Membatasi makan dan olahraga untuk meraih langsing?
Wah, itu keliru.
Menurut tulisan terbaru awal pekan ini, majalah terkenal dunia “time,” mengungkapkan, kalau cara itu yang Anda tempuh adalah kesalahan besar.
Memang Anda sudah hapal “rumus” untuk mengurangi berat badan
Dan salah satunya adalahi mengurangi makan dan menambah porsi olahraga.
Secara teori, hal itu masuk akal.
Tak hanya secara teori, sains membuktikan bahwa membakar kalori lebih banyak dari yang kita konsumsi bisa berdampak pada turunnya berat badan.
Tetapi, masalahnya penurunan berat badan ini kadang hanya memberi hasil sementara. Untuk jangka panjang, usaha ini kurang memberi hasil memuaskan.
Lantas, bagaimana cara menurunkan berat badan yang tepat? Beberapa pakar obesitas mengatakan, berhentilah menghitung kalori.
“Secara intuisi kita tahu bahwa mengurangi makan dan menambah olahraga tidak berpengaruh. Ini seperti: ‘aku kerja, lalu aku dan rekan kerjaku akan dipecat’,” kata pakar pencegahan obesitas dari rumah sakit anak Boston, Dr David Ludwig, seperti dikutip Time.com.
“Fakta yang kurang menyenangkan adalah ada sejumlah orang yang bisa menurunkan berat badan lewat cara itu, sehingga tetap melakukannya.”
Menurut Ludwig dan Dr Mark L. Friedman dari The Nutrition Science Initiative di San Diego, pola pikir membatasi kalori tersebut mengabaikan penelitian selama puluhan tahun mengenai faktor biologis yang mengendalikan berat badan.
Kegemukan bukan cuma faktor genetik. Ludwig dan Friendman berpendapat kita harus berhenti melihat berat badan sebagai sesuatu yang terpisah dari fungsi biologis tubuh, seperti hormon dan rasa lapar, serta efek dari makanan yang kita makan.
Dengan kata lain, kegemukan tak hanya soal seberapa banyak yang kita makan.
Lalu, apa yang menyebabkan wabah obesitas? Jawabannya adalah karbohidrat olahan. Misalnya gula dan biji-bijian yang diproses, seperti nasi putih, roti, yang dapat ditemukan ada di banyak konsep diet.
Selama ini kita menghabiskan banyak waktu untuk “menangkap” lemak sebagai pemicu kegemukan.
“Kita harus melupakan paradigma ‘rendah lemak’. Beberapa makanan dengan lemak tinggi seperti alpukat, kacang-kacangan dan minyak zaitun merupakan makanan sehat yang bisa kita makan,” kata Ludwig.
Karbohidrat olahan menyebabkan peningkatan insulin.
Sederhananya, saat kita makan banyak karbohidrat olahan, misalnya sebungkus biskuit, dalam tubuh kadar insulin melonjak dan akan memicu sel lemak untuk menyerap kalori.
Tapi, tidak ada kalori dan gizi yang cukup dalam biskuit itu, untuk menyediakan energi yang dibutuhkan tubuh.
Otak kita kemudian mengirim sinyal rasa lapar untuk merespons hal tersebut yang akhirnya juga memperlambat metabolisme tubuh. Kemudian membuat kita ingin lebih banyak makan.
Menurutnya, daripada menghitung kalori, lebih baik fokus pada kualitas makanan yang dikonsumsi.
“Kalau kita hanya mencoba makan lebih sedikit dan lebih banyak olahraga, kita tak akan mencapai tujuan,” kata Ludwig.
Hanya fokus pada kalori akan menyesatkan dan berpotensi membahayakan tubuh karena kita mengabaikan bagaimana jumlah kalori berdampak pada hormon dan metabolisme.
Kita pun jadinya sulit menjalankan pola makan yang sehat.
Sebenarnya ada kunci lain menurunkan berat badan. Anda harus memilih makanan berserat.
Dilansir dari Mens’Health, “kotoran” bisa jadi jawaban untuk menurunkan berat badan. Tinja mengandung bakteri usus yang bisa menjadi solusi dalam menurunkan berat badan.
Riset terbaru yang diterbitkan International Journal of Obesity, kemampuan orang untuk menurunkan berat badan sangat bergantung pada bacteroide dan prevotella, dua bakteri usus yang membantu mencerna serat dalam makanan Anda.
Beberapa orang memiliki konsentrasi lebih tinggi daripada yang lain dan satu-satunya cara yang untuk mengetahui jumlah kedua bakteri di dalam tubuh adalah dengan pemeriksaan laboratorium.
Studi tersebut mengumpulkan enam puluh dua penderita obesitas dan secara acak meminta mereka mengonsumsi makanan yang mengandung serat, seperti buah, dan sayuran.
Sebagian lainnya diminta menyantap makanan standar yang sangat banyak mengandung daging dan lemak.
Peserta dengan diet serat tinggi kehilangan sekitar tiga setengah kilogram sedangkan peserta diet biasa kehilangan hanya dua kilogram selama rentang enam bulan.
Setelah percobaan awal setengah tahun, semua partisipan beralih ke diet serat tinggi, dan ditemukan bahwa orang-orang dengan konsentrasi bacteroides dan prevotella yang lebih tinggi mengalami penurunan berat badan yang lebih banyak.
Sebenarnya, di kedua segmen penelitian, selalu para peserta dengan konsentrasi kedua bakteri usus yang lebih tinggi memiliki garis pinggang yang lebih kecil dan kehilangan lemak lebih besar.
Tidak banyak yang bisa Anda lakukan untuk meningkatkan jumlah bakteri usus yang Anda miliki.