusubroto, eranya SBY, usai tsunami
Dua-dua kerjaan besar itu kita sudah tahulah. Bagaimana krueng Aceh di belah jadi dua muara besar dan be-er-er membuat tanggul laut sepanjang pantai Banda Aceh dan Aceh Besar.
Dari kerjaan besar itulah mantan walkot Mawardy, dulunya, menyiapkan master plan. Kabarnya dana master plan itu ia utang. Mawardy yang walkot ini memang punya kenangan dengan saya. Kawan diskusi.
Maklum saja latar belakangnya sarjana teknik sipil.
Lama berkutat di dinas pekerjaan umum dan pernah jadi staf Kuntor waktu di be-er-er.
Level dan integritasnya lumayanlah Beda dengan pejabat yang tak ingin saya sebutkan namanya. Beda latar belakang. Maklum saja. Beda orang teknis dengan orang dagang kok