Sepagi itu saya kembali ke Pasar Mahirah.
Bukan pasar milik Madinah yang terkenal sejak kehidupan rasulullah itu, ketika Abdurahman bin Auf membangun raksasa bisnisnya yang Lillahi Taala.
Pasar Mahirah yang satu ini punyanya kota Banda Aceh. Sebuah pasar induk hasil kreasi Aminullah, sang walikota, dari blueprint rancangan pejabat sebelumnya, almarhum Mawardi Nurdin.
Di bangun di atas lahan bekas tambak udang, pasar Mahirah memang pas untuk pengembangan kota.
Pasar ini berlokasi di gampong Lam Dingin. Arah makam Syiah Kuala dan tak jauh dari tempat pendaratan ikan, pelabuhan Lam Pulo
Rancangan pasar ini, tak terbantahkan, memang elok. Terkonsentrasi. Pasar ikan, pasar daging, pasar sayur maupun pasar buah berada dalam lokasi yang sama.
Tidak berpencaran, seperti pasar sebelumnya, kawasan Penayong.
Ketika kami datang di pagi itu ada gerimis kecil dan kerumunan kendaraan yang umpet-umpetan mencari lahan parkir.
Suasana ini berbeda dengan hari-hari di bulan sebelumnya ketika lahan parkir terhampar dan kosong melompok.
Lahan parkir yang kosong untuk kemuidian menjalar ke wajah cemberut para pedagang sembari menumpahkan umpatanya ke walikota dengan tudingan sebagai penyumbat pintu rezeki mereka..
Ya, sebulan lalu, ketika para pedagang memilih lapak dan menggelar dagangannya usai digiring oleh patroli keamanan gabungan dari Peunayong tak ada geliat genit menyertai jual beli di Pasar Mahirah.
“Lalat pun tak mau hinggap di dagangan kami,” tutur Alamsyah pedagang tahu, tempe dan tauge dengan nada lirih kepada kami kala itu .
Hari-hari Alamsyah di awal membuka lapak di Mahirah memang sendu. Menyedihkan. Tahu dagangannya berbau anyir dan tauge tumbuh memanjang.
Tidak hanya Alamsyah yang sendu. Bang Roni, pedagang pisang, lebih para lagi nasibnya. Pisang dagangannya menghitam, busuk dan menjadi sampah yang kemudian dipungut petugas kebersihan.
Nasib bang Roni dan Alamsyah ini tak beda dengan Rahim penjual ikan yang lebih awal di gusur dari Penayong. Bahkan Rahim sempat berbulan-bulan tak mampu mengisi kocek akibat ketiadaan pembeli
Rahim bersama para penjual ikan lainnya sempat demo dan mencampakkan ikan busuk jualan merekadi halaman Kantor Walikota. Bahkan demo ini sempat mengubah kebijakan pengusiran dengan mengembalikan pedagang ikan ke Peunayong.
Ya, dihari itu, Sabtu kemarin, ketika saya bersama istri belanja sayur. ada tawa sumringah para pedagang.
Ketika saya singgah ke kios Boru Siregar. langganan wortel dan tomat untuk kebutuhan jus, di bagian belakang bangunan permanen pasar sayur, ia sudah bisa ketawa.
Dengan dialek bataknya yang liat, Boru Siregar mengatakan, “sudah ramai pak.”
“Syukur.” jawab saya yang dijawab oleh anak lelakinya,”lumayanlah.”
Boru Siregar ini sebelumnya jualan di lapak sempit pasar Penayong. Kawasan smep. Ia punya banyak langganan karena sayur jualannya asli dari Brastagi.
Senyum Boru Siregar ini memang belum utuh. Sebab untuk sampai ke kios dagangannya kami harus menerjang genangan air berlumpur.
Nampaknya masih banyak tetek bengek prasarana yang harus di benahi untuk mengeluarkan Pasar Mahirah dari kesan acak-acakan. Lahan parkir, jalan penghubung bahkan penataan final kelompok pedagang.