Rohingya…
Saya tak ingin sekadar tahu tentang nama ini. Tapi ingin tahu dan ingin tahu……
Kalau hanya sekadar tahu tinggal klik kandang “berita” bernama media online. Kandang “berita” yang menternakkan ragam news hingga beranak pinak.
Tentang pengungsi, konflik berbau rasis, kekerasan yang tidak berkesudahan. Dan entah apalagi
Rohingya yang ingin saya tulis ini tentu tidak seputar “ternak” berita itu.
Ternak yang menetaskan telur berita kemudian menetas seperti empat hari terakhir.
Ketika sebuah tongkang pengungsi terkatung-katung dilepas laut Bireun untuk kemudian ditarik ke darat dan bersandar di pantai Lhokseumawe, Aceh.
Lantas?
Anda tentu sudah tahu cerita lanjutanya. Alai.
Kalaupun ada tetasan lberita anjutannya, itu pasti bukan cerita bersambung. Tapi “angell” lain.
Kisruh tempat penampungan. Kalau pun terus lanjut bisa di “breaking news”kan berupa heboh pencarian negara yang bersedia mengadopsi mereka sebagai warga “paria.”
Kalau Anda mencari Rohingya sejatinya perlu membuka kotak pandora bernama “depthnews.”
Untuk menemukan berita sekelas ini mudah saja. Tuliskan nama rohingya di search google. Telusuri.
Kalau Anda sedikit cerdas pilih saja tekstur “news”nya hingga ke akarnya.
Memang tidak mudah untuk menyatukan teks yang berserakan. Jawabannya mudah kok. Bekali diri Anda dengan status informan. Tentu bukan informan preman yang sering di”sewa” polisi.
Nggak.. ah… bercanda.
Sudahlah. Kita kembali saja ke Rohingya yang “depthnews”tadi.
Rohingya yang tidak sekadar pelarian, tongkang, penampungan dan pencarian rumah permanen yang dilabeli kata pengungsian.
Apakah sesumir itu persoalan Rohingya?
Nggak ah.. Sebab, hakikinya persoalan Rohingya adalah masalah entitas. Entitas yang diburamkan oleh anak bangsa dunia. Diharamkan oleh anak tanah Myanmar, yang dulunya bernama Birma. Dan dicabut akar identitasnya ditataran diplomasi.
Akar identitas yang oleh anak Birma dicibir sebagai anak “benggala”
Benggala berpostur kecil, bukan mungil. Pemeluk Islam pinggiran dan larut dalam kemiskinan.
Kemiskinan struktural. Miskin semuanya. Miskin yang menyebabkan si benggala frustrasi. Dan berhalusinasi menempuh jalan ringkas untuk mencari eleganitasnya. Keluar dari negerinya sendiri dengan bertaruh “nyawa”
Rohingya sendiri sebenarnya bukan bangsa terlunta. Mereka adalah anak bumi Arakan, Rakhine. Anak bumi yang bernama Rohang di ceruk teluk Benggala.
Pasnya, Rohang yang Benggali. Mereka sepertalian dengan anak-anak Benggali India dan Bangladesh ber-etno-linguistik Indo-Arya
Benggali Rohan ini pernah memiliki entitas hebat ketika berkibar lewat sebuah kerajaan berbendera muslim selama tiga setengah abad.
Bagi Anda aneuk aso lhok jangan abaikan catatan genetiknya. Sebab ada rentang pertalian antara rohingya ini dengan de atjeher. Orang Aceh.
Nggak percaya?
Persandingkanlah mereka dengan “de atjeher” meugampong. Telisik face hingga lekuk fisiknya secara cermat. Sapu warna kulit sawo matang kehitamannya dengan Anda.
Ah… saya tak mau menjawabnya. Apalagi kalau diperpanjang dengan tes dna
Untuk tidak memperpanjang taklimat yang menyimpang ini lebih baik kita kembali dengan kesejarahan entitasnya si Rohingya. Entitas Rohingya yang Arakan-Rakhine. Entitas yang sirna di abad kedelapan belas usai diinvasi Raja Boddaw Paya dari Burma.
Dan sejak itu mereka terlunta-lunta dan menyebar keberbagai anak benua atas nama pengungsi Pengungsi ke Bangladesh, India, Thailand, Pakistan, Malaysia dan juga Indonesia
Dan sisanya tetap menetap di Myanmar sebagai “bangsa” terlunta. Jumlahnya, menurut catatan terakhir ada satu juta orang
Lantas sisa “bangsa” terlunta menghunus pedang perang di Rakhine utara Pedang perang sporadis di kawasan Maungdaw yang berbatasan dengan Bangladesh.
Perang ini, seperti diungkapkan, oleh misi pbb, makin mengukuhkan sikap Myanmar untuk menghapus mereka sebagai warga negara. Myanmar memutuskan semua akses akses kesehatan, pendidikan dan perumahan yang layak.
Rohingya memang sudah dihapus dari seluruh peta persoalan Myanmar. Tak ada satu tokohpun bisa mengembalikannya kepada persoalan politik domestik. Termasuk Aung San Su-ky.
Tokoh kemanusiaan ini bisa saja memenangkan nobel perdamaian yang prestise itu. Tapi, untuk membuka palang pintu demarkasi, Su-ky sudah angkat tangan.
Ia sendiri terjebak dalam politik Myanmar yang bak roller-coaster itu.
Lantas kapan persoalan Rohingya bisa terselesaikan?
Tak ada jawaban tuntas. Tidak dari Myanmar maupun dunia. Semuanya seperti menunggu keajaiban. Keajaiban ketika perahu bermuatan sarat manusia terkatung-katung di Lautan Hindia.
Yang semua bangsa dengan enteng menyebut mereka sebagai manusia perahu.