US Geological Survey, dikenal sebagai badan pemerintah yang bertanggungjawab melacak aktivitas seismic milik Amerika Serikat, memanfaatkan data dari Twitter untuk mendeteksi gempa bumi.
Lembaga itu mengandalkan sensor gempa bumi dan menemukan bahwa tweet yang diposting saat gempa bumi terjadi cenderung lebih singkat.
Sebagian besar Tweet terdiri dari tujuh atau kurang dari tujuh kata.
USGS menggunakan fitur bernama Tweet Emergency Dispatch dan secara otomatis akan melakukan sortir terhadap kicauan mengenai gempa bumi yang diinformasikan oleh pengguna.
Menurut pengamatan, tweet mengenai gempa yang sedang terjadi cenderung singkat, maksimal tujuh kata,serta tak diikuti embel-embel seperti tautan atau keterangan skala gempa.
Dengan menggunakan filter ini, dataTwitter dinilai efektif untuk melacak gempa dalam waktu kurang dari dua menit.
“Ini bukanlah perubahan besar yang kami lakukan,” ungkap Earle pada CNN.
“Tapi ini memberi kami waktu tambahan untuk memberi respon.
Lewat kumpulan tweet tersebut, maka dapat dideteksi adanya aktivitas seismik di seluruh dunia.
Fitur tersebut mampu menginformasikan gempa yang terjadi di California hanya dalam waktu dua puluh sembilan detik saja seperti yang terjadi pada enam tahun lalu.
“Ini bukanlah perubahan yang revolusioner dalam dunia teknologi, tetapi hanya kebiasaan kita untuk melatih respon diri dengan cepat dan menginformasikan hal penting yang sedang terjadi melalui media sosial,” ucap Paul Earle, seorang Seismolog.
“Data realtime dari Twitter benar-benar independen. Ini bisa dijadikan sumber sekunder,” imbuhnya.
Seorang karyawan di Twitter yakni Elaine Ellis mengatakan kalau dengan menggunakan data Twitter seperti ini, maka USGS mampu menangkap gempa susulan di Chili hanya dalam satu menit dua puluh detik.
Earle dan Guy juga menemukan, pengguna pada wilayah yang mengalami gempa bumi tidak akan menyertakan tautan atau detil terkait kekuatan gempa pada tweet mereka.
Berdasarkan hal ini, Earle dan Guy menemukan data Twitter berpotensi menjadi cara yang efektif untuk mendeteksi gempa bumi, umumnya memberikan peringatan di bawah dua menit.
Kini keduanya dilaporkan berencana mengkaji lebih dalam integrasi data Twitter pada algoritma seismik mereka.
Meski bukan perubahan revolusioner, Earle mengungkap hal ini akan memberikan tambahan waktu untuk memulai respon mereka terhadap bencana alam ini.
Kegunaan media sosial sekarang ini memang sudah jauh dari apa yang dibayangkan sebelumnya.
Jika sebelumnya hanya digunakan sebagai saling menjalin relasi atau sekadar memperoleh informasi, Twitter ternyata dapat digunakan untuk mendeteksi gempa.
Namun, cara yang digunakan Twitter tidak sama dengan pengolahan data yang dilakukan menggunakan seismometer, melainkan dari hasil kicauan pengguna Twitter yang segera menuliskan reaksinya ketika terjadinya gempa.
Bahkan, seperti dikutip dari laman Digital Trends, Minggu, 11 Oktober 2015, informasi yang diperoleh dari Twitter lebih cepat dari yang diterima seismometer, dengan waktu kurang dari tiga puluh detik.
Awalnya, USGS skeptis dengan hal ini dan segera melakukan pendalaman untuk dapat memperoleh hasil lebih dari platform ini.
USGS kemudian menggandeng Paul Earle, seorang seismologis dan Michelle Guy, seorang pengembang software untuk melihat lebih dekat pada aplikasi milik Twitter.
Mereka menemukan bahwa ketika terjadi gempa, banyak kicauan orang yang merasakan hal tersebut cenderung singkat.
Tidak hanya itu, keduanya juga menemukan bahwa banyak dari orang yang berkicau tentang gempa tersebut tidak menautkannya dengan sumber utama atau menyebutkan ukuran gempa.
Setelah dilakukan penyaringan, USGS lalu menyimpulkan bahwa data yang dikumpulkan dari Twitter tersebut secara signifikan dapat membantu menentukan terjadinya gempa bumi secara global.
Meskipun data yang diperoleh melalui Twitter ini tidak sepenuhnya merupakan sebuah inovasi yang revolusiner, namun diharapkan dapat membantu orang untuk lebih sadar akan bahaya potensial yang mungkin hadir akibat gempa bumi.