LEBIH dari seratus personil polisi di Aceh sudah menyelesaikan tahap rehabilitasi kecanduan narkotika dan obat terlarang dari dua ratus lebih yang terlibat memakai barang haram itu. Sisanya masih dalam tahap pemeriksan awal, pra rehabilitasi dan sedang menjalani rehabilitasi.
Kepala Kepolisian Aceh, Inspektur Jenderal Polisi Herman Efendi, mengakui jumlah keterlibatnya anak buahnya itu dan mengatakan, sangat prihatin dengan kondisi yang terjadi di lingkungannya. “Kondisi ini sangat tidak baik dan merusak citra kepolisian sebagai penegak hukum. Saya minta pengertian dari masyarakat dengan kondisi ini dan akan memperbaikinya sesuai dengan kebijakan yang kami tempuh,” kata Irjen Pol Herman Efendi.
Dalam tindakan disiplin yang telah dilakukan Polda Aceh terhadap mereka yang terlibat kejahatan narkoba ini, menurut Herman, sebelas anggotanya telah dipecat dari kedinasan. Pemecatan ini sesuai dengan tingkat kesalahan dan lejahatan yang mereka lakukan. “Kami, kedepan akan komit dengan langkah penegakkan disiplin, pencegahan dan penindakan terhadap personil yang terlibat, baik sebagai pemakai maupun yang ikut dengan kejahatan pengedarannya,” kata Kapolda.
Mmenurut Herman, kejahatan narkoba tidak akan pernah ditoleransi. Apalagi yang menyangkut keterlibatan anggota kepolisian. “Sebagai ujung tombak penegakkan hukum terhadap kejahatan narkoba kinerja Polda Aceh harus lebih baik lagi dalam menumpas kejahatan ini,” katanya.
Saiful Akbar, seorang pengamat kejahatan narkoba di Aceh, minta Kapolda untuk lebih keras lagi dalam mendisiplinkan anggotanya. Kalau tidak bagaimana ia memberantas kejahatan ini yang makin merajalela dan menunjukkan grafik meningkat di Aceh,” katanya.
Sebagai basis produksi ganja di Indonesia Aceh telah masuk dalam daftar hitam peta peredaran narkotika jenis ini. Langkah kepolisian yang dinilainya “hangat-hangat tahi ayam” dalam memusnahkan ladang ganja dan menghancurkan jaringannya di Aceh dipertanyakannya oleh banyak pihak.
Pemusnahan ladang ganja di Aceh, sepertinya, tidak terkoordinasi dengan baik. Polisi seperti jalan dengan programnya sendiri tanpa berkoordinas secara aktif dengan pemerintah provinsi maupun kabupaten. Diperlukan langkah terpadu yang komperehensif untuk memotong penanaman dan distribusi produksi di jaringan perdagangan.
“Siap pun sudah tahu bagaimana jaringan ini bekerja hingga ke Jawa dan Bali. Kita sedih dengan kerja kepolisian di sini yang belum maksimal. Kita terperangah mendengar berita pedagang ganja Aceh tertangkap di Joga atau di Palembang dan sebagainya. Lantas bagaimana ia keluar dari Aceh,” tanyanya dengan serius dan sinistentang tatakerja intelejen.
Memang ada pos-pos polisi di perbatasan yang melakukan pemeriksaan, yang menurut Saiful, menyamaratakan seluruh kenderaan yang datang dan pulang ke Aceh. Banyak kenderaan pribadi yang distop dan kemudian dipermasalahkan surat-surat dan kelengkapan kenderaannya. Itu mengada-ada dan mendiskriminasikan para pejalan dan pelancong. Padahal mereka sebuah keluarga yang sangat tidak mungkin terlibat dalam perdagangan ganja antar provinsi,” katanya ketus.
Langkah yang harus ditempuh kepolisian adalah mendeteksi jaringannya. “Mereka sudah terorganisir dalam kelompok-kelompok jaringan. Itulah yang harus dipilih dan dimata-matai oleh kepolisian,” ujarnya.
Seorang pengamat lainnya, Darwin, mengatakan perdagangan narkoba di Aceh, kini, tidak hanya terbatas dengan ganja dan dalam lingkup lokal. Jaringan perdagangan narkoba sudah menyentuh sabu dan lainnya dengan jaringan yang lebih luas. Penangkapan sabu dengan memakai bebagai modus yang tertangkap di bandara Sultan Iskandarmuda membenarkan Aceh telah masuk jaringan perdagangan internasional. Bahkan, menurut sebuah sumber, ada jaringan Aceh yang sudah sangat terkenal kerapian organisasinya dalam perdagangan ini dan belum terbongkar secara tuntas.