“Ditulis Sebagai Kenangan Oleh Darmansyah”
=======
Rae Sita Supit.
Saya bisa mengingat bagaimana ia bertutur, bersikap dan kemudian meledakkan tawa kami, ketika pertama kali mewawancarainya, dengan sebuah lelucon yang sedikit “nyerempet,” tapi jauh dari “cabul.”
Ya. Rae Sita memang tak pernah canggung dengan ledekan, yang terkadang “nyerempet.”
Tak terkecuali menghadapi wartawan, seperti saya, yang ketika itu masih sangat “remaja” dan bekerja di sebuah majalah berita mingguan terkenal di Jakarta.
Rae Sita memang sebuah protype wanita penuh ledek, liberal dan “bebas” untuk ukuran saat itu.
Tak salah. Ia memiliki latar belakang “kebebasan” lewat garis keturunan dan perjalanan domisili kehidupannya.
Rae adalah blasteran Jawa-Scotlandia. Ayahnya R.M, Suwachyo adalah ninggrat asal Wonosbo, sedangkan ibuan Jean Duncan wanita asal Scot yang besar di Brisbane, Australia, yang sekaligus tempat kelahiran Rae Sita, 01 Juni 1945.
Ia menempuh masa kecil di Brisbane sebelum pulang ke Indonesia dan kembali lagi ke Australia untuk studi perguruan tingginya.
Dari garis keturunan dan domisii ini menyebab Rae sangat terbuka. Itu yang membedakannya dengan wanita Indonesia lainnya kala itu.
Tapi jangan lupa ia juga sangat Indonesia. Bahkan ceplosan “nJawa”nya bisa sangat khas.
Ya, Rae terkadang ia bisa tampil perfect.
Se”perfect” penampilannya.
Rambut mengembang, khas Rae. Melangkah cepat dan ceplas ceplos.
Bahkan ketika usia memasuki fase “mature” ia tak pernah melepaskan gaya rambut “sasak” yang mengembang di samping senyum khas dan sikap serius.
Saya, terus terang, banyak menyimpan kesan dengannya.
Dan ketika pertama kali bertemu dengannya di Taman Ismail Marzuki, ketika saya ditugasi meliput sebuah diskusi perfilman yang diselenggarakan oleh civitas academica “cinematografi” DKJ, atau dewan kesenian Jakarta, di ujung tahun tujuh puluh delapan, saya langsung jatuh “hati” dengan “kebebasan” bicara seenak “dewe,” khas Rae.
Saya ingat persis saat bertemu pertama kali dengannya, dan untuk kemudian beruloang secara rutin.
Hari itu, tepatnya Sabtu, di bulan Desember, .film “Cintaku di Kampus Biru,” masih menyisakan jejak ledakannya. Film dari novel karya Marga T, yang semula dimuat secara berasmbung di Harian “Kompas” itu menceritakan bagaimana unuiknya hubungan antara seorang dosen dengan mahasiswanya.
Peran dosen dimainkan oleh Rae Sita dan mahasiswanya di mainkan oleh Roy Marten. Kedua pemain ini berhasil mengadapsi tokoh novel Marga T ini dengan asyik dan menjadikan film ini sebagai ikon ketika pertama kali diputar, tahun 1976.
Dan, mulai saat itulah Rae Sita Wachyo, yang kemudian populer dengan Rae Sita Supit, setelah menikah dengan Oke F Supit, seorang kesekutif di PT Pembangunan Jaya, melintasi jalan panjang perfilman dan selebriti tangguh.
Saya ingat bagaimana ia selalu mengucapkan kalimat, “Wes enggak popo,” kalau sudah kebentur.
Tidak ada “simpanan” rasa putus asa di kalimat itu. Ia hanya sebuah pelampiasan kejengkelan. “Wes, anggak popo.”
Kalimat itu terus berulang diucapkan Rae, kapan saja – dimana saja, kalau sudah mencapai puncak jengkel. Khas logat Jawa.
Baginya, tak masalah dengan tanggapan lawan bicaranya tentang “wes enggak popo.”
Kini, setelah ia pergi, saya bisa “mereview” kalimat itu dan mengembalikan senyum yang selalu menghiasi wajah ayu Rae.
Saat menerima kabar duka, saya mengirim pesan kepada seorang teman lama di Jakarta, dan mengaku kehilangan kawan baik yang tak jarang membagikan nasehat layaknya orang tua kepada anak.
“Rae Sita,” kata saya,” orang yang baik. Kalau tidak suka sesuatu, dia berterus teras menyatakan tidak suka.”
Sepanjang berkarier sebagai aktris, putri pasangan R.M. Wachyo dan Jean Duncan yang lahir di Brisbane, Australia, tujuh puluh tahun lalu itu telah menyelesaikan sekitar dua puluh enam film pada era 1970-1980-an.
Salah satu yang terkenal, Cintaku di Kampus Biru.
Tak lagi bermain film, istri Oke F. Supit dan ibu tiga anak ini melakoni karier baru sebagai manager humas sebuah hotel, lalu menjadi anggota LSF.
Lulusan New South Wales University, Sydney, Australia ini juga mengajar di Sesko TNI, Cilangkap.
Terjadap tudingan bahwa ia tidak berkompetan di bidang akademis, Rae menjawabnya,” Saya dianggap tidak berpendidikan. Padahal saya mengajar di Sesko TNI di Cilangkap untuk para letnan sampai kolonel
Rae Sita Supit Wahjo pernah menempuh pendidikan Seni Rupa dan kemudian pindah ke IKIP Rawama-ngun Disana dia mengambil jurusan yang sama untuk kemudian melanjutkan di University of NewSouth Work jurusan interior arsitektur di Sidney – Australia.
Rae Sita Supit Wahjo, Juga pernah membintangi Film, Rae juga pernah menjadi penari Bali di Istana yaitu tepat pada zaman Sukarno; anggota “SanggarKarya” pimpinan Teguh Karya; sebagai penyiar Radio Mahasiswa Jakarta, peragawati dan foto model.
Walau pun lahir di Brisbane, Australia,Rae yang meninggal di Jakarta lima hari lalu, dibesarkan di Indonesia.
Tak banyak orang tahu bahwa Rae lulusan Sekolah Guru Atas atau dikenal dengan SGA.
Ketika di Australia, temannya semasa SMP, Oke F. Supit, datang dan nekat melamarnya. Dari pernikahan ini, mereka mempunyai tiga orang anak, Jenifer Jill Supit, Georgiana Grae Supit, dan Ravelra Ruth Supit
Rae terjun ke film justru setelah memiliki tiga anak. Ia diajak Ami Priyono, berperan sebagai dosen yang menaruh hati pada mahasiswanya dalam film yang sukses di pasaran, Cintaku di Kampus Biru .
Setelah membintangi puluhan film, Rae memutuskan untuk berhenti. Saat itu dia memilih menekuni pekerjaan barunya, Public Relations Manager Hotel Sahid Jaya pada tahun di pengujung tahun tujuh puluhan.