Israel mulai mengalami kepanikan yang luar biasa menghadapi perlawanan Hamas yang sangat keras dan ketat sehingga memerintahkan militernya untuk membordir instalasi publik seperti rumah sakit dan pembangkit listrik.
Hari Senin, 28 Juli 2014, militer Israel menghancurkan Rumah Sakit Al-Shifa, dan Selasa sore WIB, 29 Juli 2014, mereka memuntahkan mortir untuk meluluh-lantakkan pembangkit listrik di Kota Gaza.
Serangan militer Israel terhadap RS Al Shifa di Gaza City menai protes paling keras dari organisasi kemanusiaan medis internasional Dokter Lintas Batas atau dikenal dengan MSF, di mana tim bedah mereka sedang bekerja.
Al Shifa adalah RS rujukan utama untuk seluruh Jalur Gaza. Pengeboman terbaru terhadap fasilitas kesehatan ini, membuktikan penduduk sipil di Gaza tidak punya tempat yang aman untuk berlindung, dan ini menunjukkan sulitnya menyediakan bantuan darurat di Gaza.
Seorang staf internasional MSF berada di dalam bangunan rumah sakit ketika unit pasien rawat inap di RS Al Shifa dibom. Meski tak ada yang cedera, ini adalah rumah sakit keempat di Gaza yang diserang sejak aksi militer Israel ke Gaza 08 Juli 2014 lalu, setelah RS European General Hospital, RS Al Aqsa, dan RS Beit Hanoun.
”Menyerang RS dan lingkungan di sekitarnya adalah tindakan yang sangat tidak bisa diterima dan merupakan pelanggaran Hukum Kemanusiaan Internasional yang serius,” ujar Tommaso Fabbri, Kepala Misi MSF di wilayah Palestina.
”Apapun keadaannya, fasilitas kesehatan dan staf medis harus dilindungi dan dihormati. Namun, kini di Gaza, RS tidak lagi menjadi tempat berlindung sebagaimana seharusnya,” tambah Fabri.
Satu jam setelah RS Al Shifa diserang, sebuah roket menghantam kamp pengungsi Shati mengakibatkan sejumlah orang terluka, sebagian besar anak-anak, yang langsung dibawa ke RS Al Shifa.
“Dua pertiga korban cedera yang saya lihat tiba di RS Al Shifa adalah anak-anak,” ujar Michele Beck, penasihat medis MSF di Gaza.
MSF atau Medecins Sans Frontieres merupakan organisasi internasional beranggotakan dokter-dokter yang didirikan di Perancis dan berpusat di Jenewa, Swiss. Organisasi memberikan bantuan medis tanpa memandang ras dan agama.
“Apapun kondisinya, fasilitas kesehatan dan tenaga medis harus dilindungi dan dihormati. Tapi di Gaza saat ini, rumah sakit tidak merasa aman sebagaimana mestinya,” lanjut dia.
“Ketika Israel memerintahkan tentara untuk mengevakuasi warga sipil dari rumah dan lingkungan mereka, di mana ada tempat bagi mereka untuk pergi? Warga Gaza tidak memiliki kebebasan bergerak dan tidak bisa berlindung di luar Gaza. Mereka secara efektif terjebak,” kata Direktur Operasional MSF Marie-Noëlle Rodrigue.
Kondisi ini diperparah dengan serangan yang menyasar pula ke rumah sakit. Padahal relawan medis dari seluruh dunia sudah bekerja keras di wilayah Gaza.
“Kami memiliki tim bedah siap untuk bekerja di rumah sakit Nasser, tapi tanpa jaminan keamanan yang tegas dan kredibel dari kedua pihak dalam konflik, kita tidak bisa mengambil risiko mengirim mereka,” kata Koordinator Proyek MSF Nicolas Palarus.
Bagi organisasi medis dan kemanusiaan di Gaza, seperti MSF, bekerja dan bergerak adalah tindakan yang sangat sulit dan berbahaya. Dalam tiga pekan terakhir, beberapa petugas ambulans dan paramedis Bulan Sabit Merah terbunuh dan terluka.
Pada 20 Juli, terjadi serangan udara yang mengarah beberapa ratus meter dari kendaraan yang jelas-jelas ditandai sebagai kendaraan operasional MSF. Pada hari yang sama, sebuah misil jatuh sekitar sepuluh meter dari sebuah tenda MSF yang didirikan di pekarangan RS Nasser, di bagian selatan Gaza. Beruntung misil itu tidak meledak.
Dalam tiga pekan terakhir, tim MSF baru bisa mencapai RS Nasser sebanyak dua kali. MSF terpaksa menunda aktivitas bedah di rumah sakit itu, padahal kebutuhan medis sangat tinggi di daerah yang dihantam serangan ini, di mana sebagian besar korban yang terluka adalah perempuan dan anak-anak.
“Di luar persoalan darurat, kebutuhan medis dasar dan layanan kehamilan serta penanganan penyakit-penyakit kronis, dan akses mendapatkan air minum dan makanan, tidak tersedia,” ungkap Nicolas Palarus.
Ledakan masih terjadi baik di Gaza maupun Israel selatan walau Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyerukan gencatan senjata pada Senin kemarin.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan bahwa operasi militer di Gaza bisa memakan waktu yang lama. “Kami akan melanjutkan aksi dengan agresif dan bertanggung jawab sampai misi kami untuk melindungi warga, tentara, dan anak-anak bisa tercapai,” katanya.
Kota Gaza, wartawan BBC Martin Patience mengatakan ada kekalutan, duka, dan kebingungan meliputi warga ketika para korban dilarikan ke rumah sakit utama. “Seorang warga mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar ledakan besar. Dia lari keluar dan menemukan banyak jenazah di jalan,” kara Patience.
“Hari ini adalah awal dari festival menyambut Idul Fitri. Sejumlah warga Gaza berdoa di masjid yang rusak karena serangan. Anda bisa melihat anak-anak bermain kala itu.”
“Idul Fitri seharusnya menjadi momen yang menggembirakan, tetapi di sini hanya ada kepedihan dan kemarahan.”
Konflik antara Israel dan Hamas telah menewaskan 1.030 warga Palestina—mayoritas warga sipil—sejak 8 Juli lalu. Di sisi Israel, sebanyak 53 tentara dan 3 warga sipil juga tewas.
sumber : middle east monitor, tv al jazzera dan bbc news