Masyarakat Irak kini kembali merasakan hal nostalgia setiap menjalani malam-malam Ramadan. Kebiasaan mendongeng cerita rakyat yang dulu sempat mengisi kehidupan era sebelum televisi kini kembali.
Penutur tradisional Abdel Wahed Ismail dengan kostum peci merah di atas kepala, jubah kuning mentereng menutup bahu, sukses memikat penonton di kawasan utara Mosul.
Seperti di negara Muslim lainnya, momen malam saat Ramadan dimanfaatkan masyarakat Irak untuk berkumpul dengan teman atau pun keluarga di berbagai tempat, mulai dari rumah hingga restoran.
Sementara sebagian masyarakat Muslim di Irak menghabiskan waktu malam hari di masjid sebelum sahur, sisanya memilih bermain permainan dan kegiatan tradisional.
Dulu, satu atau dua generasi yang lalu, malam-malam Ramadan di Irak adalah momen bagi hakawati atau pendongeng khas Arab. Mereka mengisi malam-malam masyarakat dengan kisah legenda, berita lokal, atau hikayat sejarah.
Mosul yang kini dihuni hampir dua juta jiwa telah berabad-abad menjadi pusat komersial dan cendekiawan di kawasan Timur Tengah.
Dengan kehadiran televisi dan radio di kawasan tersebut pada dekade ’60-an, para hakawati tergusur dari kedai kopi ataupun restoran tempat keluarga dan sanak saudara menghabiskan malam bersama.
Dua tahun setelah Mosul dibebaskan dari pasukan ISIS, Ismail mulai menghidupkan kembali permainan legendaris yang pernah hidup di masyarakat itu.
Seniman berusia 70 tahun tersebut duduk di bangkunya yang sederhana berwarna putih di atas panggung untuk mengisahkan cerita-cerita rakyat dengan dialek fasih Moslawi.
“Saya telah melewati begitu banyak masa yang berbeda, jadi saya mencoba untuk menyampaikan cerita tentang hal-hal baik kepada anak-anak muda,” kata Ismail yang menjadi saksi penggulingan berdarah rezim di Irak dan serangkaian kudeta juga perang di negaranya sendiri.
Namun mengisahkan kisah lawas bukan berarti tak menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Ismail sesekali menyelipkan berbagai istilah gim daring seperti PUBG yang akrab bagi anak muda.
Bahkan ia menyelipkan ‘PUBG’ itu saat mengisahkan kisah kesatria epik dari Timur Tengah, Antar and Abla.
Kegiatan mendongeng ini terjadi bahkan lebih luas dibanding yang sebelumnya. Kali ini, untuk pertama kalinya sejak invasi pada 2013, mendongeng menyatukan masyarakat Irak alih-alih tertahan dalam tembok rumah.
“Fenomena ini juga menunjukkan bahwa perkembangan teknologi tidak melulu membuat hal baik di masa lalu menjadi lebih baik,” kata sosiologis Irak, Saad Ahmed.