Kasus prostitusi di kalangan selebriti baru-baru ini kembali mencuat setelah tertangkapnya artis Vanessa Angel dan model majalah dewasa Avriellia Shaqqila akhir pekan silam.
Kejadian itu pun memicu beragam spekulasi tentang sisi lain dunia selebriti.
Vanessa diduga menerima bayaran sebesar delapan puluh juta rupiah dari bisnis prostitusinya, sementara Avriellia Shaqqila diduga memasang tarif dua puluh lima juta rupiah.
Tuntutan gaya hidup, menurut Sosiolog Yuanita Aprilandini, menjadi salah satu pemicu munculnya bisnis prostitusi online di kalangan selebriti. Terlebih, profesi artis dikatakannya merupakan sesuatu yang prestisius.
“Prestisius itu dari jumlah pemasukan yang didapat dibanding profesi lainnya. Namun di balik itu, ada banyak tekanan bahwa dengan prestise sosial, ia harus memiliki gaya hidup tertentu,” katanya saat dihubungi
Ada harga untuk biaya perawatan penampilan agar tetap prima, membangun relasi, bergaul di kafe atau restoran, dan sebagainya yang menimbulkan perilaku konsumtif atau hedonisme.
Sedangkan, kata Yuanita lebih lanjut, artis pendatang baru atau yang belum punya nama terkadang job-nya tak menentu. Padahal tekanan sosial karena lingkungan pergaulan dan ekspektasi masyarakat tetap sama seperti selebriti lain yang ‘laku.’
“Prostitusi online itu tarifnya fantastis ya, ya mungkin bisa kita bilang itu jalan pintas atau cara instan untuk membeli prestise sosial ketika sepi job,” katanya.
Terlebih, menurut pemaparan aktris Dinda Kanya Dewi, tawaran yang mengarah ke prostitusi sering dijumpai di dunia selebriti.
“Kami enggak bisa bohong juga. Banyak oknum yang menawarkan ke kami dan itu tergantung sama diri kitanya. Buat gue, kalau tawaran makan malam sama siapa, itu ada banget. Memang itu bukan hal yang aneh di sini,” ujarnya
Dia menambahkan, “Mungkin, gue enggak menyebut itu godaan sih, mungkin ajakan seperti itu di dunia kita emang besar banget, enggak bisa dipungkiri juga.”
Bintang film Milly & Mamet itu mengaku bahwa dirinya sama sekali tidak mempermasalahkan atau menyalahkan bila ada orang-orang yang kemudian memilih jalan tersebut. Baginya, itu pilihan masing-masing pribadi yang tak bisa dicampuri.
“Mereka punya otoritas pada diri mereka masing-masing. Kita enggak pernah tahu alasan di belakang orang itu. Tapi kalau gue, itu bukan cara gue dan gue tidak membutuhkan itu. Ya gue akan menolak [tawaran] pasti. Sudah jelas, gue punya prinsip sama hidup gue juga. Tapi gue yang enggak menyalahkan yang melakukan begitu,” katanya.
Sementara itu, Yuanita menganggap selebriti tak ada kaitannya dengan dunia prostitusi. Secara harfiah saja dua hal itu sudah berbeda, katanya.
Artis secara definisi berarti ahli seni atau seniman. Sementara, prostitusi merupakan pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi.
“Seharusnya artis itu menjual karya seni, menawarkan dari bakat mereka,” katanya.
Namun, di era sekarang ini dunia keartisan seakan turut diisi oleh mereka yang tak bertanggung jawab dengan memperkenalkan diri sebagai artis, tapi tak memiliki bakat.
“Sekarang yang dijual tampilan fisik saja sudah bisa jadi artis, seolah belum jadi apa-apa tapi dapat capnya gampang banget, nongol sekali dua kali figuran sudah dapat sebutan artis. Yang kemudian menimbulkan ada degradasi di level yang memang punya bakat dengan yang tidak,” papar lebih lanjut.
Tanpa disadari, kemudahan mendapatkan label artis tersebut terkadang turut membuat mereka terjebak pada gaya hidupnya juga.
“Populer, lalu terjebak terbawa gaya hidup, mereka kemudian butuh me-maintain popularitas yang menjerumuskannya ke dalam hedonisme, nongkrong sana nongkrong sini bikin relasi sana sini itu butuh uang,” ungkap Yuanita.
Ketika masyarakat menyadari bahwa dunia selebriti ternyata penuh pencitraan dan tidak seindah yang dibayangkan, malahan ada yang terjebak kasus prostitusi, mereka kaget. Itulah yang menyebabkan kabar soal selebriti yang terjebak prostitusi akhirnya heboh.
“Yang namanya pencitraan kan bukan realita sebenarnya, tapi realita yang dilebih-lebihkan. Masyarakat sadar ternyata dunia artis tidak sebaik yang mereka konsumsi sehari-hari,” kata Yuanita.
Terlepas dari itu semua, baik Yuanita maupun Dinda sama-sama menyayangkan sorotan yang seolah hanya mendiskriminasi perempuan dalam kasus Vanessa Angel. Keduanya berharap nama yang diungkap tak hanya dari sisi penyedia jasa saja, melainkan juga lelaki penggunanya.
“Ini bukan kasus sekali dua kali kayaknya, untuk kasus penggerebekan artis atau prostitusi online. Kalau buat gue sendiri, dari kemarin-kemarin perempuannya yang pada akhirnya dipasang depan, tapi penggunanya sampai detik ini belum ada satu pun dari kasus dulu sekitar setahun dua tahun lalu,” kata Dinda.
Dia pun menegaskan agar tak ada lagi diskriminasi hanya pada perempuan saja.
“Kalau ada hukum berdiri, jangan ada diskriminasi. Hukum kan harus adil ya, jadi harus seadil-adilnya. Jangan hanya satu pihak yang diekspos, jadi kesalahan satu manusia saja,” tambahnya.
Hal senada turut disampaikan pula oleh Yuanita. Ia bahkan menyarankan agar tak hanya artis perempuan yang dicek, melainkan juga artis laki-laki.
“Ini kan konstruksi gendernya bermain. Kenapa perempuan yang selalu bisa dibeli, ada mindset di masyarakat kita perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Apa lagi ada uang yang fantastis, puluhan juta sekali transaksi,” katanya.
Ia juga mempertanyakan mengapa hanya penjaja dan muncikarinya, yang kebanyakan perempuan, yang bisa dijerat undang-undang.
“Tidak dengan pembeli yang mana laki-laki. Ini ada ketimpangan ya, atau ketidakdilan. Hukum harus direvisi,” tambah Yuanita.