Google, awal pekan ini mengungkapkan rencananya untuk memblokir tayangan iklan dari jaringan AdSense miliknya di situs berita yang menayangkan informasi palsu atau hoax.
Pemblokiran itu dilakukan karena munculnya tudingan tentang pemanfaatan kepentingan sekelompok orang untuk mencari sensasi bohong
“Ke depan, kami akan membatasi penayangan iklan di laman-laman yang memalsukan atau menyembunyikan informasi mengenai penerbit, konten penerbit, atau tujuan utama dari properti web dimaksud,” tulis Google dalam sebuah pernyataan seperti ditulis oleh kantor berita terkenal “reuters,” Selasa,15 November 2016.
Dalam menyortir situs yang dinilai menayangkan berita palsu, Google akan menerapkan evaluasi dengan kombinasi tim manusia dan kecerdasan buatan atau dikenal dengan istilah artificial intelligence.
Kecerdasan buatan ini mampu belajar ciri-ciri situs berita palsu sehingga makin mempercepat proses penyaringan.
Tidak dijelaskan lebih lanjut soal bagaimana Google akan mengimplementasikan kebijakan baru tersebut.
Pemberitaan palsu atau hoax mengenai para para kandidat presiden marak bermunculan menjelang pemiliu AS yang dilangsungkan minggu lalu.
Para penerbit berita palsu memanfaatkan femomena ini untuk memancing trafik ke situsnya, yang kemudian bisa dikonversi menjadi pendapatan dengan menayangkan iklan AdSense dari Google.
Google sendiri selama ini memiliki peraturan yang melarang penayangan AdSense bersama konten yang berbau pornografi atau kekerasan. Kriteria tersebut kini ditambahi dengan situs berita palsu.
Dengan memblokir iklan AdSense, diharapkan para penerbit berita palsu bakal kehilangan sumber pendapatan sehingga mengurangi minatnya membuat situs serupa, yang ujungnya jumlah informasi hoax yang beredar diharapkan berkurang juga.
Meski demikain, kebijakan di atas tidak berpengaruh di di laman hasil pencarian Google.
Berita hoax masih bisa saja muncul di hasil pencarian Google.
Sebelum munculnya kebijakan ini, Google sebenarnya telah merilis label Fact Check pada layanan berita miliknya.
Label ini dinamai dengan News.
Label ini berfungsi menandai suatu artikel sebagai fakta yang sudah diklarifikasi, sehingga bisa dibedakan dengan artikel bohong atau hoax.
Label Fact Check tersebut muncul dalam artikel tertentu yang dimuat dalam Google News, baik melalui peramban desktop atau aplikasi iOS dan Android.
Sementara ini label tersebut hanya bisa dilihat pengguna dari Amerika Serikat dan Inggris.
“Kami merasa antusias dengan perkembangan komunitas Fact Check dan berusaha mendukung upaya untuk membedakan fakta dari fiksi, pengetahuan dari tipuan,” terang Head of News Google, Richard Gingras.
Google menggunakan struktur data ClaimReview dari Schema.org untuk menunjukkan fakta yang menjadi latar belakang artikel.
Perusahanaan pun merinci beberapa kriteria mengenai situs yang layak dilabeli Fact Check, sehingga pengguna yang mendapati kekeliruan bisa memprotesnya.
Kriteria tersebut antara lain, klaim dan fakta mesti bisa diidentifikasi dengan mudah di dalam badan artikel.
Pembaca mesti bisa memahami fakta yang telah pastikan kebenarannya, serta kesimpulan yang dicapai.
Selanjutnya adalah analisis mesti transparan menyebutkan sumber dan metode yang dipakai, menyertakan kutipan dan referensi terhadap sumber primer.
Selain itu organisasi penerbit artikel tidak terkait dengan partai politik tertentu, transparan soal sumber pendanaan, serta hal lain yang terafiliasi dengannya.
Organisasi media mesti memeriksa dan membuktikan banyak klaim dalam topik pemberitaan mereka, bukan sekadar menarget satu orang atau entitas.
Artikel mesti mengindikasikan bahwa klaim di dalamnya terus ditinjau, menyatakan kesimpulan yang diperoleh.
Perlu dicatat, label Fact Check ini tetap tidak bisa mencegah munculnya berita hoax dalam Google News.
Tapi keberadaan label ini dan penggunaannya dianggap bisa mempersulit menyebarnya berita hoax di hasil pencarian artikel.