Panorama laut hijau kebiruan dan tebing-tebing terjal di balik rimbun hutan belukar menjadi suguhan pemandangan yang tersaji ketika saya menjejakkan kaki di ujung barat laut Indonesia, Pulau Weh.
Pulau Weh merupakan pulau terbesar dari lima pulau yang ada di kota Sabang, Aceh, selain Pulau Klah, Rondo, Rubiah dan Seulako.
Banyak yang mengira kalau Pulau Weh terpisahkan oleh lautan dari Sabang. Namun, kedua tempat itu masih berada dalam satu daratan, dengan pusat pemerintahan dan bandara terletak di Sabang.
Pulau vulkanik kecil yang pernah menjadi bagian Pulau Sumatera itu merupakan tempat di mana titik nol kilometer Indonesia bermula.
Pulo We, demikian warga setempat menyebutnya, adalah lokasi strategis yang punya peranan penting dalam sejarah kemaritiman dunia.
Akhir pekan kemarin saya berkesempatan menjajal destinasi wisata di pulau yang dulunya pernah menjadi pusat persinggahan para saudagar lintas benua.
Untuk sampai ke Pulau Weh, wisatawan harus sampai dulu di Sabang, lalu melanjutkan perjalanan darat selama kurang lebih 30 menit ke Pulau Weh
Beragam maskapai menawarkan penerbangan dari Jakarta ke Sabang, hanya saja harus transit, pilihannya antara di Medan atau Aceh.
Pilihlah penerbangan paling pagi, untuk menghindari buruknya cuaca yang dapat menunda penerbangan ke Sabang setibanya di Medan atau Aceh.
Untuk penginapan, ada banyak pilihan dari yang murah sampai mewah. Tinggal dipilih, menginap di Sabang atau Pulau Weh.
Kalau bukan musim liburan, bisa dengan mudah memesannya setiba di sana. Begitu juga dengan mobil atau motor sewaan.
Pertengahan tahun merupakan waktu yang tepat untuk berkunjung ke Sabang, karena cuacanya akan selalu cerah.
Sabang yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka ini tak hanya menawarkan segudang alternatif tempat liburan, tetapi juga menyuguhkan wisata napak tilas bernilai historis.
Jangan mencari bar atau kelab malam, karena Sabang masih mengusung adat ketimuran yang kental. Cara berpakaian atau bertutur pun harus dijaga, demi menghormati aturan yang telah lama ada.
Dengan luas wilayah “hanya” sekitar 153 kilometer persegi, wisatawan bisa menjajal Sabang, berikut Pulau Weh, dalam sehari.
Tak hanya wisata perairan, wisatawan juga bisa menikmati berbagai wisata menarik lainnya.
Matahari terbit lebih lambat di Pulau Weh karena berada di ujung paling barat Indonesia.
Saya memulai perjalanan ke Pantai Sumur Tiga dari tempat penginapan yang berada di kawasan Iboih, salah satu pusat kawasan penginapan para wisata yang menggemari aktivitas menyelam.
Butuh waktu sekitar 30 menit dari Iboih menuju kawasan pantai berjuluk Hawaii-nya Sabang itu. Kendaraan saya meliuk-liuk menerabas kegelapan hutan demi memburu waktu sebelum langit mulai menerang.
Ada banyak tempat penginapan di sepanjang pesisir Pantai Sumur Tiga. Kawasan wisata di ujung timur Sabang itu menjadi salah satu destinasi primadona para wisatawan karena menawarkan keindahan panorama laut dengan rimbun nyiur deretan pohon kelapa di sepanjang jalan.
Saya memilih masuk ke salah satu resor untuk bisa menjajal bentangan pasir putih yang perlahan bersinar diterpa cahaya mentari kuning keemasan. Sementara itu ombak biru kehijauan menggulung ke tepian pantai dan menyisakan buih-buih air yang bergumul di atas koral-koral mati.
Di bagian utara pantai berderet pohon kelapa yang bergoyang memancarkan warna hijau kekuningan. Sementara di bagian selatan pantai tebing karang berdiri gagah menjulang dalam keremangan siluet.
Suasana Pantai Sumur Tiga terbilang sepi. Hanya ada satu-dua wisatawan yang bermain-main air di tepian pasir putih. Keheningan alam dan sapuan gelombang air di bibir pantai memberi sensasi relaksasi pagi. Voila!
Perut mulai keroncongan. Kurang lengkap rasanya menjajal Pulau Weh tanpa mencicipi masakan khas lokal. Pasar dadakan di pusat kota Sabang saya sambangi agar bisa merasakan jajanan rakyat sekaligus berbaur dalam aktivitas pagi masyarakat setempat.
Pusat kota Sabang di pagi hari akan diramaikan oleh para pedagang sayuran yang berjualan di sepanjang trotoar jalanan. Mereka berdagang persis di depan toko-toko tua yang dinamai dengan kota-kota di Pulau Jawa, seperti Toko Jogja, Toko Solo, Toko Semarang, dan banyak lagi.
Di toko-toko itu pula para pedagang kaki lima berjualan. Mereka menyewa tempat ke para pemilik toko agar bisa menjajakan olahan makanannya. Para penjual makanan adalah warga tulen Sabang. Sementara toko-toko tua itu banyak dimiliki oleh warga etnis Tionghoa.
Saya menyambangi toko yang berada persis di seberang Kantor Pos Indonesia. Mie Aceh dan Kopi Saring jadi menu santapan yang saya pilih untuk sarapan.
Mie Aceh dari pedagang kaki lima di depan Toko Solo itu rasanya sangat pas di lidah. Bumbu sausnya tak terlalu mendominasi, namun terasa gurih dan kaya rasa rempah. Yang jadi nilai tambah, menu kaya rempah itu sama sekali tak membuat perut begah.
Sementara untuk Kopi Saring, tingkat keasaman dan kepahitannya terasa pekat. Rasa kopi terasa kuat layaknya semi-espresso. Sangat direkomendasikan bagi para penggemar kopi atau mereka yang membutuhkan kafein sebagai pendongkrak energi kdi pagi hari.
Dari Sabang, saya kembali melanjutkan perjalanan ke arah timur, untuk selanjutnya menyusuri garis pantai di sisi tenggara Pulau Weh.
Liak-liuk jalan beraspal saya lalui dari mobil yang meluncur dengan santai. Tanpa harus menyalakan pendingin udara, angin sepoi dari balik rimbun pepohonan kiri-kanan jalan cukup menyegarkan seisi ruang mobil.
Sebelum melaju lebih jauh, saya menyempatkan singgah di Tugu Sabang yang menjadi tempat favorit para wisatawan maupun warga setempat berfoto ria.
Tugu ‘I Love Sabang’ terletak di Taman Elak yang berada sekitar 12 kilometer dari pelabuhan Balohan. Letak tugu itu ada di ketinggian tebing. Wisatawan bisa menikmati pemandangan laut dan perbukitan persis di depan tugu.
Usai singgah di Tugu Sabang, perjalanan berlanjut mengarah ke Ujung Kareung. Saya menyusuri bibir pantai yang membentang di sepanjang kiri jalan.
Perjalanan dari bagian timur pulau ke arah tenggara didominasi oleh nyiur daun kelapa yang menari-nari diterpa angin barat. Di beberapa tempat kerap ditemui gerombolan sapi ataupun kambing yang bersantai di sembarang tempat.
Jelajah Sabang-Anoi Itam menjadi terasa begitu dekat karena mata lebih sering dimanjakan oleh panorama yang aduhai.
Setibanya di Pantai Anoi Itam, mobil langsung menjurus ke perbukitan tempat Benteng Jepang berada. Bangunan itu dibangun masa pendudukan Jepang di Indonesia pada 1942.
Benteng Jepang di kawasan Pulau Weh ini hanyalah satu dari sekian banyak benteng yang tersebar di sepanjang garis pantai yang mengarah langsung ke laut lepas Selat Malaka
Benteng-benteng yang dijadikan pos pengintai itu merupakan pertahanan garis depan tentara Jepang yang diandalkan untuk mengantisipasi serangan Sekutu.
Berdasarkan penuturan beberapa warga setempat, konon benteng persembunyian itu terkoneksi satu sama lain lewat terowongan rahasia –yang kini jejaknya tak lagi terlacak karena sudah tertimbun tanah dan usia.
Menyambangi Benteng Jepang cukup membuat takjub: betapa dalam tiga tahun pendudukan, Jepang telah memberikan peninggalan yang mustahil terwujud dengan segala keterbatasannya.
Bagaimanapun, kehadiran benteng-benteng kokoh itu harus dibayar mahal dengan penyiksaan romusha, alias kerja paksa terhadap warga setempat, yang menelan banyak korban jiwa.
Terlepas dari kengerian itu, keberadaan Benteng Jepang di sepanjang garis timur pantai Pulau Weh memberi kesan takjub. Takjub karena keberadaan benteng yang terletak di perbukitan menyuguhkan pemandangan rumput hijau yang menghampar di tepian tebing laut lepas.
Lebih-lebih, saya kala itu datang di saat waktu yang tepat. Tak ada satu pun pengunjung yang datang siang itu mengira bakal disuguhi pemandangan puluhan lumba-lumba yang berarak di sekitar radius 500 meter dari tebing yang menjorok ke laut lepas.
Rombongan lumba-lumba itu seperti berlomba renang dalam arak-arakan dari arah Laut Andaman menuju Selat Malaka.
Belasan pasang mata pengunjung yang hadir di lokasi wisata bunker berdecak kagum. Salah satu rombongan pengunjung berpakaian gamis dan cadar bahkan meneriakkan takbir sambil mengepal ke udara saat menyaksikan keajaiban Tuhan di depan mata. Allahu Akbar!
Usai menjajal Benteng Jepang, perjalanan berlanjut ke arah barat menuju bagian selatan Pulau Weh. Destinasi yang saya sambangi berikutnya adalah Kawah Jaboi.
Kawah Jaboi terletak di Gampong Jaboi, sekitar 15 kilometer dari Sabang. Keberadaan Kawah Jaboi ini memperkaya destinasi wisata Pulau Weh, bahwa plesiran di ujung pulau terbarat di Indonesia tak melulu menawarkan kegiatan bahari.
Kawah di Gunung Jaboi terbentuk akibat aktivitas panas bumi di bawah permukaan pulau vulkanik tersebut. Di gunung berapi Jaboi ini, wisatawan bisa menyaksikan langsung kawah yang masih aktif dan aliran air hangat yang mengalir di ruas-ruas yang membentuk saluran air.
Destinasi kawasan wisata Kawah Jaboi boleh dibilang sepi pengunjung. Wisatawan yang singgah pun jarang berlama-lama menghabiskan waktu di sana.
Aroma kuat belerang menyengat di hidung ketika pertama kali menjejakkan kaki di sana. Hamparan bebatuan dan lapisan tanah vulkanik menghiasi pemandangan selepas mata memandang. Sementara uap-uap panas menyembur di banyak titik dari lubang-lubang yang menganga.
Peluh keringat membasahi sekujur badan akibat hawa panas yang tercipta dari terik mentari dan panas bumi yang menyeruak dari bawah lapisan vulkanik. Keheningan alam berpadu dengan pemandangan pohon-pohon mati di sekeliling areal kawah.
Spa alam terbuka di siang bolong cukup membuat saya kelelahan. Saatnya mencari tempat istirahat dan makan siang.
Bergeser sekitar dua kilometer ke arah barat, deburan ombak di pantai Pasir Putih menyambut kedatangan saya. Pantai dengan hamparan pasir seputih kapas membentang seluas mata memandang dengan air biru kehijauan.
Pantai Pasir Putih terletak sekitar 17 kilometer dari Sabang mengarah ke barat daya. Pantai ini merupakan kawasan liburan favorit warga di Pulau Weh.
Warung-warung penjaja makanan murah berjejer di pinggir jalan. Bangku-bangku plastik dan meja-meja kayu berderet di bawah rerimbunan pohon yang mengarah langsung ke laut.
Warga biasanya datang bersama rombongan keluarga dengan membawa bekal makanan dari rumah. Kalaupun tidak, ada banyak warung yang menawarkan variasi masakan menu rumahan.
Siang itu saya memilih bersantap di salah satu warung dengan menu sayur, ikan, sambal, dan peyek udang. Rasanya? luar biasa nikmat, terutama ketika peyek udang itu dipadukan dengan sambal yang tingkat kepedasannya pas di lidah.
Usai mengisi perut, es kelapa hijau jadi pilihan menu penutup. Bersantai di bawah pohon rindang dengan angin sepoi sangatlah memanjakan perasaan. Waktu seperti terhenti ketika saya menyaksikan aktivitas warga bermain-main di tepian pantai.
Setelah kenyang makan siang di Pantai Pasir Putih, perjalanan berlanjut mengarah ke timur laut. Destinasi yang saya jajal kali ini adalah air terjun Pria Laot.
Air terjun Pria Laot berhulu di Gunung Saroeng Kreih. Air yang mengalir dari gunung melewati permukiman Gampong Bateeshok yang turut terapit Gunung Cot Lumoe Matee.
Keberadaan air terjun ini cukup tersembunyi namun mudah dijangkau wisatawan. Untuk bisa sampai ke sana, wisatawan harus berhenti di ujung jembatan persis di menara pompa air minum Kota Sabang, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melalui jalur setapak jalan.
Jalan setapak yang telah disemen akan memandu pejalan kaki menuju lokasi air terjun. Di beberapa tempat wisatawan akan dibawa menyeberangi sungai dengan mengandalkan bebatuan besar yang tersusun sebagai pijakan penyeberangan.
Tiba sore hari di kawasan Pria Laot membuat perasaan menjadi terasa hangat. Apalagi pemandangan yang disuguhkan sangatlah aduhai. Pepohonan dan nyiur dedaunan kelapa yang diterpa cahaya lembut mentari sore berpadu dengan gemericik aliran sungai jernih yang memandu perjalanan menuju lokasi air terjun.
Mendekati air terjun lingkungan terasa semakin sejuk dengan keberadaan pepohonan besar dan lebat yang menaungi trek menuju lokasi. Selebihnya, saya harus menjajal trek bebatuan besar berlumut dengan setengah mendaki untuk bisa sampai di tempat yang akan dituju.
Tak sampai 30 menit perjalanan, saya pun tiba di lokasi yang dinanti. Air terjun dengan ketinggian sekitar 10 meter itu cukup membuat takjub karena berada di alam yang masih asri.
Anak-anak berusia tanggung tampak asyik bermain di kolam seluas delapan meter persegi. Mereka saling beradu gaya melompat dari atas air terjun.
Kesejukan alam dan air yang terasa segar di kulit cukup menggoda saya untuk membersihkan peluh seharian. Air yang terbilang jernih itu membuat saya tak sungkan membasuh diri.
Badan terasa kembali segar setelah bermain di air terjun Pria Laot. Saya memilih untuk meneruskan perjalanan menuju ujung pulau di barat laut yang menjadi Titik Nol Kilometer Indonesia.
Perjalanan menuju Titik Nol Kilometer cukup panjang. Dari Pria Laot menuju ke sana butuh waktu kurang dari satu jam dengan laju santai. Rentang waktu itu cukup untuk menyempatkan diri beristirahat di dalam kendaraan.
Setibanya di Titik Nol Kilometer, cuaca sore yang hangat menyambut saya. Angin kendang dari arah barat laut sesekali menerpa dan membuat pepohonan rindang di sekitar Titik Nol Kilometer menari-nari.
Sambil menunggu matahari tenggelam di ufuk barat, saya singgah di tempat Rujak Aceh yang tak jauh dari Monumen Titik Nol Kilometer. Mencicipi rujak di sore hari cukup ampuh mengembalikan kesegaran tubuh.
Rujak Aceh tak berbeda dengan rasa rujak pada umumnya. Potongan buah yang diracik dalam bumbu rujak antara lain mangga, nanas, jambu air, timun, dan bengkuang.
Sedikit pembeda Rujak Aceh dengan rujak lainnya terletak pada perpaduan bumbu yang disajikan. Rujak Aceh menggunakan tambahan buah rumbia untuk memberi rasa sepat dan buah batok untuk menambah keasaman.
Dua buah racikan tambahan itu tak terlalu mendominasi rasa ketika berpadu dengan bumbu utamanya, yakni kacang, cabai rawit, dan gula merah. Rasa yang tercipta setelah bumbu berpadu potongan buah-buahan adalah pedas, asam, dan segar.
Usai menikmati Rujak Aceh, saya lantas bergeser beberapa meter ke Monumen Titik Nol Kilometer. Keberadaan monumen ini menjadi lokasi yang wajib dikunjungi para pelancong di Pulau Weh.
Ada banyak versi klaim tentang keberadaan Titik Nol Kilometer. Ada yang mengatakan Titik Nol Kilometer itu terletak di Pulau Rondo, bahkan ada pula yang menyebut Titik Nol Kilometer itu terletak tak jauh dari Pulau Rubiah.
Bagaimanapun pemerintah Indonesia telah menjadikan Monumen Titik Nol Kilometer sebagai titik tolak bentang alam Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Di tempat inilah perjalanan bermula.
Sore itu cukup banyak wisatawan dalam negeri yang datang untuk mengabadikan diri di tugu paling ujung barat Indonesia itu. saya pun tak mau menyia-nyiakan momen.
Setelah puas mengabadikan gambar, saya pun lantas menikmati senja hingga matahari tenggelam menyambut petang, persis di seberang lautan Titik Nol Kilometer.
Destinasi terakhir yang sekaligus menutup aktivitas lancong seharian adalah Gampong Iboih, yang berada tidak jauh dari tempat saya menginap.
Iboih saya pilih sebagai tempat beristirahat karena di tempat ini ada banyak pilihan penginapan dengan rentang variasi harga berkisar Rp250 ribuan sampai Rp500 ribuan.
Setibanya di Iboih, saya tak lantas pulang ke penginapan. Kedai sea food Abah Aloe saya sambangi sebagai tempat makan malam sekaligus menuntaskan aktivitas.
Kedai penjual makanan laut itu saya pilih karena terkenal dengan cita rasa masakannya yang mendapat pengakuan dari banyak wisatawan. Malam itu saya memilih ikan bakar dan cumi goreng untuk menu santap tiga orang.
Tak sampai 30 menit, hidangan tersaji di atas meja. Tanpa harus disertai nasi pun menu santap yang saya pilih cukup mengenyangkan perut. Saya lahap makan bukan cuma karena lapar, tetapi karena rasa dari masakan laut itu sedap disantap.
Bumbu dari ikan bakar terasa gurih meresap sampai ke daging. Tingkat kematangannya pun boleh dibilang sempurna.
Sementara untuk cumi goreng, rasanya seperti panganan renyah tanpa menyisakan rasa amis di lidah. Perpaduan renyah dari tepung dan kenyal dari daging menjadi kenikmatan yang berpadu saat mulut mengunyah.
Selain dari rasa dua menu itu, sambal kecap dengan irisan bawang, tomat, dan cabainya semakin memperkaya rasa. Menu santap malam itu sangat ampuh mengantar tidur lelap sepanjang malam.
Wisata sehari semalam terasa sempurna di Sabang dengan segala keragaman destinasi wisata. Sebenarnya, masih ada banyak tempat yang menarik, hanya saja tak semua bisa disinggahi seharian.
Wajar jika kemudian Sabang menjadi lokasi yang dipilih oleh pemerintah sebagai tuan rumah perhelatan internasional Sail Sabang 2017.
Selain menawarkan wisata bahari, Sabang juga menyuguhkan segudang keindahan alam yang patut menjadi perhitungan.