Siapa yang bisa membantah bahwa tidur bukan merupakan hal terpenting untuk memiliki tubuh sehat.
Seperri Anda tahu, tidur bukan saja karena kelelahan, tetapi juga karena kebiasaan dan pola hidup.
Tidur juga bukan sekadar aktivitas menutup mata, tapi merupakan waktu untuk tubuh beristirahat serta melakukan banyak proses seperti pengolahan, restorasi, dan penguatan ingatan.
Saat Anda memperoleh informasi, dalam keadaan terjaga, informasi akan masuk ke dalam otak dan disimpan dalam memori jangka pendek.
Namun saat Anda tidur, potongan-potongan informasi tersebut akan ditransfer dari memori jangka pendek menuju ke memori jangka panjang yang lebih kuat.
Proses tersebut dikenal dengan istilah “konsolidasi”.
Peneliti bahkan telah menemukan bahwa setelah tidur, Anda cenderung menyimpan informasi dan melakukan proses penyimpanan ingatan dengan lebih baik.
Saat kita cukup istirahat, kondisi fisik dan mental akan prima. Tetapi, memang tak semua orang bisa beruntung bisa mendapatkan tidur dengan mudah.
Dampak kurang tidur yang paling mudah terlihat adalah bad mood, kulit kusam, perfoma yang buruk hingga kelelahan.
Walau kita sering kurang mendapatkan cukup tidur, jangan lantas menyebut diri insomnia.
Apalagi jika dilakukan terus-menerus, justru membuat masalah tidur makin parah. Dalam studi terbaru yang diterbitkan dalam Journal of Behavior Research and Therapy, psikolog Kenneth Lichstein menyebutkan, insomnia tak sekadar gangguan tidur, tapi juga gangguan appraisal kognitif.
Studi yang berjudul ” Insomnia Identity” meneliti perbedaan antara label dan kondisi insomnia yang sebenarnya.
“Mungkin ada banyak orang di luar sana menderita (insomia) karena label yang diciptakan sendiri, daripada memang benar-benar menderita kondisi tersebut,” tulis Lichstein seperti dikutip dari Readers Digest.
Studi ini mengkaji dua puluh penelitian yang mengukur kondisi kekurangan tidur dan kondisi insomnia karena label mereka sendiri.
Hasilnya, ada sangat sedikit tumpang tindih di antara keduanya. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa orang yang memang kekurangan tidur tidak melabeli diri mereka sebagai penderita insomnia.
Karena itu, mereka tidak mengalami kelelahan atau kecemasan di hari berikutnya.
Studi lain juga menemukan, terlepas dari fakta kurang tidur biasanya terkait dengan risiko kenaikan tekanan darah tinggi, orang-orang yang tidak melabeli diri mereka sebagai penderita insomnia tidak mengalami kondisi tersebut.
Sebaliknya, studi menemukan orang yang tidur nyenyak tetapi menganggap diri penderita insomnia cenderung bangun dengan kelelahan, depresi, kecemasan, dan hipertensi.
Temuan Lichstein mengungkapkan realitas yang sangat menarik, di mana meskipun tidur adalah fungsi biologis, kita dapat mengelabui otak sementara waktu dengan berpikir jika mengalami insomnia dan mengalami dampaknya, atau berpikir tidur nyenyak dan bangun dengan keadaan segar setiap pagi.
“Merasa khawatir terus menerus dengan tidur yang buruk merupakan patogen yang lebih kuat daripada gangguan tidur sebenarnya.
Persepsi tersebut menciptakan realitas,” ungkapnya.
Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa penderita insomnia memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk bunuh diri dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki kesulitan tidur.
Sebuah penelitian pada remaja juga menemukan bahwa mereka yang memiliki masalah tidur ua kali lebih mungkin memiliki pemikiran bunuh diri di masa remaja mereka.
nsomnia sering kali membuat seseorang merasa tidak menemukan ketenangan, bahkan di malam hari, di waktu seharusnya ia bisa istirahat dengan tenang.
Akhirnya, insomnia atau gangguan tidur menjadi salah satu penyebab terjadinya depresi.
Bahkan, insomnia juga dapat memperburuk depresi karena orang-orang tersebut merasa tidak bisa menemukan cara untuk sembuh dari insomnia.
Akibatnya, mereka menjadi putus asa dan merasa hidupnya kacau karena terus mengalami insomnia dari satu malam ke malam lainnya.
Sehingga, orang yang mengalami insomnia atau gangguan tidur lainnya cenderung mengalami depresi yang bisa berujung pada pemikiran untuk bunuh diri.